KURUNGBUKA.com – Film bertema coming of age di Indonesia semakin diminati dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah film remaja yang diproduksi dan ditayangkan di bioskop. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi tingginya minat terhadap film coming of age di Indonesia, salah satunya relatibilitas (relatibility). Film coming of age biasanya menceritakan kisah tentang perjalanan hidup dan pencarian jati diri para remaja. Tema-tema ini sangatlah relevan dengan para remaja di Indonesia yang sedang mengalami masa transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan. Hal tersebut bisa mempresentasikan budaya populer yang terjadi di masa kini. Film-film bertema remaja ini belakangan mulai berani mengangkat isu-isu yang sebelumnya jarang dibahas, seperti kesehatan mental, seksualitas, dan identitas gender. Hal ini membuat para remaja merasa lebih terwakili dan didengar.

Hal lainnya tentu karena kualitas film bertema coming of age Indonesia semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini berkat kemunculan banyak sutradara dan penulis muda yang berbakat. Ditambah dengan banyaknya platform streaming film online atau Over the Top (OTT) di Indonesia membuat film bergenre ini lebih mudah diakses oleh masyarakat luas. Beberapa contoh film coming of age Indonesia yang populer: Dilan 1990 (2018), Yowis Ben (2018), Dua Garis Biru (2019), Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) (2020), Yuni (2021), Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021), KKN di Desa Penari (2022) dan Balada Si Roy: Joe (2023). Film yang terakhir disebut akan menjadi fokus dalam pembahasan kali ini.

Bermunculannya film tentang remaja menjadi indikasi meningkatnya minat terhadap film coming of age di Indonesia dan merupakan fenomena positif. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin terbuka terhadap cerita-cerita yang mengangkat tema-tema yang relevan dengan kehidupan remaja. Film coming of age Indonesia juga dapat menjadi media untuk edukasi dan refleksi tentang berbagai isu penting yang dihadapi para remaja.

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Cinema XXI, memberikan data jumlah penonton bioskop Indonesia tahun 2023 secara keseluruhan, yaitu 55 juta penonton. Laporan ini tidak menyertakan data rinci berdasarkan kelas usia, namun menyebutkan bahwa generasi milenial dan Gen-Z adalah kelompok usia yang paling banyak menonton film di bioskop. Beberapa lembaga survei, seperti Nielsen Indonesia dan Populix, melakukan survei berkala tentang kebiasaan menonton film di Indonesia. Survei ini biasanya menyertakan data jumlah penonton berdasarkan usia. Hasil survei menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja (usia 5-19 tahun) merupakan kelompok usia yang paling sering menonton film di bioskop. Jumlah penonton anak-anak dan remaja mengalami peningkatan di tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. Film animasi dan keluarga menjadi genre film yang paling digemari oleh anak-anak dan remaja.

Film Balada Si Roy: Joe (2023) ditulis oleh Salman Aristo dan disutradarai oleh Fajar Nugros. Film ini diadaptasi dari novel legendaris dan fenomenal karya Gol A Gong yang pertama kali ditayangkan dalam cerita bersambung di Majalah Hai circa tahun 1980-an. Kemudian novel berseri tersebut terbit pertama kali di Gramedia Pustaka Utama tahun 1989 dengan total 10 seri: Joe, Avonturir, Rendez-Vous, Bad Days, Blue Ransel, Solidarnosc, Telegram, Kapal, Traveler, dan Epilog.

Film Balada Si Roy: Joe ini diadaptasi berdasarkan novel pertamanya berjudul sama. Joe diambil dari nama anjing peliharaan milik Roy. Film ini bercerita tentang tokoh Roy Boy Harris diperankan oleh Abidzar Al-Ghifari, pindah tempat tinggal di Kota Serang, Banten dan ingin menaklukkannya. Itulah yang membuatnya langsung menjadi pusat perhatian di sekolah barunya di Serang, kota kelahiran Sang Ibu (Lulu Tobing) sepeninggal ayahnya (Ramon Y. Tungka). Tampan, gayanya keren di masanya, sedikit berandal, dan selalu ditemani Joe, anjing herder-nya yang setia. Dari semua siswa, hanya Ani (Febby Rastanty) gadis manis yang bisa merebut hatinya. Kedekatan Ani dengan Roy membuat Dullah (Bio One), penguasa sekolah yang juga anak seorang pejabat terpandang di Serang, merasa terancam dan bersama kubunya, Borsalino, terus-menerus menyerang Roy. Film  ini mengisahkan perjalanan hidup dan pencarian jati diri sosok Roy sebagai pemeran utama.

Secara plot, film Balada Si Roy: Joe sangat bersetia dengan novelnya. Gaya penceritaan yang multiplot di dalam novel, dialihwahanakan dalam skenario semirip mungkin. Bisa dibilang 90 persen adegan dalam novel diterapkan hampir seluruhnya ke skenario hingga menjadi film utuh yang tayang di bioskop. Hal ini menjadi kasus yang menarik karena kesetiaan pada sumber asli dipandang sebagai kasus yang istimewa daripada hanya sebuah aturan (Thomas Leitch, 2007). Cukup jarang ditemukan karya adaptasi film yang memiliki kesetiaan luar biasa (Exceptional Fidelity) terhadap sumber aslinya. Pasti ada banyak pertimbangan kenapa memilih bersetia atau tidak, salah satunya faktor ekonomi atau keterbasan budget.

Dalam bukunya, diceritakan Roy memulai petualangan menemukan tambatan hatinya. Mulai dari pertemuan dengan Ani, Wiwik, dan Dewi. Masing-masing proses perkenalannya ditunjukkan. Belum selesai dengan hal tersebut, digambarkan juga bagaimana suasana di tahun 80-an, latar tahun yang dipakai dalam film ini. Bagaimana misalnya, ketika di tahun itu Kota Serang sedang dikuasai oleh para jawara dan tatanan lama yang secara tidak langsung mengekang kehidupan masyarakatnya. Roy, sebagai pemuda asal kota Bandung yang pindah ke kota Serang, merasa memiliki kewajiban untuk menghancurkan tatanan lama dan membangun tatanan baru di mana setiap manusia berhak atas hidupnya tanpa memandang lagi status sosial. Hal tersebut diperlihatkan lewat keributannya dengan Dullah.

Diceritakan juga Roy seorang pembaca buku yang ulet, senang bertualang dari satu tempat ke tempat lain, dan hobi menuliskan keresahan yang ditemuinya. Hal ini menjadi upaya sebagai bagian dari alur yang berkelindan, namun bila menyaksikan filmnya, kita akan melihat bahwa setiap cerita berdiri sendiri. Upaya untuk menganyam satu alur cerita dengan alur cerita lainnya terasa dipaksa menyatu. Bahkan akan kita temukan adegan horor ketika Roy diguna-guna dan melihat penampakan hantu di kamarnya. Ada lagi adegan kejar-kejaran motor balapan liar antara Roy dan Dullah yang memakan durasi cukup panjang tanpa klimaks yang cukup memuaskan, sedangkan kisah lainnya digantung begitu saja tanpa ada penyelesaian terlebih dahulu.

Joe, yang namanya dipakai untuk judul, hanya dikisahkan di 15 menit pertama. Anjing herder peliharaannya menjadi trigger awal mengapa Roy begitu membenci kesewenang-wenangan yang dilakukan Dullah terhadapnya dan masyarakat di bawah ketiak kepemimpinan ayahnya. Bukan hanya multiplot, film ini jadi multigenre yang sayangnya tidak tergarap secara maksimal─tanpa ingin menyebutnya tempelan dan asal-ada.

Analisis ini terkait dengan pengakuan Fajar Nugros dan Salman Aristo yang mengatakan kalau novel Balada Si Roy karya Gol A Gong ini adalah buku yang mengubah hidup mereka (IDN Times, 2020). Ikatan emosional tokoh-tokoh dalam novelnya “menjerat” mereka sehingga barangkali, hal semacam ini tidak memberikan jarak yang cukup ketika mereka mendapatkan kesempatan untuk mengalihwahanakannya ke film. Semua adegan yang ada dalam film dipaksa masuk menjadi bagian dalam cerita. Salman Aristo sendiri dalam beberapa wawancara mengaku sengaja mengadaptasinya dengan tetap bersetia dengan sumber aslinya.

“Salman Aristo menyatakan ia ingin memilih kesetiaan (fidelity) terlebih dulu dalam proses adaptasi ini, karena ia, dan juga Fajar, adalah fans dari karya Gol A Gong tersebut. Namun, kesetiaan itu yang justru membelenggu potensi-potensi yang lebih bisa dikembangkan.” (Media Indonesia, 2023)

Rupanya, memilih bersetia dengan bukunya yang multiplot tidak menjadikan film ini berhasil diterima dengan baik oleh para penonton, khususnya para penggemar militan dari novel legendaris ini. Novelnya cukup mendulang banyak pujian dan laris manis secara penjualan, terlihat dari seringnya novel ini dicetak ulang sejak pertama kali diterbitkan hingga ketika kabarnya akan difilmkan untuk pertama kali sejak 32 tahun yang lalu. Sambutan penonton film adaptasinya dirasa kurang begitu besar, memiliki banyak faktor, salah satunya karena film ini sempat diundur jadwal tayangnya berkali-kali. Akhirnya, film Balada Si Roy: Joe tayang di bioskop tanggal 19 Januari 2023, tayang bersamaan dengan film-film luar negeri dan film horor─yang juga menjadi pertimbangan penonton.

Hal tersebut berpengaruh kepada angka perolehan penonton untuk film-film yang tayang di bioskop pada masa itu. Belum lagi, ekspektasi penonton film yang tidak terpenuhi. Penggemar karya asli sering kali memiliki harapan tertentu, dan kegagalan memenuhi harapan tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan. Dalam buku A Theory of Adaptation (2006) yang disusun Linda Hutchen, di sana disebutkan bahwa jika kita mengetahui teks yang diadaptasi, kita lebih suka menyebut kita “mengetahui”, daripada deskriptor yang lebih umum, yaitu terpelajar atau kompeten (Conte 1986: 25). Film Balada Si Roy: Joe memaksa memasukkan semua hal yang terjadi di dalam novel rupanya bukanlah keputusan yang sepenuhnya tepat. Sebab, bagi knowing audience, hal tersebut menjadi jebakan karena penonton memiliki nostalgia dan imajinasinya tersendiri terhadap hubungan teks dan visual yang kadung mendekam di dalam benaknya.

Hal ini menarik untuk dijadikan bahan diskusi. Mengapa misalnya, novel bisa berhasil dengan multiplot tetapi film tidak?

Bila ditinjau dari ketersediaan ruang di masing-masing medium, novel memiliki keleluasaan untuk dikembangkan berlembar-lembar hingga berjilid-jilid. Di abad ke-19, rata-rata novel memiliki jumlah halaman sampai 1000 lebih. Sementara di saat ini, rata-rata panjang novel 300-400 halaman (Thomas Leitch, 2007). Artinya penulis memiliki porsi lebih besar dalam media teks ketimbang audio-visual. Film layar lebar rata-rata berdurasi 2 jam atau bila dalam skenario kira-kira 120-125 halaman.

Secara psikologis durasi tersebut dianggap cukup ideal untuk penonton film. Rata-rata penikmat film mau menyisihkan waktunya untuk duduk selama 2 jam, lebih dari itu orang malah kelelahan menghabiskan waktunya hanya sekadar untuk menatap layar bioskop. Belum lagi menonton mestilah fokus, tidak bisa diganggu dengan kegiatan lain seperti buang air kecil dan semacamnya. Karenanya, novel memungkinkan untuk memasukkan banyak plot di dalam ceritanya karena pembaca memiliki keleluasaan waktu untuk membacanya─meskipun film di media streaming saat ini bisa kita jeda, namun dalam konteks ini yang dimaksud adalah film bioskop.

In adaptation terms, a good beginning might not present itself until some time into the novel. In Kramer versus Kramer, the writer begins with over forty pages of background information before there is a suitable beginning for the screenplay….” (Stuart Ian Burns, 1996). Karya film adaptasi rata-rata memulai cerita dari 40 halaman pertama sebuah novel, artinya saat cerita baru memasuki konflik awal. Sedangkan biasanya dalam novel di 40 halaman awal barulah pengenalan karakter dan dunia yang dibangunnya. Sebagai seorang pembuat film, kesadaran dan kepekaan semacam ini perlu dimiliki, agar bisa membaca bagian mana saja dalam sumber asli yang akan diceritakan atau dipangkas untuk karya filmnya, sehingga tidak terasa bertele-tele dan membuat bosan penonton sejak menit awal.

Hal tersebut yang ditemukan ketika membandingkan karya film adaptasi Balada Si Roy: Joe dengan novelnya. Di dalam novel, penjabaran terkait emosi dan bagaimana penulis membangun suasana tersebut berhasil lewat dialog dan narasi yang mumpuni, sehingga pembaca mendapatkan klimaks atas konflik yang sedang dibangun dari setiap plot cerita yang dihadapi oleh karakter utama. Sementara dalam film, dalam keterbatasan ruang dan durasi, plot yang berdesakan membuat alur cerita terasa serba nanggung. Belum selesai dengan satu konflik, sudah dimunculkan konflik lain tanpa mengaitkan antara satu konflik di dalam plot ke konflik di dalam plot berikutnya. Ibarat jahitan kain yang tidak senada, potongan-potongan fragmen saling tindih dan tidak mendukung satu sama lain. Akhirnya penonton tidak terpuaskan lantaran emosi yang diterima belum selesai, yang membuat hilangnya empati untuk setiap karakter yang muncul.

Pemilihan pembabakan dalam durasi 109 menit dengan tempo medium ini terasa melelahkan. Menjejalkan semua topik menjadikan film pencarian jati diri Roy ini begitu kaya akan gagasan, namun di lain hal memiliki risiko yang cukup tinggi, sehingga baik sadar maupun tanpa sadar membuat film ini terlihat kesulitan menentukan plot utama dan kehilangan titik fokus yang ingin disampaikan. Akan lebih efektif misalnya seperti waralaba Dilan yang fokus pada penguatan karakter tokoh utama dengan kisah asmaranya dan pergaulannya. Sutradara dan penulis skenario semestinya mampu memilih bagian dari novel mana yang tepat untuk dijadikan pondasi utama. Jangan sampai kesetiaan kepada novel itu yang justru membelenggu potensi-potensi yang ada di tubuh filmnya.

Selain multiplot, Fajar Nugros juga menggabungkan berbagai genre di film Balada Si Roy: Joe ini. Kisah asmara, horor, drama keluarga, laga, dan geng-gengan semua campur aduk, yang sayangnya tidak tergarap secara optimal sehingga penonton kesulitan memilih bagian mana yang sepatutnya diikuti. Sebaiknya, sebagai filmmaker, saat memutuskan akan mengadaptasi suatu karya ke medium film, dia mampu memutuskan alur mana yang paling kuat dari banyaknya alur cerita yang ditawarkan dalam sumber asli. Sebab, durasi film sangatlah terbatas sementara novel ruangnya begitu luas tak terbatas. Memahami target penonton dan jam penayangan pun dirasa cukup penting untuk mencapai target box office sebuah karya film. Karena bilaflop pasti akan meninggalkan rasa kecewa dan menyesal lantaran membuat film bukanlah pekerjaan yang ringan dan mudah. Ada banyak keringat dan pengorbanan kru dan aktor untuk berhasil menelurkan karya film panjang yang bagus dan laris manis, dan tentu saja biaya miliaran yang dikeluarkan oleh investor agar balik modal.

The move from the literary to the filmic or televisual has even been called a move to “a willfully inferior form of cognition.” (Newman 1985: 129). Pernyataan tersebut benar adanya. Memang diperlukan kerelaan untuk memangkas cerita asli ketika dialihwahanakan ke sinema, meskipun akan mengurangi kualitas ceritanya. Sebetulnya, hal tersebut bagian dari tantangan bagi filmmaker untuk memaksimalkan kreativitasnya dalam ruang lingkup yang dibatasi durasi. Bagaimana misalnya, dengan satu plot dan konflik saja bisa fokus dan berhasil mencuri perhatian penonton. Tentu saja penguatan karakter dan pemilihan aktor yang tepat menjadi salah satu indikator keberhasilannya. Seorang sutradara adalah pemegang peran paling besar dan tanggung jawab atas produksi filmnya. Semua keputusan berada di pundak sutradara ketika mengeksekusi cerita dan mengarahkan para aktornya.

Sapardi Djoko Damono dalam buku Sastra Bandingan menyatakan bahwa jika sebuah karya sastra diubah menjadi media lain seperti film, maka banyak yang harus dilakukan sehingga menyebabkan perubahan (Damono 2009, 123-134). Perubahan-perubahan yang kemungkinan terjadi pada proses pelayarputihan dirumuskan Eneste dalam bukunya Novel dan Film yaitu berupa penambahan, penciutan atau pengurangan maupun variasi-variasi baru yang bisa dimunculkan (Eneste 1991, 60-65). Meski begitu, ekranisasi telah membuat novel dan film yang berada dalam kajian berbeda menjadi berhubungan erat. Hal ini terjadi karena novel merupakan suatu ide cerita dalam film ekranisasi. Selain itu, perubahan bentuk dari novel ke film dipengaruhi oleh keterbatasan yang dimiliki masing-masing media, juga dipengaruhi oleh adanya proses resepsi, pembacaan sutradara atau penulis naskah/skenario terhadap novel atau karya sastra tersebut (Bluestone 1957, 1).

Louis Giannetti meyebutkan bahwa seorang sutradara mampu melakukan pengadaptasian novel ke dalam bentuk film melalui beberapa pendekatan. Oleh karena itu, Gianetti merumuskan teori-teori pendekatan adaptasi novel untuk mempermudah penjelasan karena kebanyakan dalam praktiknya adaptasi berada di antara satu sama lain teori tersebut. Giannetti memilah pendekatan adaptasi novel menjadi 3 model, yaitu loose yang berarti longgar, faithful yang berarti setia dan literal (Giannetti 2013, 400).

Keputusan untuk bersetia dengan sumber asli rupanya menjadi jebakan tak kasat mata. Hal lainnya mungkin karena cerita terlalu fokus pada sumber asli, menjadikan penonton tidak mendapatkan pengalaman lebih atas karakter-karakter yang mereka kenal. Artinya, Knowing Audience ingin mendapatkan hal lain dari apa yang sudah dibacanya selama ini. Sementara Unknowing Audience barangkali akan berterima saja selama film adaptasi yang ditontonnya bisa memuaskan secara cerita.

Pierre Bourdieu mengklasifikasikan legitimasi dalam arena produksi kultural (film, sastra, musik dll) menjadi tiga jenis yakni: (1) legitimasi spesifik, yaitu pengakuan yang diberikan oleh sekelompok kepada produsen lain yang menjadi pesaing mereka—legitimasi yang setara dengan seni untuk seni, yang otonom dan cukup-diri; (2) legitimasi borjuis; legitimasi yang berkesesuaian dengan selera borjuis yang diberikan fraksi-fraksi dominan dalam kelas dominan atau alat-alat (institusi) negara; (3) legitimasi populer, yaitu konsekrasi yang diberikan oleh pilihan-pilihan konsumen umum atau audiens-massal.

Legitimasi populer yang dimaksud bisa dilihat dari total jumlah penonton selama film tayang di bioskop. Menurut laporan tim publisis, film Balada Si Roy: Joe meraih 123.564 penonton sebelum akhirnya turun dari bioskop. Hal tersebut secara bisnis tentu saja merugi. Diketahui dari wawancara budget produksi dan promosi untuk film Balada Si Roy: Joe menghabiskan biaya senilai 27 miliar rupiah. Banyak sekali aktor muda dan berpengalaman yang terlibat dalam film ini. Konon, sekuel film ini akan digarap bila film pertamanya sukses. Sementara, melihat faktanya tampaknya hal tersebut akan dipertimbangkan ulang kembali. Artinya, jumlah penonton yang diperoleh menunjukkan film ini flop di pasaran.

Apa yang bekerja dengan baik dalam satu media mungkin tidak berhasil di media lain. Bila kita melihat film Dilan 1990 sebagai pembanding, cerita dipercayakan kepada tokoh utama yang diperankan oleh aktor berbakat Iqbaal Ramadan. Konfliknya berpusat hanya pada satu kejadian tawuran antar sekolah dan kisah percintaannya berhasil menciptakan trendsetter tersendiri dengan kutipan dialog puitisnya sehingga filmnya mendulang keberhasilan. Memang banyak faktor, tetapi paling tidak secara cerita film tersebut sudah cukup baik dalam upaya menggaet penonton remaja.

Berbeda dengan film Balada Si Roy: Joe. Karakter-karakternya para remaja, tetapi ceritanya cukup berat untuk diterima para anak muda zaman kiwari. Alih-alih mereka yang menjadi target audience, justru malah penontonnya didominasi oleh pembaca militannya yang berusia di atas 40 tahun, yang berarti tidak semua dari pembaca itu gemar menonton film bila dilihat dari data yang ditunjukkan di awal, sehingga tidak terlalu banyak mendapatkan kelas penonton baru.

Kegagalan film Balada Si Roy: Joe dalam memenuhi ekspektasi penonton dan mencapai target box office dapat dikaitkan dengan ketidakmampuan film untuk mempertahankan keunikan plot dan karakter novel aslinya, serta strategi pemasaran yang kurang tepat. Tanggal tayang yang berganti-ganti dan kurangnya promosi yang efektif dapat menyebabkan film tidak menjangkau target audience yang diharapkan. Kemungkinan lainnya adalah preferensi penonton terhadap film saat ini mungkin telah berubah. Genre film Balada Si Roy: Joe yang menggambarkan remaja kritis terhadap pemerintahan mungkin tidak lagi populer di kalangan penonton saat ini. Sekalipun Abidzar performanya cukup baik dalam memerankan tokoh Roy, pemuda si pembawa perubahan dan tatanan baru di lingkungan Kota Serang pada masa itu.

Flopnya film Balada Si Roy: Joe merupakan kombinasi dari beberapa faktor, termasuk ketidakmampuan film menawarkan pengalaman baru dari karakter di dalam novel. Memahami faktor-faktor ini dapat membantu para pembuat film di masa depan untuk membuat adaptasi film yang lebih sukses. Selain itu, sebagai film adaptasi yang diangkat dari novel laris, ternyata bersetia pada jalan cerita menjadikan filmnya tidak fokus pada satu plot sehingga penonton, baik yang sudah baca maupun belum membaca novelnya, kesulitan mengikuti alur cerita yang ditawarkan dalam film.

Gap usia dengan alur cerita yang disuguhkan juga menjadi salah satu faktor film Balada Si Roy: Joe mengalami flop dalam penjualan. Saran yang bisa diberikan berusahalah untuk membuat relatibilitas antara penonton dan cerita yang disuguhkan. Selain itu upayakan untuk menentukan target penonton sebelum menyuguhkan film. Karakter dan aktor remaja rupanya tak selalu berhasil meraih antusiasme penonton remaja bila cerita yang ditawarkan tidak memiliki ikatan emosional dengan realitas yang mereka alami di masa kini. Perbedaan latar masa yang ditawarkan pada akhirnya memberi jarak yang cukup jauh dengan penontonnya.

Cilegon, 07 Agustus 2024

***

Referensi: