KURUNGBUKA.com – Yang pernah atau sedang kuliah di jurusan sastra Indonesia mendapat masalah kritik sastra. Para mahasiswa dianjurkan membaca buku-buku: lama dan baru. Buku lama yang masih saja digunakan dan dikutip tentu buku-bukunya HB Jassin dan A Teeuw. Dua orang itu tetap diakui sebagai kritikus sastra.

Pada kesempatan dan kepentingan berbeda, para mahasiswa membaca buku-buku Rachmat Djoko Pradopo, Budi Darma, dan Faruk untuk mengetahui kritik sastra. Di kampus, pengajaran kritik sastra jarang dilakukan secara serius. Dosen dan mahasiswa boleh omong bahwa kuliah di situ tidak mencipta kritikus sastra. Mengapa mereka tidak ingin menjadi kritikus sastra? Apakah mereka malu? Apakah merasa kurang pintar.

Yang membaca tulisan-tulisan lama dari Sapardi Djoko Damono, Jakob Sumardjo, Linus Suryadi AG, Dami N Toda, dan Subagio Sastrowardoyo menemukan contoh-contoh kritik sastra yang berbeda kekuatan. Namun, nama-nama itu masihkah teringat pada masa sekarang? Biarlah nama-nama itu terlupa, tidak akan ada penyesalan.

Pada abad XXI, dosen dan mahasiswa dapat membaca tulisan-tulisan Tia Setiadi, Sunlie Thomas Alexander, dan Martin S, Mereka adalah penulis-penulis yang tangguh, yang menghasilkan kritik sastra terpenting untuk dipelajari dan ditiru. Masih ada beberapa nama yang membuat kritik sastra di Indonesia dianggap ada, bukan berarti menggairahkan atau melaju kencang.

Dulu, ada nama yang ikut mengurus kritik sastra. Pada suatu saat namanya ditulis Ahar. Di kesempatan berbeda, nama yang ditulis Andre Hardjana. Nama yang jarang diingat di kelas-kelas perkuliahan (kritik) sastra. Yang suka membaca buku-buku terbitan Gramedia pasti mengetahui buku Andre Hardjana mengenai kritik sastra. Buku berwarna hijau dan tipis. Buku yang jarang dikutip atau dijadikan referensi terpenting di Indonesia.

Tulisan-tulisannya dimuat dalam majalah Basis? Tulisan yang bersambung walau bukan cerita. Ia sudah bersungguh-sungguh membahas kritik sastra tapi tulisan dan bukunya kadang dianggap hanya pelengkap, belu buku babon. Yang terpuji, ia sudah berani mengakukan tulisan yang memungkinkan kritik sastra tetap mendapat peran dalam arus kesusastraan Indonesia.

Di majalah Basis edisi Juli 1966, dimuat tulisannya yang berjudul Aspek-Aspek Kritik Sastra. Yang wajib diketahui adalah istilah ‘aspek” sangat sering digunakan dalam judul makalah atau skripsi di jurusan sastra. Bagaimana istilah itu langgeng sampai sekarang? Para pengamat skripsi kadang membaca “dimensi” digunakan dalam judul, bermaksud menghindari “aspek”.

Ahar menjelaskan: “Kritik historis berhubungan dengan watak dan orientasi historisnja. Kritik re-kreatif berhubungan dengan kepribadian artistiknja jang istimewa. Kritik penghakiman berhubungan dengan nilai atau kadar artistiknja. Aspek-aspek ini sepenuhnja merupakan faktor-faktor persjaratan bagi satu proses organis. Hubungan antara aspek jang satu dengan aspek lainnja djelaslah kalau bersifat analog dengan hubungan jang terdapat pada gaja, kerpibadian, dan nilai didalam setiap seni sastra.” Siapa masih percaya dan menggunakan penjelasan itu saat membuat esai sastra atau kritik sastra? Kita semestinya mengetahui semua penjelasan itu mengambil dari sumber-sumber Barat, yang mula-mula mendapat kaidah-kaidah sastra modern.

Kita lanjutkan keterangan dengan sosok: “Kritikus jang ideal dan tjakap adalah seorang kritikus jang disamping tadjam baik dalam orientasi historis maupun dalam melakukan re-kreasi-nja serta pengkadjian terhadapnja. Dan setjara tegas dapat dikatakan bahwa tiada seorang kritikus pun jang bisa bekerdja tanpa mengetahui salah satu aspek tersebut.” Kita manut saja. Padahal, kita malas dan mengaku tidak bisa membuat kritik sastra. Di Indonesia, orang yang berani menulis kritik sastra rela saja bila mendapat kritik dari Nirwan Dewanto, Saut Situmorang, dan AS Laksana.

Pada abad XXI, penulisan kritik sastra sudah melampaui jauh petunjuk-petunjuk masa lalu. Yang berani membaca tulisan-tulisan mutakhir agak mengetahui bahwa kritik sastra mirip petasan yang bikin kaget atau 12 kali suara kentut yang menimbulkan masalah ketimbang memberi cerah. Namun, kebutuhan adanya kritik sastra terus dinantikan, yang membuat DKJ dan PDS HB Jassin mengadakan sayembara penulisan kritik sastra.

Yang masih mau dan suka membaca kritik sastra biasanya memiliki bekal judes, kecewa, sambat, dan koar-koar. Kita menuduh ketekunan membaca kritik sastra mengakibatkan tubuh jadi kurus dan gampang terkenal flu. Kita mendingan memilih membaca novel, cerita pendek, atau puisi agar tidak terlalu ketinggalan dalam kemajuan sastra Indonesia. Urusan membaca kritik sastra bisa dilakukan di menit-menit menjelang kiamat saja.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<