KURUNGBUKA.com – Puisi seringkali mengalami keterbatasan untuk ditangkap dan dicerna orang asing dari luar bahasa yang digunakan penyair. Bahasa menjadi dinding batas yang menghalangi kita mengakses makna lebih utuh. Upaya penerjemahan puisi menjadi tantangan yang maha sulit, karena adanya perbedaan-perbedaan makna, budaya dan pemaknaan pada kata-kata yang digunakan penyair. Maka, tidak sedikit puisi terjemahan mengalami semacam “kerumitan” kalau tidak mau dikatakan kerancuan di dalam dirinya untuk dipahami oleh pembaca bahasa sasaran.
Melalui Tembang Puitik, Ananda Sukarlan melakukan semacam upaya alternatif untuk menyampaikan makna puisi kepada audiens yang notabene asing dengan bahasa yang dipakai penyair. Dengan menggunakan musik – bentuk yang paling mudah masuk ke lubuk hati – menjadikan setidaknya puisi bisa ditangkap dan dicerna. Meskipun tangkapan dan pencernaannya tentu saja tidak seutuh ketika pendengar menguasai bahasa puisi yang ditembangkan itu.
Sejak lama, seni musik dan seni lukis menjadi alat komunikasi yang “universal”, berbeda dengan kata-kata yang seakan menciptakan “jurang” untuk kita dapat langsung menyeberang ke makna. Kata-kata membuat lapis-lapis yang membuat kita perlahan harus menyingkapnya untuk sampai pada makna yang utuh.
Dalam kata unsur-unsur musik dan gambar berkelindan membentuk konsep-konsep yang dibutuhkan pengetahuan bahasa dan budaya terkait untuk bisa menghayatinya. Jadi, ketika Tembang Puitik Ananda Sukarlan membawanya masuk ke dalam makna melalui bunyi-bunyi dari partitur musik klasik yang dimainkannya seolah kembali membebaskan kata-kata untuk ditangkap kembali secara terbuka tanpa adanya beban yang mesti ditanggung.
Istilah yang tepat untuk menggambarkan upaya Ananda Sukarlan barangkali adalah “menabrak batas-batas makna” yang sebelumnya dijaga ketat oleh kata-kata. Dinding yang membuat bahasa satu dengan audiens terasa tidak nyambung dan tidak komunikatif, akhirnya kembali dicairkan melalui suasana bunyi-bunyi yang dijalin dalam Tembang Puitik. Para pendengar yang tadinya “terbekukan” ketika berhadapan dengan teks puisi yang asing itu kembali mencair dan mengalir, membuka relung-relung sunyi untuk penghayatan dan pemaknaan.
Puisi yang tadinya dibacakan di panggung oleh para penyair, kini bisa dinikmati di ruang yang cukup elegan, ditonton oleh audiens dari bangsa pengguna bahasa yang berbeda. Apakah alternatif konser semacam ini membuat puisi semakin berkelas? Ini adalah pertanyaan yang sebetulnya tidak usah dijawab, sebab puisi sejak awal memang sudah berkelas. Sama berkelasnya dengan seni musik dan seni lukis, juga seni teater serta seni-seni yang lainnya. Mungkin yang membedakannya hanyalah tempat dan waktu, biasanya puisi bisa dibaca di panggung-panggung yang tidak cukup besar dengan audiens yang terbatas, kini bisa dinikmati di ruang-ruang konser menjadi Tembang Puitik yang dibawakan melalui musik klasik. Puisi menjadi agak istimewa karena dialih wahanakan diekstrak menjadi partitur dan dikonserkan di hadapan internasional.
Kuartet gesek dari Melbourne Symphony Orchestra (MSO) bergabung bersama Ananda Sukarlan dan soprano Mariska Setiawan dalam konser ‘Notes of Friendship: Simfoni Hubungan Diplomatik Australia-Indonesia ke-75 Tahun’ pada tanggal 4 Juli bertempat di JS Bach Recital Hall, Jakarta kemarin menjadi bukitnya. Acara sukses besar, dengan semua kursi penuh, bahkan ada penonton yang tidak kebagian kursi sehingga rela berdiri sepanjang konser.
“Musik memiliki kekuatan untuk melampaui batas dan menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang. Kolaborasi istimewa ini merayakan hubungan erat antara Australia dan Indonesia,” kata Duta Besar Australia untuk Indonesia, Penny Williams PSM.
Kata-kata Penny Williams PSM agaknya juga mengamini apa yang saya mekasud dengan “menabrak batas-batas makna”, malah mungkin lebih tepat; “melampaui batas dan menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang”. Memang kata “melampaui” seolah menyiratkan bahwa seni musik lebih tinggi kedudukannya dari puisi, tetapi tidak demikian. Dalam seni semua setara, baik puisi atau musik klasik. Maka, saya memilih kata “menabrak” untuk menggambarkan bagaimana “dinding-dinding” batas itu dirubuhkan sehingga komunikasi bisa terjadi dan makna bisa terbuka untuk ditangkap dan dicerna sebebas dan sekreatif mungkin.
Peristiwa kemarin, yang menandai 75 tahun hubungan diplomatik antara Australia dan Indonesia, sejak Australia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 menjadi momen puitik yang menarik. Perayaan ini disempurnakan dengan keterlibatan dua seniman Indonesia, soprano muda Mariska Setiawan yang telah menimba ilmu di Broadway, New York dan komponis cum pianis Ananda Sukarlan yang pada tahun 2000 telah ditahbiskan oleh harian Sydney Morning Herald sebagai “one of the world’s leading pianists, at the forefront of championing new piano music”.
Untuk memperingati peristiwa bersejarah ini Ananda menciptakan karya “Two Australian Songs” yang diperdanakan Mariska dan MSO, sebuah karya untuk soprano dan string quartet berdasarkan puisi Henry Lawson berjudul “On The Night Train” dan Judith Wright; “Woman To Child”, dua penyair legendaris Australia. Puisi dalam bahasa Inggris tersebut akhirnya dapat “berkomunikasi” dengan audiens dari Indonesia yang notabene tidak terlalu faham bahasa Inggris, ya melalui Tembang Puitik.
Ananda Sukarlan memang dikenal sebagai komponis Indonesia yang paling produktif menciptakan Tembang Puitik, yaitu karya-karya berdasarkan puisi yang sudah ada. Tidak kurang dari 400 karya untuk vokalis diiringi piano atau instrumen lain telah ia ciptakan dalam bahasa Spanyol, Inggris dan Indonesia. Dengan menggunakan musik klasik, Ananda Sukarlan mencoba “meruntuhkan dinding-dinding batas” yang menghalangi penikmat puisi dengan puisi.
Pada konser yang mengambil tempat di Aula Simfonia Jakarta dan diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta itu, Ananda Sukarlan bersama Mariska Setiawan juga mempersembahkan 4 Tembang Puitik dari penyair Indonesia. Keempat lagu itu, antara lain: “Bapak” (puisi Julia Utami), “Ibu Selalu Terdiam” (puisi Mustari Irawan), “Kado Natal untuk Joko Pinurbo” (puisi Okky Madasari) dan puisi paling terkenal dari alm. penyair Joko Pinurbo sendiri yang wafat tanggal 11 Mei tahun 2024 lalu; “Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya” di mana Ananda dengan cerdiknya memasukkan motif ringtone dari ponsel untuk “menjembatani” makna puisi agar sampai kepada audiens. Agaknya itu sebuah ide yang cukup brilian; meminjam bunyi dari perangkat telepon genggam yang memang identik untuk dijadikan “metafora” dalam musik klasiknya.
Apa yang dilakukan Ananda bukanlah “musikalisasi puisi”, karena menurutnya puisi sudah mengandung musik. Ananda tidak memusikalisasi puisi melainkan mengambil esensi dari puisi-puisi tersebut dan mencoba menerjemahkannya melalui musik, sehingga ia mengakui bahwa rima dan fonetik dari bait-bait puisi tersebut tidak sepenting apa yang ingin diekspresikan oleh puisi itu sendiri.
Contohnya adalah suara kereta api di “On the Night Train” (Henry Lawson) dan “Bapak” (Julia Utami), karena penyair yang juga dikenal sebagai Julia Daniel Kotan (setelah menikah dengan putra Lembata (NTT), Daniel Boli Kotan ini memang dijuluki “penyair kereta”, karena sering menulis puisi di kereta api, dan ia sendiri tinggal di Bogor dan selalu naik kereta untuk bekerja di Jakarta. Bahkan ada buku kumpulan puisinya yang berjudul “Kereta dan Penyairnya”. Saya banyak belajar tentang bahasa Inggris, bagaimana pemakaiannya oleh penyair Australia sangat berbeda dengan penyair Inggris dan Amerika. Setelah ini saya akan mengeksplorasi puisi-puisi Australia yang lain, baik dari Lawson, Wright dan yang lain, karena lewat puisi-puisi ini saya menemukan sesuatu dalam diri saya juga. Anda bisa dengar, kereta apinya Julia Utami berbeda dengan kereta apinya Henry Lawson, kan?” demikian ujar Ananda.

Di konser tersebut, Mariska Setiawan tampil spektakuler, baik dari segi musikalitas dan juga penampilan. Mariska yang tampil anggun dengan busana warna hitam elegan desain Peggy Hartanto, yang busananya telah dipakai oleh artis kelas dunia seperti Beyonce. Mariska Setiawan dan Peggy Hartanto adalah dua putri kebanggaan Surabaya.
Ananda Sukarlan telah berhasil mempersatukan musik Australia dan Indonesia secara utuh pada malam itu; bukan hanya lewat pertemanan baru musikus dari dua negara, tapi secara konseptual, artistik dan musikal. “I Wish Matilda Had Waltzed to Minang”, untuk piano solo. Menurut pengakuannya karya tersebut diciptakan sekitar tahun 2017 dan ide aslinya memang agak ‘nakal’. Dengan menjalin dua melodi asal Australia dan Minangkabau, Waltzing Matilda dan Kampuang Nan Jauh di Mato, bayangannya si Matilda menjalin hubungan dengan orang Minang.
Musik klasik garapan Ananda Sukarlan juga menjadi “mata uang diplomatik”, melalui jalinan puisi dan musik, lagu dengan bahasa berbeda seperti tersebut di atas yang digabungkan dalam musik turut menjalin hubungan erat antara Australia dan suku Minang yang mewakili bangsa Indonesia. Kedua lagu yang dipersatukan itu menurut pengakuan Ananda Sukarlan memang lagu favoritnya. Keduanya lagu bernuansa sedih, walaupun virtuositasnya cukup tinggi.
Ananda juga memainkan karya piano solo oleh dua komponis Australia paling terkemuka di dunia yang ditulis khusus untuk Ananda setelah kejadian bom Bali, 12 Oktober 2002. Karya-karya ini sekaligus merupakan “kartu ucapan dukacita” mereka terhadap Ananda dan bangsa Indonesia pada umumnya. Karya Betty Beath, kelahiran 1932, berjudul “Bali Yearning” (Merindu Bali). Di beberapa bagian karya unik ini menggunakan melodi pentatonik khas Bali. Karya ini adalah ungkapan kesedihan Betty Beath yang pernah tinggal di Bali bahkan sempat belajar bahasa Indonesia, setelah mendengar kabar bom Bali 12 Oktober 2002. Sang komponis perempuan asal Brisbane, Queensland saat itu langsung menghubungi Ananda dan menyatakan kesedihannya dari lubuk hati yang paling dalam yang ingin ia ekspresikan melalui musik. Begitu juga dengan Peter Sculthorpe (1929-2014) yang menulis karya yang sederhana, penuh keheningan tapi sangat dalam, berjudul “Little Passacaglia”.
Sedangkan kuartet gesek MSO yang terdiri dari Sarah Curro (Violin 1), Anne-Marie Johnson (Violin 2, Acting Assistant Concertmaster), William Clark (Viola yang menggantikan Lauren Brigden hanya beberapa hari sebelum keberangkatan ke Jakarta dikarenakan masalah kesehatan) dan Michelle Wood (Cello) menampilkan karya String Quartet karya Giacomo Puccini dan dua lagi kuartet gesek komponis Australia, Ella Macens berjudul; “Resting with Angels”) dan Deborah Cheetham-Fraillon berjudul; “Long Time Living Here”. Ananda, Mariska and String Quartet bergabung semua menampilkan Aria terakhir dari opera “I’m Not for Sale” (libretto oleh Emi Suy).
Akhirnya, dengan menabrak batas-batas makna, terciptalah dialog perdamaian melalui musik dan puisi, sebagai dialog kebudayaan. Dan hasil dari dialog-dialog intens itu akan makna baru bagi audiens yang menghayati bunyi dan harmoni yang tersaji dengan begitu puitik dan apik.
Konser ini ditutup dengan karya Ananda berjudul “Annanolli’s Sky”, untuk piano quintet (piano dan kuartet gesek). Karya ini ditulis Ananda atas permintaan Arnuero International Chamber Music Competition di Spanyol tahun 2017. Ananda mendapatkan inspirasi dari karya-karya visual artist dari Finlandia, Tero Annanolli yang kebetulan pameran di Jakarta di sekitar periode tersebut. Menurut Ananda Sukarlan proses kreatif karya ini sebetulnya mencerminkan proses kreatif keseluruhan karirnya sebagai komponis.
“Kompetisi Internasional Musik Kamar Arnuero meminta saya karya yang sangat sulit dan menunjukkan virtuositas yang cukup ekstrim , dan bahayanya adalah batas antara ‘sulit’ dan ‘impossible’ bisa terlewatkan oleh saya sebagai komponis yang sering ‘terlalu asik sendiri’. Nah karya ini memang sangat sulit, tapi di tangan para pemain dari Melbourne ini jadi seperti mudah saja. Jadi saya belajar dari sini, bahwa karya seni itu tidak ada yang sulit. Yang ada adalah ‘impossible’ dan ‘mudah’. Nah, jembatan di antara dua kata itu yang namanya ‘proses belajar’, dan di situlah kita menghadapi banyak tantangan dan kesulitan”, ujar Ananda kepada saya.
Dalam karya terakhir tersebut ia mencoba membuat musik tanpa melodi yang signifikan, tidak seperti musik yang ia tulis sebelumnya. Ananda mencoba mengedepankan ruang itu, langit yang membuat lukisannya tampak sangat berbeda dari lukisan-lukisan lain yang pernah dilihatnya.
Ananda Sukarlan mengaku bahwa dirinya dan para komposer lain menggunakan keheningan sebagai kanvas musik. Dan ruang itulah yang membuatnya terus menerus terpesona. Dalam karya terakhir tersebut ia mencoba membuat musik tanpa melodi yang signifikan, tidak seperti musik yang saya tulis sebelumnya. Ananda mencoba mengedepankan ruang itu, langit yang membuat lukisannya tampak sangat berbeda dari lukisan-lukisan lain yang pernah dilihatnya.
Menurutnya ini adalah langkah lain dari pencariannya tentang bunyi dan kesunyian yang persis seperti cat di atas kanvas. Langit yang indah dan sunyi dan kemudian dirinya sebagai seniman menorehkan sesuatu melampaui kesunyian itu. Dengan cara yang sama pula, melalui Tembang Puitik Ananda Sukarlan ingin menciptakan ruang komunikasi antara puisi dan penikmatnya yang melampaui batas-batas makna dan dinding-dinding kesunyian.