KURUNGBUKA.com – (22/05/2024) Pekerjaan menuntut kesadaran waktu, pemberian tubuh, dan pemakluman atas pelbagai hal yang sulit ditetapkan untung-rugi. Yang bekerja mencari nafkah. Ia bekerja dengan capaian. Pekerjaan yang membuatnya mengerti masalah-masalah yang menimbulkan lelah, bimbang, jenuh, dan dilematis. Bekerja yang “menuntut”, bekerja yang menunjukkan hasil-hasil.
Orang yang bekerja tapi memiliki hasrat “lain” akan membuat perhitungan dengan waktu dan energi yang dimiliki. Ia tidak ingin ada yang sia-sia dan penyesalan yang panjang.
Pengarang itu bekerja. Namun, ia pun ingin memenuhi hasrat menulis cerita. Pilihan waktu ditentukan sekaligus tempat yang “terbaik” dalam membuat tulisan. Haruki Murakami mengelola kafe, sumber pendatan untuk memenuhi beragam kebuthan hidup. Ia tidak ingin habis dalam bekerja.
Ia bercerita saat menulis novel yang kedua sekaligus mengurusi kafe: “… novel itu kugarap larut malam di meja makanku. Dengan perasaan senang sekaligus malu, kusebut dua novel itu sebagai novel meja makan.” Ia tak bermaksud eksentrik tapi menyadari batas kepemilikan waktu dan kekuatan yang masih mungkin digunakan.
Pada akhirnya, ia memihak keputusan menjadi penulis. Babak membagi diri saat bekerja dan membuat tulisan harus dirampungkan demi capaian. “Kuputuskan menjadi penulis penuh waktu,” pengakuan Haruki Murakami. Ia menjual usahanya, yang digantikan dengan waktu-waktu untuk menulis novel-novel, yang lebih panjang dari dua novel sebelumnya.
Ia yang perlahan meyakini sebagai novelis. Pada novel-novel yang berhasil ditulisnya ada panggilan yang makin membuat kesungguhan menjadi pencerita, yang “menguasai” dunia.
(Haruki Murakami, 2020, Seni Menulis, Circa)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<