KURUNGBUKA.com – (19/4/2024) Usaha menjadi pembaca dan menulis sulit menghindari dosa. Yang kita maksudkan dosa mungkin ada sedikit kemiripan dalam beragama atau urusan yang berbeda dari keimanan-teologis. Dosa itu salah besar, yang nantinya mendapat hukuman. Yang berdosa meminta maaf atau ampun.

Kita kadang mengetahui cara mengurangi atau menghapus dosa. Namun, keinginan menjadi pembaca dan penulis dalam dosa-dosa memerlukan penebusan yang berbeda. Dosa yang tidak semuanya bisa diampuni tapi “boleh” dimaklumi.

Sastra dan dosa, dua hal yang dialami oleh Jorge Luis Borges. Pengakuan yang menggelikan sekaligus memprihatinkan: “Di dalam buku-bukuku, dari tahun ke tahun, tampaknya aku telah melakukan hampir seluruh dosa besar kesusastraan. Beberapa dari dosa itu aku lakukan di bawah pengaruh penulis besar, Leopold Lugones, yang dengan terpaksa masih aku kagumi.”

Kita membacanya itu kontradiksi. Borges berdosa dalam bersastra. Ia pernah merujuk pendapat: “… satu-satunya cara menghindari dosa adalah dengan melakukan dosa dan melupakannya.” Kita menerima pendapat itu satire yang keterlaluan.

Apa yang dimaksud dosa bagi Borges dalam menjadikan dirinya penulis? Kita tidak berpikiran dosa-dosa dalam agamanya. Ingat, dosa dalam sastra. Borges menjelaskan: “Dosa-dosa itu adalah tulisan yang baik, corak lokal, pencarian terhadap sesuatu yang tak terduga, serta gaya bahasa abad ketujuhbelas.”

Kita geleng-geleng kepala mengetahui semua itu dosa dalam sastra. Borges melewati babak-babak bersastra, yang dipengaruhi tokoh dan dalil-dalil kesusastraan. Pada setiap babak, ia berubah dan mengetahui dosa-dosa tanpa harus menyadari pahala-pahala yang dihasilkan.

(Jorge Luis Borges, 2019, Esai Autobiografis, Trubadur)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<