Sudah dua kali saya menyaksikan seorang wali kota membawakan sambutan atau mungkin pidato dalam dua kegiatan, tempat dan waktu yang berbeda. Kebetulan, karena saya seorang penulis yang menyamar jadi pendidik, dua kegiatan itu berkaitan dengan pendidikan.
Kegiatan pertama terjadi beberapa pekan lalu di sebuah gedung serbaguna di sebuah universitas Islam swasta kenamaan di kota tempat wali kota itu berkuasa. Pesertanya adalah para guru TK, SD dan SMP swasta. Mereka ingin berdialog dengan sang wali kota terkait pelbagai hal yang bersangkut-paut dengan kebijakan pemerintah dan dunia pendidikan, walaupun pada akhirnya pertanyaan dari peserta yang dapat dilontarkan dalam pertemuan itu hanya beberapa butir saja karena keterbatasan waktu yang salah satunya mungkin disebabkan wali kota yang datang ngaret.
Kegiatan kedua diselenggarakan di sebuah hotel kenamaan di tempat wali kota itu memerintah. Para hadirin dalam kegiatan itu adalah para siswa SD dan SMP yang sedang diwisuda, para wali murid, para pengurus yayasan yang menaungi sekolah-sekolah itu dan tentu saja para guru.
Wali kota yang ramah senyum itu naik ke panggung dan menyampaikan sambutan atau pidatonya. Pertama beliau membacakan pantun –yang tentu saja selalu diiringi komentar “cakep” di setiap akhir lirik oleh para hadirin yang duduk manis sambil memegang ponsel pintar untuk mengambil gambar orang nomor satu di kota itu. Kemudian para hadirin yang semoga saja selalu dirahmati Tuhan diajak berdiri untuk menyanyikan lagu Himne Guru yang diciptakan oleh Sartono. Barulah setelah itu beliau memulai sambutannya.
Pak Wali Kota yang berpakaian rapi dan berwajah tampan itu menyebarkan informasi terkait prestasinya selama menjabat sebagai wali kota. Ia menyebutkan jumlah SD dan SMP Negeri di kecamatan-kecamatan yang ada di kotanya. Mungkin kita tak hafal berapa jumlah SD Negeri di Kecamatan A, B, C di kota itu, tapi Pak Wali Kota hafal betul. Luar biasa. Memang sepatutnya seperti itu. Jumlah SD Negeri sangat banyak, sedangkan jumlah SMP Negeri sedikit. Bahkan ada beberapa kecamatan yang tidak memiliki SMP Negeri.
Atas dasar itulah beliau “membangun” beberapa SMP Negeri baru di beberapa kecamatan di kotanya. Katanya, warga kotanya tidak boleh tidak sekolah. Jangan sampai ada warga di kotanya yang putus sekolah lantaran tidak punya biaya. Dan membangun SMP Negeri yang baru adalah solusi jitu. SMP Negeri memang diperuntukkan bagi warga yang kemampuan ekonominya ada di kasta menengah ke bawah karena gratis.
Pak Wali Kota yang dihormati seluruh warga kotanya itu menyampaikan pidato dengan tangkas, lincah dan penuh percaya diri, seperti Lionel Messi yang menggocek-gocek para pemain belakang lawan dan berhasil mencetak gol. Terlihat sekali beliau tak menemukan kesulitan apa pun dalam berbicara, tak seperti Raja George VI yang diperankan oleh Colin Firth dalam film The King’s Speech.
Barangkali beliau sudah khatam membaca atau bisa langsung mempraktikkan apa-apa yang ada dalam buku Bicara Itu Ada Seninya karya Oh Su Hyang. Tapi sayang, Pak Wali Kota alpa dalam menyebutkan sekolah-sekolah swasta baik SMP maupun MTs. Dalam sambutannya, yang menjadi dasar kebijakannya –benarkah yang seperti itu bisa disebut bijak?– hanya SMP Negeri. SMP dan MTs swasta dinafikan, dianggap tak ada.
Selain itu, beliau terkesan menghakimi bahwa semua sekolah swasta itu mahal, hanya untuk orang yang level ekonominya ada di kasta menengah ke atas. Padahal faktanya tak demikian. Sekolah swasta tak melulu mahal. Bahkan, jika mau dihitung, sekolah swasta yang mahal lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah swasta yang murah.
Dan dalam realitasnya, banyak juga siswa dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas malah bersekolah di sekolah negeri. Kalau mau serius menangani salah satu ketimpangan dalam pendidikan di kota ini, ya, harus ada aturan yang jelas bahwa siswa yang berasal dari keluarga berkemampuan ekonomi menengah ke atas wajib bersekolah di sekolah swasta (yang mahal).
Dan yang lebih disayangkan lagi, beliau membicarakan kesuksesannya membangun SMP Negeri di hadapan para guru yang mati-matian mengabdi di sekolah swasta! Orang nomor satu di kota itu seharusnya memahami siapa audiensnya dan konteks acaranya sebelum berbicara banyak—itu syarat wajib dalam seni berbicara. Apakah beliau memikirkan perasaan para guru swasta yang ada di hadapannya itu? Pasti. Seorang pemimpin yang baik pasti memikirkannya.
Kenapa beliau tak menyampaikan sejarah singkat pendidikan di kotanya, yang dipelopori oleh sekolah-sekolah swasta? Kenapa beliau tak menyebarluaskan peran penting sekolah-sekolah swasta dalam pembangunan di bidang pendidikan? Kenapa beliau tak “membantu” mempromosikan sekolah-sekolah swasta? Padahal itu momentum yang sangat tepat untuk mendulang simpati dan dukungan dari para guru untuk pemilihan kepala daerah serentak tahun depan!
Dari dua kegiatan itu, beberapa orang, termasuk saya, mendengarkan dua kali hal yang sama. Tak ada kebaruan sama sekali. Itu jelas tak bagus. Apa pasal? Seorang pemimpin tak boleh tenggelam dengan prestasi-prestasi –jika itu bisa disebut dengan prestasi– yang telah dicapainya di masa lalu terlalu lama, karena terlalu lama tenggelam dapat menyebabkan kematian. Siapa pun boleh berbangga, tapi tak elok selamanya berbangga akan hal-hal itu saja.
Dalam hal ini, contohlah moto para seniman: karya terbaik adalah karya yang belum pernah diciptakan. Jadi, prestasi terbaik seorang pejabat adalah prestasi yang belum pernah diraih olehnya. Maka ciptakan dan raihlah prestasi-prestasi itu terus-menerus! Kalau bisa, teruslah berprestasi meski sudah tak menjabat sebagai wali kota lagi.
Seorang pemimpin harus memiliki pemikiran yang revolusioner dan progresif. Ia harus mengupayakan program-program kemajuan di masa depan. Ia harus merancangnya dan mewujudkannya. Jangan sampai pemimpin larut oleh masa lalu. Orang yang membicarakan masa lalu melulu adalah orang biasa, bukan orang istimewa (seorang wali kota adalah orang yang sangat istimewa, bukan?). Orang hebat adalah orang yang membicarakan gagasan. Ya, gagasan. Itu yang diperlukan dan harus dimiliki seorang pemimpin, bahkan setiap orang. Gagasan menandakan bahwa seseorang berpikir. Orang yang berpikir adalah orang yang meng-ada, begitu kata Rene Descartes!
Jadi, sudah barang tentu seorang wali kota selalu diminta untuk menyampaikan sambutan-sambutan dalam pelbagai acara, di tempat dan waktu yang berbeda-beda, tapi harus diperhatikan pula dengan baik-baik bahwa sangat mungkin terjadi seorang pejabat bertemu dengan orang-orang yang sama di acara-acara yang berbeda-beda itu.
Tentu di antara mereka ada yang senang mendengar pantun dan diajak bernyanyi, tapi pasti ada juga di antara mereka yang ingin mendengar gagasan-gagasan baru dari sang pejabat pemerintahan yang progresif dan revolusioner untuk kemajuan kota yang dipimpinnya, bukan mendengar hal-hal yang itu-itu saja. Percayalah, itu bisa sangat menjemukan.
Minggu, 17 Juni 2023 23:24