Ibuku bilang, semakin tua seseorang, ia bisa saja berpikiran dan berkata hal yang aneh. Namun, bagiku Kakek tidak aneh. Aku menyukai ceritanya tentang alam. Terutama alam di masa lalu, ketika masih ada warna hijau yang berasal dari tanaman, ketika langit masih berwarna biru, masih sering menumpahkan hujan, bahkan sampai banjir! Manusia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, tanpa takut terbakar sinar matahari. Masih banyak hewan yang tersisa, bahkan mereka berkeliaran bebas di alam atau di rumah. Betapa menyenangkannya saat itu! Sekarang langit selalu suram dengan warna abu-abu kemerahan, sebelum menghitam saat malam tiba. Laut, sungai, danau, ikut menghitam karena limbah. Hujan sudah menghilang entah ke mana, sehingga tanah hanyalah hamparan daratan cokelat yang tandus dan retak tanpa dihiasi hijaunya tanaman. Angin pun terasa ikut menghilang. Beberapa hewan dan tumbuhan yang berhasil diselamatkan dijaga ketat di laboratorium untuk sumber makanan manusia atau untuk kelestarian. Matahari masih bersinar, meski tidak lagi ramah. Kata Kakek, perubahan perlahan yang terjadi ribuan tahun itu disebabkan oleh manusia, makhluk penguasa di Bumi. Mereka membakar hutan; mereka membunuh hewan; mereka menciptakan benda yang berguna, tetapi karena tidak menggunakannya dengan bijaksana, maka berubah menjadi bencana.
Sore itu, aku yang berumur enam tahun mendengar lagi cerita Kakek tentang alam ketika kami duduk menghabiskan sore di taman yang terlindung dari sinar ultraviolet, tetapi tembus pandang. Kakek dengan berapi-api membahas plastik, benda yang sangat dibencinya.
“Manusia menemukan plastik, menggunakannya dan terus menggunakannya sampai mati ditumpukan plastik! Dulu satu orang berhenti menggunakan plastik, tapi lima ratus orang masih menggunakan plastik dengan gembira dan tidak bertanggung jawab. Membuangnya begitu saja seolah tidak akan terjadi apa-apa. Lalu apa yang terjadi? Plastik itu tidak kunjung terurai, menebar bencana. Semua orang lalu berkata alam sudah tidak baik lagi pada kita. Alam tidak jahat, hanya berubah mengikuti sikap kita! Plastik itu telah mencemari air, tanah, termasuk udara—ketika kita bisa berusaha mengenyahkannya dengan membakarnya. Kita menggali tanah, berlayar di lautan untuk mengais sisa-sisa plastik ratusan tahun yang lalu, tapi tidak bisa melakukan apa pun dengan pencemaran yang telah ditinggalkan plastik itu!
“Dulu tanah ini hijau, tapi lihatlah sekarang, anak-anak bahkan tidak tahu lagi seperti apa warna hijau itu, kecuali setelah melihatnya di komputer melalui program sekolah. Kita bahkan tidak lagi bisa keluar dari rumah tanpa memakai helm dan baju pelindung dari sinar ultraviolet. Itu pun dibatasi waktu. Harganya pun mahal! Kalian menyebut ini taman?! Ini hanyalah penjara tembus pandang yang melindungi kita dari sinar ultraviolet yang siap membakar kita hidup-hidup! Kita mempercantiknya dengan bunga plastik! Rumput plastik! Kita berusaha lagi membuat plastik itu bagian dari hidup kita! Ha ha ha ha…!”
Beberapa orang yang duduk di taman memilih menghindari Kakek. Sama sepertiku, mereka juga sudah sering mendengarnya.
“Kakekkmu punya cukup persediaan air di rumah, ‘kan?” tanya tetanggaku.
“Ya,” jawabku yakin. Kalaupun tidak ada, aku bersedia membagi asupan airku dengan Kakek. Setiap orang mempunyai jatah air masing-masing sesuai aturan pemerintah, termasuk air siap minum bebas limbah plastik. Kami wajib minum pada pagi dan malam hari demi kesehatan.
“Tanah begitu kering dan tandus. Dari kejauhan seperti hamparan motif jerapah. Hewan itu telah punah ratusan lalu,” lanjut Kakek. “Kau pernah melihat jerapah, Sista?”
“Ya,” jawabku nyaring, “di komputer, ia bisa berlari seperti hewan lainnya.”
“Kau pernah merasakan hujan?”
Aku menggeleng.
“Seumur hidupku, aku hanya sekali merasakan hujan,” lanjut Kakek lirih, lalu menangis.
“Itu hujan!” ujarku ceria, menunjuk mata Kakek.
Kakek tersenyum, mengusap air matanya. “Di penghujung hidupku ini, aku berharap melihat hijau yang sebenarnya.” Kakek lalu memakai baju dan helm pelindungnya, begitu juga aku. Kami membuka pintu taman, berlalu meninggalkannya di bawah siraman cahaya sore yang meredup, tetapi tetap berbahaya. Dari informasi zaman dahulu, kami terlihat seperti astronot yang mendarat di bulan.
“Aku sedang berada di bulan,” ujarku geli kepada Kakek, melompat-lompat riang di tanah yang tandus, sama seperti bulan.
Kakek terkekeh melihatku.
“Polusi, Sista,” cetus seorang tetanggaku, mengibaskan tangannya secara tidak sabar di depan hidung. “Kita bisa batuk dan pada akhirnya menulari semua orang di koloni ini.”
“Maaf,” timpalku.
“Kau bahkan tidak bisa bermain dengan bebas.” Kakek mengusap helmku, lalu mendesah melihat rumah kami. Baginya itu adalah penjara, hanya karena tidak ada jendela. Padahal, jendela memang tidak dibutuhkan, karena kami tinggal di dalam tanah untuk menghindari sinar ultraviolet. Hanya keluarga kaya yang bisa mendirikan rumah di atas tanah.
Aku melihat sekelilingku, lalu kembali melompat-lompat dengan riang menuju tangga depan rumah dan terjatuh.
“Kau tidak apa-apa, Sista?” Kakek membungkuk padaku, lalu terbatuk.
“Kakek…, apakah itu warna hijau?” tanyaku, menunjuk dua buah warna hijau kecil yang bersembunyi di balik retakan tanah yang kering. Mungkin hanya sepanjang dua milimeter.
Kakek melepas tongkatnya tergesa dan duduk di tanah, memandang ke dalam retakan tanah. Kakek menangis lagi, lalu menari bahagia. Tongkatnya bergerak-gerak liar. “Terima kasih, alam!” ratapnya di sela-sela tarian bahagianya.
Para tetangga mulai melirik kami, ingin tahu.
“Jangan menyentuhnya! Jangan mendekat!” teriak Kakek, yang justru membuat mereka semakin mendekat. Beberapa orang tetangga membungkuk ingin tahu di depan retakan tanah itu, lalu bubar begitu saja. Mereka bergumam, tanaman serupa juga ditemukan di koloni yang lain, tetapi tidak bisa bertahan lama, bahkan ketika pemerintah turut campur memeliharanya.
“Aku tahu, begitu kecil harapan bagi tumbuhan itu untuk hidup karena alam sudah berubah, tapi aku akan tetap berusaha,” ujar Kakek, yakin, di sisa sore. “Tumbuhan juga makhluk hidup, selain makanan, mereka butuh cinta.”
Seorang tetangga menggeleng melihat Kakek, seraya berlalu pergi.
Si sulung Celia, berpendapat sama dengan tetangga yang lain, tanaman itu tidak akan bertahan lama. Jika Celia sudah berkata seperti itu, Billy dan kembarannya, Baron—juga kakakku—akan berpendapat sama. Hanya Bellamy—kakakku juga—yang tetap mendukungku dan Kakek. Sedangkan Ibu, besok pagi aku akan memberitahunya berita besar ini. Malam itu aku dan Kakek memberi pagar pelindung bagi tanaman kecil itu dan atap kecil untuknya supaya ia tidak kepanasan. Kami juga selalu mengingatkan siapa saja, untuk menjaga langkah mereka ketika berada di dekat tanaman itu.
Setiap malam aku menyirami tanaman kecil itu dengan jatah airku. Dua tetes cukup untuknya. Ibuku bilang begitu. Setelah itu aku akan mengamatinya bersama Kakek, apakah dua bagian terpisah yang namanya daun itu telah bertambah besar? Apakah badannya yang bernama batang telah meninggi? Setelah itu, Kakek akan bernyanyi untuk tanaman itu.
Seminggu kemudian, tetangga mulai banyak bertanya, apakah tanaman itu masih hidup. Ketika Kakek dengan lantang mengatakan tanaman itu bertahan karena harapan dan cinta, bukan sikap pesimis, tetangga kembali menggeleng.
Tanaman itu tidak bertambah tinggi, tetapi kulihat daunnya membesar satu atau dua milimeter dari hari pertama kami menemukannya. Kakek masih tetap bernyanyi untuk tanaman itu setiap malam, hingga suaranya menjadi parau. Mungkin karena terlalu banyak bernyanyi, Kakek mulai sering batuk.
“Penyakitku ini tidak menular! Batukku tidak karena bakteri! Aku punya surat keterangan dokter yang menyatakan ludahku tidak berbahaya! Batukku karena alam yang tidak kunjung membaik ini!” Kakek mengangkat tongkatnya tinggi, seraya memberitahu orang-orang di taman yang memandangnya ngeri. “Aku sudah setua ini, tapi alam ini, belum juga bersikap ramah padaku! Penelitian macam apa yang dilakukan pemerintah? Membuang-buang uang! Membuang-buang energi! Sampai kapan kita akan berlindung di balik helm dan pakaian pengaman ini, yang harus ditunggu menjadi dingin setiap lima belas atau dua puluh menit sebelum digunakan lagi di bawah teriknya hari! Pemerintah bahkan tidak bisa memberikannya secara gratis! Semuanya serba mahal!”
Aku mengangguk setuju. Semenjak Ayah meninggal, semua kebutuhan terasa sangat mahal. Aku seharusnya memakai kacamata untuk melindungi mataku, tetapi Ibu tidak sanggup membelikannya.
Seorang pria yang tidak dikenal memotret Kakek, lalu mewawancarainya.
“Karena kita telah merusak alam, kita akan punah! Beberapa dari kita mungkin akan bertahan dengan bentuk yang telah berevolusi! Seperti teori lama pada jerapah! Uhhhuk…! Uhhhuk…!”
“Kakek haus?” tanyaku kepada Kakek.
Kakek menoleh kepadaku, batuknya segera menghilang. Ia tersenyum.
Pria tidak dikenal itu bertanya siapa namaku.
“Nama cucuku ini, Sista. Dia bersama keempat saudaranya belajar sendiri di rumah melalui program pendidikan yang murah, tapi biaya listrik yang mereka gunakan untuk menyalakan komputer untuk belajar juga mahal meski sinar matahari melimpah ruah!”
Aku mengangguk setuju.
Setelah mengajukan beberapa pertanyaan tentang alam pada Kakek, pria tidak dikenal itu mengulurkan tangannya, bersalaman dengan Kakek dan aku, lalu pergi.
Sesampainya di rumah, aku memberikan jatah airku sebanyak dua gelas kepada Kakek, meskipun ia menolaknya, lalu memaksanya minum sampai habis. Kakek mengembuskan napas lega setelah menghabiskannya. Ia kembali tersenyum kepadaku, mengusap kepalaku. Kemudian ia terpana, seolah memikirkan sesuatu dengan mendalam.
Kupikir keadaan Kakek akan membaik setelah itu, tetapi tidak. Ia demam dan tidak berhenti batuk, sehingga tidak bisa menemaniku menyirami tanaman itu. Karena Ibu memberikan asupan airnya untukku, kukira aku bisa membuat tanaman itu merasakan banjir. Namun, Celia yang menemaniku, selalu memperingatkanku untuk hanya memberinya dua tetes.
“Kau lebih penting dari tanaman itu,” ujarnya, dan menyeretku masuk ke dalam rumah.
Setiap pagi dan malam, ditemani Celia, aku mengamati tanaman itu dan bernyanyi untuknya, lalu melaporkan perkembangannya kepada Kakek.
“Lihat…,” bisik Celia pada suatu pagi kepadaku, menunjuk tanaman itu.
“Kakek! Daunnya bertambah lagi! Jadi lima!” teriakku gembira di kamar Kakek. “Ia juga bertambah tinggi! Ia sudah muncul ke permukaan!”
Aku merasa sedikit kecewa karena Kakek tidak segera bangun untuk melihatnya. Ia hanya tersenyum kepadaku dan berkata, “Namai pohonmu Cinnamomum. Aku pernah membaca, tanaman itu wangi. Ia berguna untuk menyedapkan masakan dan menghangatkan badan.” Kakek terkekeh miris.
“Aku tidak janji.” Aku menggeleng, nama itu begitu jelek.
Keesokan siangnya, ketika aku memaksa Kakek minum satu gelas jatah airku, Celia memanggilku di sela waktu belajarnya.
“Kau dan Kakek masuk berita. Mereka membahas tanaman yang kautemukan!”
Aku segera memakai pakaian pengaman dan memasang helm, keluar dari rumah. Dengan napas terengah, aku berlutut di depan tanaman itu, merasa begitu lega, ia masih ada, masih mengintip keluar dari permukaan tanah, ingin melihat dunia. Kurasakan peluhku menetes. Itu air! Aku bisa menggunakannya untuk tanaman itu. Sebelum aku membuka helm, Celia menyeretku masuk ke dalam rumah.
“Sudah kuduga. Kau bisa mati karena luka bakar!” hardiknya.
“Tanaman itu sebaiknya tidak diberi minum di saat tengah hari,” jelas Celia lebih lembut kepadaku di dalam rumah. “Ia bisa mati.”
“Bagaimana dengan Kakek? Ia minum—” ucapanku terputus oleh suara benda yang terjatuh dari arah kamar Kakek.
Kakek meninggal siang itu. Walaupun kata Ibu, Kakek meninggal bukan karena aku, tetapi aku tetap merasa itu salahku. Aku sering menebar debu di sekitar Kakek dan memaksanya minum pada saat tengah hari. Aku menangis tanpa henti, lalu menghabiskan semua jatah minumku hingga tidak ada lagi yang tersisa. Aku kembali menangis karena tidak menyisakan air minum untuk tanaman itu, lalu menyesal setengah mati kenapa aku juga tidak menampung air mataku. Malam di hari kematian Kakek, aku duduk di depan tanaman itu, berusaha menangis. Namun, aku tidak bisa menangis lagi.
“Lihat… lihat…! Sista mulai gila sepeti kakeknya,” ujar seorang anak, tetanggaku.
“Pohonmu tidak mendapat perawatan yang layak, dia akan mati! Mati!” sambung anak-anak yang lain.
Aku mengusap air mataku, lalu mengejar anak-anak itu, menebar debu yang dibenci semua orang.
Tiba-tiba mobil besar berwarna oranye berhenti di depan taman yang berada di tengah koloni. Orang-orang dengan seragam oranye berhamburan keluar dari dalamnya. Mereka orang-orang pemerintah. Apakah mereka akan menangkap Kakek karena ia marah-marah pada pemerintah? Akan tetapi, Kakek sudah mati. Mereka dan tetangga yang ingin tahu mengerumuni tanamanku. Mereka bergumam, betapa tanaman itu telah berkembang pesat.
“Itu punyaku!” Aku menerobos kerumunan.
Salah seorang dari pihak pemerintah berbalik menatapku. “Tanaman ini milik pemerintah sekarang.”
“Itu punyaku!”
“Sista…! Sista…!” Celia menahanku. “Kalian tidak boleh mengambil tanaman itu,” ujar Celia pada orang-orang pemerintah.
“Jika kalian memindahkannya, dia akan mati!” Bellamy berteriak.
“Ya, walaupun kalian juga mengambil tanah di sekitar pohon itu,” sambung Baron.
“Tanaman itu cocok dengan daerah ini,” sambung Celia.
Petugas pemerintah itu datang mendekat. Kurasakan Celia mencengkeram pundakku, menyimpan rasa takutnya. Aku memeluknya erat dan berharap Ibu segera pulang dari tempat kerjanya.
“Kalau begitu kalian yang pindah. Kami akan merawatnya,” ujar petugas pemerintah itu.
“Adikku bisa datang melihatnya?” tanya Celia.
“Maaf, tidak bisa, tapi jika proyek ini berhasil, kalian semua bisa melihatnya.”
“Ya, dengan membayar! Adik dan kakekku yang merawatnya! Merekalah pemilik tanaman itu. Lalu, tiba-tiba kalian datang, mengklaim itu milik kalian! Semuanya menjadi serba komersil!” seru Celia, ia mulai mirip dengan Kakek.
Malam itu, seluruh koloni pindah digiring petugas keamanan ke tempat yang baru.
“Jangan lupa, kalian harus bernyanyi untuknya!” teriakku sebelum pergi malam itu. Sama seperti yang lain, mereka menggeleng tidak percaya.
Dua puluh tahun kemudian, bersama rombongan tur, aku kembali ke sana. Seperti yang dikatakan Kakek, air, tanah, dan udara masih saja tidak membaik. Membuatku berpikir, penelitian apa yang dilakukan pemerintah! Ataukah Bumi ini memang sudah tidak ada harapan lagi? Rumah-rumah koloni masih ada karena pembongkaran dikhawatirkan akan memengaruhi kehidupan tanaman itu.
“Ini dia…,” ujar pemandu tur, bahagia dan bangga menunjukkan pohon mati setinggi satu meter yang dinaungi atap dan dikelilingi pagar pengaman, dilengkapi alarm. Tidak ada hijau, hanya ada warna cokelat pekat.
“Meski sudah mati, tanaman ini kadang-kadang menebar aroma wangi. Konon, kulitnya bisa untuk bahan masakan.”
“Cinnamomum verum,” cetusku. “Kayu manis.”
Semua peserta tur menoleh kepadaku.
“Bagaimana kau tahu?” tanya pemandu tur, tidak percaya.
“Mereka tidak bernyanyi untuknya, sehingga pohon ini mati.”
“A-apakah kau cucu dari kakek gila yang menemukan tanaman ini?”
“Kakekku tidak gila! Ia hanya putus asa.” Aku menahan geram.
Serentak semua peserta tur bernyanyi, seakan bisa menghidupkan tanaman itu, lalu satu per satu mereka berhenti dan mengendus-endus udara. Aroma wangi menebar di udara. Beberapa peserta tur menangis dan mengeluh betapa mereka ingin membuka helm pelindung mereka, beberapa ingin menabur air mata mereka untuk menyirami tanaman itu.[]
🥺
Bikin sedih, tapi bagus
Makasi Esthy 😁
Bagus Kak. Saya jadi pengen nulis cerpen lagi baca cerita ini
Makasi 😁. Dipuji gini, saya jadi semangat nulis, nih. Kamu juga, ayok, nulis lagi 📝.