Di balik gorden warna abu-abu, saat Anis tengah membuat minum untuk tamunya di dapur, aku bersembunyi. Mataku masih mengawasi pria yang Anis bawa ke rumah. Pria itu selalu memakai jubah putih, perawakannya tinggi, baunya aneh. Aku tidak suka dia dekat-dekat dengan Anis. Lebih tidak suka lagi, saat dia sesekali menatapku, tersenyum, lalu melirik lagi. Pernah juga dia melambai memanggilku untuk duduk bersamanya, tetapi aku langsung mengadukannya pada Anis. Namun, Anis marah dan tidak percaya. Kuperhatikan, tatapannya tidak beres sebagai seorang yang mencintai putriku, sepatutnya dia menjaga tatapannya dariku.
Lagi, pria itu tersenyum.
“Sini, Bu. Duduk sama Ali.” Aku terkesiap, persembunyianku telah diketahuinya. Kurang ajar, pria itu lagi-lagi tersenyum menggoda.
Kali ini aku berlari ke dapur. Anis tengah membuatkan minum, ragu-ragu aku ingin bicara. Kuremas-remas ujung baju, menatap putri cantikku yang juga memakai jubah putih penuh keraguan. Aku takut Anis marah jika mengatakan yang sebenarnya tentang pria yang dicintainya itu. Aku belum memiliki bukti kalau pria itu tidak baik untuk Anis. Mana ada calon menantu yang menggoda ibu mertuanya. Itu salah di mata siapa pun. Namun, sudah berkali-kali pula aku mengadu, Anis lebih percaya pada pria yang menyebut dirinya sebagai Ali itu.
“Anis.”
“Iya, Bu?”
Aku segera mendekatinya, meraih tangannya untuk memberi kekuatan.
“Tadi Ali godain ibu lagi. Sumpah! Ibu enggak bohong, Nis. Kali ini kamu harus percaya sama ibu. Tolong, Nis, percaya sama ibu!”
Anis menghela napas, kepalanya tertunduk. Sepertinya dia telah mengetahui sikap bejat Ali selama ini di belakangnya. Syukurlah, jika Anis telah memergokinya sendiri sebelum terlambat.
“Anis sudah tahu, Bu. Nanti Anis bicara sama Mas Ali.”
“Beneran, Nis? Putusin aja pacarmu itu!” Anis mengangguk dan tersenyum, lalu membawa minuman ke ruang tamu.
Aku memberinya ide untuk segera putus dari Ali. Dengan begitu, pria aneh itu tidak akan kembali ke rumahku lagi. Kuikuti langkah Anis, berhenti di balik gorden dan kembali bersembunyi. Aku tidak ingin Ali melihatku mengawasinya. Keduanya diam saja, sepertinya memang mereka bertengkar. Wajah Anis terlihat sedih, membuatku kian kesal pada si Ali itu. Kulihat Anis bangkit, melepas jubah putihnya seraya berjalan menghampiriku.
“Bu, Anis mau ke warung dulu, mau beli diaper. Ibu mandi gih. Mas Ali mau mengajak kita pergi.”
Anis berlalu setelah mengatakannya. Sedangkan aku merasa tidak bersemangat. Ali pasti akan membawa kami ke apartemen yang besar itu lagi. Namun, aku tidak menyukainya. Di sana berisik, banyak sekali penghuninya. Banyak orang-orang tidak beradab yang tinggal di gedung besar itu. Otak mereka besar, tetapi hatinya kecil. Tidak seperti yang sering di jalan-jalan, jika melihatku pasti banyak orang baik menyodorkan minum, menawari tumpangan, juga menawari mengantar pulang melihatku yang sudah menua. Orang-orang yang di jalan itu hatinya besar, walau tidak jarang otaknya juga kecil.
Ali berjalan mendekatiku, membuatku takut karena Anis tidak di rumah saat ini. Aku tidak suka melihat senyumnya itu, persis seperti pria kelaparan.
“Ayo, Bu. Kita mandi.”
Aku segera menamparnya saat dia meraih lenganku. Kali ini dia sudah kurang ajar lagi.
Entah pria macam apa dia ini. Mataku memanas, tanganku gemetar, mengingat Ali adalah pacar Anis, putriku sendiri. Masih tidak menyangka Anis bisa bertahan dengan pria seperti Ali.
“Kamu apakan anak saya, sampai dia mau hidup bersamamu? Kamu guna-guna, kan?” Aku berteriak kesal. Hatiku sakit, mengetahui pengkhianatan Ali pada Anis, tetapi aku tidak bisa membuktikannya.
Pria berengsek sepertinya tidak pantas mendapatkan Anis, seorang wanita baik dan cerdas. Tidak tahan, aku menangis histeris. Namun, Ali kian memaksa dan menyeretku ke kamar mandi di kamarku. Dia mulai melepas kancing dasterku, segera kudorong Ali sekuat tenaga hingga dia terhuyung. Aku menyerukan nama Anis saat Ali meraihku lagi, aku berteriak meminta tolong. Walau mungkin tidak akan ada yang dengar, karena Ali si berengsek sudah mengunci pintu kamar mandi.
“Anis, tolong ibu! Tolong!”
Ali terlihat semakin beringas, mengangkat tubuhku yang memegangi gagang pintu. Aku meraung, berharap Anis segera datang dan menolong. Ini tidak benar, Ali adalah pria yang dicintai Anis, setidaknya Ali seharusnya memikirkan perasaan Anis jika mengetahui perilakunya. Kini dia berani memelukku dari belakang, mencoba melepas dasterku. Kucakar lengannya, kugigit tangannya sekuat tenaga, kupukul kepalanya dengan gayung dan membuatnya melepaskanku.
Melihat kesempatan itu, aku langsung membuka pintu kamar mandi dan mengunci Ali dari luar. Tubuhku sudah sedikit basah, sebab Ali sempat menyalakan keran. Beruntung aku mampu melawan tenaganya dan bisa lolos hari ini. Aku berlari ke luar rumah dengan menangis keras, Anis belum juga kembali. Aku sungguh ketakutan melihat keberanian Ali yang kurang ajar saat Anis tidak ada.
Beberapa tetangga sampai keluar rumah saat mendengar tangisanku. Beruntung saat bersamaan Anis terlihat muncul dari sebuah gang, dia berlari saat melihatku menangis histeris, lalu membawaku masuk ke dalam rumah. Kuceritakan kejadian sebenarnya saat di kamar mandi, Anis menangis sedih, sudah pasti. Hatinya sakit mengetahui pacarnya bisa berbuat hal demikian pada calon ibu mertuanya sendiri.
“Ibu baik-baik saja, Nis. Ibu enggak apa-apa. Ibu selamat. Ali sudah ibu kurung di kamar mandi.”
Kuraih tubuh Anis, memeluknya agar mengurangi rasa sakitnya dikhianati. Aku tahu bagaimana rasanya, sebab dulu juga pernah dikhianati suamiku.
“Kamu nangis karena dikhianati, ya? Masih ada ibu, Nis. Ayo, kita laporkan Ali ke Polisi.”
Tangis Anis malah semakin keras seraya menangkup wajahnya. Rasa sakitnya dapat kurasakan juga. Dadaku ikut sesak, mengingatnya saja rasanya aku ingin membunuh Ali. Kuusap-usap kepala Anis, hingga tangisnya mulai mereda. Kudengar Ali menggedor-gedor pintu, membuatku semakin ketakutan. Kupeluk Anis agar tidak mengeluarkan Ali dari kamar mandi, sebelum polisi datang. Namun, Anis lagi-lagi memaafkan Ali seperti sebelum-sebelumnya, walau telah banyak menangis karenanya. Mungkin Anis sangat mencintai Ali dan takut kehilangan.
Aku segera mandi setelah Anis memintaku untuk melupakan kejadian tadi. Ali berhasil membawa kami ke gedung besarnya lagi. Sejak di mobil, aku menatapnya tajam, mengancamnya untuk tidak menatapku atau kucolok matanya. Kami masuk ke gedung di mana banyak sekali orang-orang berseragam putih, beberapa lain juga memakai jubah seperti Ali dan Anis. Sangat berisik, banyak sekali yang berteriak.
Saat aku datang, selalu ada empat orang menyambut kami. Aku dikawal empat orang tersebut seperti seorang yang sangat penting di negara ini. Kami digiring ke sebuah ruangan yang sudah sering kukunjungi. Di sana, ada seorang pria botak yang banyak bicara dan selalu saja banyak tanya padaku. Namun, kali ini aku diam saat banyak pertanyaan ditujukan padaku. Hanya Anis dan Ali yang begitu sibuk mengobrol dan membuatku bosan menunggu. Aku hanya mendengarkan mereka.
“Dok, sepertinya sakit ibu saya semakin parah,” Ali terdengar sedang membicarakan ibunya lagi, seperti sebelum-sebelumnya saat kemari. Selalu ibunya yang dibahas.
“Bu Ranti sepertinya terpicu oleh kehadiranmu, Ali. Dengan melihatmu, dia ingat bagaimana ayahmu mengkhianatinya,” dokter botak itu melirikku sejenak, aku langsung membuang wajah.
“Semua ini salah ayah. Bagaimana bisa ayah mengkhianati kami berdua. Bagaimana bisa dia tidur dengan temanku?”
Kulihat Ali menangis tergugu. Melihatnya menangis seperti itu membuatku kasihan, tetapi aku tidak bisa melupakan tindakan sebelumnya. Aku masih membencinya.
“Hari ini saya akan memandikannya, tapi ibu malah mengamuk. Saya tidak mungkin terus mengandalkan Anis, dia hanya menantu. Saya sebagai putranya tentu bertanggung jawab sepenuhnya.”
“Saya mengerti perasaanmu, Ali. Kamu melewati banyak hari yang sangat sulit. Trauma itu cukup membekas di hati ibumu. Dia bahkan tidak menganggapmu sebagai anaknya, malah Anis yang dia pikir anaknya. Dia membenci semua laki-laki di dunia ini.”
“Saya harus bagaimana, Dok? Ibu sudah rutin minum obat, tapi setiap melihat saya, dia selalu berpikir yang tidak-tidak.”
“Sebaiknya dia tinggal di sini sebentar. Sampai kondisinya memungkinkan.”
Aku hanya diam saat keduanya berbincang serius, seraya memainkan jari-jari Anis yang kini berada di sampingku. Ali menoleh padaku, segera aku membentaknya agar tidak menatapku lagi.
“Ayahmu berkhianat. Dia tidur sama perempuan muda itu. Dia menjijikan. Aku jijik!” Aku bergumam sejenak, lalu mual kurasakan saat mengingat bagaimana suamiku tidur dengan teman anakku sendiri.
Aku tertawa kencang mengingat bagaimana mereka telanjang, lalu membuatku kembali mual saat aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk menjambak atau memaki perempuan yang langsung bersembunyi dan dilindungi oleh suamiku kala itu. Aku mulai terbahak-bahak mengingat bagaimana wajah ketakutan mereka saat kupergoki. Sangat lucu.
“Baik, Dok. Sepertinya ibu memang harus dirawat di sini.”
Si Ali masih saja membicarakan ibunya. Saat Ali bangkit, Anis melepas paksa tanganku. Saat itu juga beberapa pengawal berseragam putih menghampiriku.
“Anis, jangan mau sama Ali. Dia pengkhianat, Nis!” Aku berteriak saat Anis ternyata tidak bertengkar dengan Ali. Mereka bahkan bergandengan, membuatku kecewa pada Anis.
“Ibu, cepat sembuh ya,” Aku mendengkus saat Ali memanggilku ibu. Padahal, dia bukan anakku.
Mereka meninggalkanku walau mendengar tangis dan teriakanku. Mereka tetap pergi. Aku takut Anis disakiti oleh Ali. Sungguh. Aku ingin menjaga Anis. Aku ingin pulang, aku tidak suka tempat ini. Banyak hantu yang memakai baju putih, banyak yang berteriak-teriak dan berisik. Persis seperti rumah sakit jiwa.
*) Image by istockphoto.com
Alur cerita yang keren banget. Surprise ending.