KURUNGBUKA.com – Buku yang punya judul unik mula-mula diterbitkan oleh Grafiti. Buku berisi cerita-cerita yang digubah Yanusa Nugroho. Yang suka dengan bacaan bermutu ingat buku itu berjudul Bulan Bugil Bulat. Buku yang makin mengukuhkan Yanusa Nugroho sebagai pengarang mumpuni di Indonesia.
Pada masa berbeda, buku itu muncul lagi dengan penampilan berbeda, yang tampak menjadi jelek. Yang menerbitkan bukan Grafiti lagi. Buku mendapat cap sebagai bacaan di sekolah-sekolah.
Yanusa Nugroho, nama yang memastikan ketekunan dalam bersastra. Kita mendapatkan buku-bukunya yang diterbitkan Grasindo, Penerbit Buku Kompas, Tiga Serangkai, dan Kepustakaan Populer Gramedia. Beberapa pembaca mengingatnya dalam kaitan sastra dan wayang.
Beberapa hari yang lalu, Yanusa Nugroho mengabarkan nasib buku, sastra, dan rezeki. Ia mengumumkan tidak mengetahui mengenai bukunya yang cetak ulang. Masalah uang pun tidak jelas. Kabar diunggah di media sosial itu membuka masalah buruk di Indonesia. Sejak lama, penerbit dapat berlaku “curang” terhadap penulis, yang bukunya cetak ulang atau masalah jumlah penjualan buku.
Tanggapan-tanggapan bermunculan yang membuat kita ikut prihatin dengan nasib pengarang, pasang-surut perbukuan sastra, kebijakan pengadaan buku oleh pemerintah, dan lain-lain. Yanusa Nugroho itu pengarang terkenal tapi hak-haknya terabaikan oleh penerbit.
Kita mengingat yang berbeda saja ketimbang berhitung uang dalam perbukuan sastra. Dulu, Yanusa Nugroho menulis dan mengirim cerita pendek ke pelbagai media. Kita menemukan ada yang dimuat dalam majalah Amana, 14 Agustus 1987. Majalah itu berdakwah. Cerita yang dimuat mungkin diharapkan sesuai misi dakwah. Cerita pendek yang dimuat dalam majalah Amanah berjudul Bias-Bias Lepas. Bagaimana pengarang mampu mengolah sastra berdakwah?
Kita disuguhi cerita tentang bapak dan anak-anak yang berurusan dengan agama. Bapak itu bilang kepada anak-anaknya: “Begini anakku, Kalian masih ingat pada ustadz Saipulah, waktu memberi wejangan hari Jumat kemarin?” Anak-anak bergantian memberi jawaban, yang membuat pembaca cepat paham ada masalah keagamaan.
Ada anak yang mengatakan bahwa kita tidak boleh berdusta. Agama mengajarkan kita harus jujur. Ada yang menjawab tidak boleh tolong-menolong dalam dosa. Beberapa jawaban merujuk dari pengajaran agama. Namun, bapak yang bijak, memberi penjelasan lebih panjang: “Yang terlupakan oleh kalian adalah soal hak, soal rezeki, dan pembagiannya. Bukankah menurut ustadz Saipulah, pada setiap harta orang kaya terdapat hak orang miskin? Prakteknya begini, jika ada seseorang memiliki uang seribu rupiah, maka artinya dia memperoleh rezeki sembilan ratus rupiah.”
Kita mengira pengarang paham ajaran-ajaran dalam agama Islam. Yang membaca maklum bahwa cerita pendek yang dimuat sesuai misi dakwah majalah Amanah.
Selanjutnya, anak-anak penasaran dengan penjelasan bapaknya. Kebingungan tidak boleh berkepanjangan. Maka, bapak memberi keterangan: “Begini. Seribu rupiah tetap di tangannya, hanya saja yang seratus rupiah hendaknya disedekahkan kepada orang miskin, seperti kita. jadi, dia hanya berhak membelanjakan uangnya paling pol sembilan ratus rupiah.”
Pembaca diajak belajar mengenai Islam dan keadilan sosial. Yang ingin menjadikan cerita pendek makin bermakna boleh mengaitkan dengan kepustakaan yang ditulis Murtadha Muthahari, Ali Syariati, Nurcholis Madjid, Masdar F Masudi, dan lain-lain.
Kita membayangkan cerita pendek itu disampaikan saat pengajian. Apakah pengarang pernah berperan sebagai penceramah di masjid? Apakah ia berani menyajikan cerita pendek untuk menyadarkan jamaah mengenai keadilan sosial? Kita kadang berpikiran mengganti materi pengajian dengan cerita pendek atau puisi mungkin memberi kesan-kesan yang mendalam bagi jamaah.
Cerita pendek yang ditulis Yanusa Nugroho sebenarnya berisi “diskusi”. Kita yang membaca diminta menentukan pilihan sikap. Pembaca kadang merasa sedang membaca catatan hasil diskusi. Yang disampaikan: “Pengemis adalah orang yang tidak tahu hak atau tak tahu bagaimana seharusnya menggunakan hak. Buktinya, dia malah merendahkan diri membuat orang lain iba melihatnya dan itu sama saja dengan menjual dirinya.”
Yanusa Nugroho mungkin tidak menganggap ceritanya yang dimuat dalam majalah Amanah adalah yang terbaik atau khas. Ia tidak harus rajin menulis cerita yang berdakwah. Di sastra Indonesia, ia sulit diakui sebagai pengarang yang getol menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Masa lalu itu masih terbaca.
Namun, saat usia tua, Yanusa Nugroho bisa saja berada dalam masa pendalaman iman dengan membuat cerita-cerita bertema agama, melanjutkan cerita yang tersaji di Amanah.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<