KURUNGBUKA.com – (06/06/2024) Pada mulanya puisi. Orang membaca di lembaran kertas, berpindah di layar. Selanjutnya, orang mendengarkan atau menonton puisi-puisi yang dibacakan di panggung atau depan kelas. Semuanya belum cukup untuk orang-orang yang ingin menikmati puisi.
Kini, kebiasaan yang mulai berkembang adalah menikmati puisi yang digarapn bersama musik. Kita mendengarnya sebagai lagu. Namun, mula-mula itu puisi yang ada wujud teksnya. Pada saat mendengarkan lagu, kita merasakan ada bunyi-bunyi yang khas. Kita bisa mengembalikannya dulu saat dalam teks. Puisi adalah bunyi. Pengertian belum lengkap.
Kita mundur lagi untuk mengerti. Sapardi Djoko Damono menyampaikan: “… bunyi tetap merupakan warisan yang berharga bagi puisi tulis. Ada yang berpendapat bahwa puisi tulis juga hakikatnya puisi lisan, sebab saat membacanya dalam hati, kita sebenarnya ‘menyuarakannya’.
Huruf-huruf yang tercetak di atas kertas berubah menjadi bunyi terlebih dahulu dalam pikiran kita sebelum menjelma makna.” Kita disadarkan bunyi. Jadi, wajar saja bila murid-murid SD atau SMP dalam mengerjakan tugas menulis puisi sering memikirkan bunyi kata-kata.
Yang menulis puisi tidak cukup memilih kata tapi memperhatikan bunyi. Yang menikmati puisi mendapatkan olahan bunyi. Namun, murid-murid kadang malah kepikiran bunyi. Akibatnya, ia mengabaikan “ketepatan” kata atau kemungkinan makna yang bermekaran dalam puisi jika tergantung bunyi.
Sapardi Djoko Damono memberi contoh: “Dalam kebudayaan Jawa, puisi dinamakan tembang. Oleh sebab itu puisi Jawa klasik harus ditembangkan. Kalau tidak dinyanyikan dan hanya dilisankan lugas, tembang Jawa akan terdengar garing.”
(Sapardi Djoko Damono, 2014, Bilang Begini, Maksudnya Begitu, Gramedia Pustaka Utama)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<