Pertarungan semantis terjadi ketika kelompok ultrareligius dan pekerja seni saling mendesakkan makna sebuah objek yang mengeksplorasi seks dengan sudut pandang masing-masing. Untuk menghindari spekulasi definitif, Janine Rogers menggunakan istilah sex text yang merujuk pada karya yang bercorak pornografi/erotika dalam aktivitas akademiknya. Diakui atau tidak, perbedaan antara pornografi dengan erotika hanya setipis jangat.
Tetapi manusia membutuhkan definisi. Dengan definisi, manusia membatasi, mengklasifikasi, memberi identitas, lalu menguasai. Mengendalikan adalah hilir dari kegiatan menamai.
Kamus sering kali menjadi pedoman otoritatif ketika orang ingin mencari definisi meskipun entri kerap mereduksi arti sebuah terminologi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya, kita memperoleh perbedaan buram antara pornografi dengan erotika. Kekecewaan yang sama juga kita dapatkan ketika merujuk pada Oxford Learners Dictionaries. Sementara itu, dalam Cambridge Dictionary, erotika adalah “books, pictures, etc. that produce sexual desire and pleasure.”; sedangkan pornografi adalah “books, magazines, films, etc. with no artistic value that describe or show sexual acts or naked people in a way that is intended to be sexually exciting.” Meski kurang memuaskan, definisi ala kamus Cambridge secara distingtif telah memisahkan keduanya dengan memberi label “tanpa nilai artistik” pada karya pornografi.
Dalam tarikan napas yang sama, sejumlah ahli menceraikan pornografi dan erotika dengan bertumpu pada watak estetis karya. Pornografi dipandang sebagai karya yang berfokus pada bagian-bagian yang dianggap mampu membangkitkan syahwat, misalnya organ genital. Para feminis kerap menuduh pornografi sebagai instrumen yang menjatuhkan tubuh perempuan sebagai objek belaka; manusia sekadar benda. Pornografi melenyapkan pesona dan menghancurkan sumber keindahan tubuh. Oleh karena itu, pornografi dianggap receh dan cabul.
Pada kutub berseberangan, erotika diklaim tidak bertentangan dengan moral. Nilai estetis erotika dirancang untuk menerabas respons fisikal. Audiens erotika diharapkan mampu mengapresiasi nilai-nilai artistik sebuah karya secara holistik, tidak sebatas mencandra yang kasat di permukaan. Erotika percaya ada yang lain di balik kulit dan ada wacana yang melampauinya. Sebab pada dasarnya, ujar Sigmund Freud, organ genital yang dianggap menarik itu sulit dipandang sebagai sesuatu yang indah.
Gloria Steinem mengilustrasikan perbedaan pornografi dan erotika dengan analogi sebuah ruang. Meskipun pornografi dan erotika mengacu pada penggambaran perilaku seksual (dengan kata atau gambar), keduanya berbeda. Yang satu ibarat pintu tertutup (pornografi), yang lain pintu terbuka (erotika).
Mengomentari pernyataan feminis Amerika tersebut, menurut Goenawan Mohamad, yang ditangkap pornografi adalah momen biologis dari seksualitas, berfokus pada organ tubuh secara detail (khususnya alat kelamin), dan pada dasarnya statis. Pintu pornografi tertutup karena momen biologis—yang sebenarnya sebuah proses yang berubah terus-menerus—diletakkan ke dalam kerangka yang itu-itu juga. Erotika dinamis, bergerak; maknanya bukan cuma momen persetubuhan, melainkan lebih dari itu. Seluruh suasana tidak hanya terpusat di sana (organ kelamin), seluruh alam seolah bergerak, hadir, sama rasa sama rata. Sementara itu, pornografi menggambarkan tubuh yang beku, objek, dan mekanistik. Dalam erotika, tubuh adalah bagian dari kehidupan dan kejadian. Gerak mengambil alih dari detail, organ hilang. Yang lahir adalah kesan.
Perbincangan mengenai erotika dalam sastra jarang dilakukan. Kalaupun ada, sering terjebak ke dalam pembahasan tentang seksualitas: relasi, ekspresi, peran, dan orientasi seksual. Akhirnya, wacana tentang kenikmatan syahwat hilang; diganti oleh kerumitan diskursus seksualitas/gender. Erotika juga acapkali hanya dibahas dalam kajian fiksi populer dan mengalami stereotipisasi sebagai bacaan hiburan bermutu rendah (kalau tidak pornografi).
Singkatnya, erotika merupakan seni tentang berahi. Erotika adalah cara menyampaikan yang syahwati dengan indah. Sastra erotik tidak cuma membangkitkan gairah seksual pembaca, tetapi bagaimana yang libidis itu dituturkan secara estetis. Maka, untuk menciptakan narasi syahwat yang artistik, pengarang bermain-main dengan moda utama sastra: bahasa.
Yang membedakan tulisan pornografi dengan sastra erotik, yaitu bagaimana pengarang mengutarakan syahwat. Tulisan pornografi menyampaikan hasrat seksual secara gamblang dengan bahasa ala kadarnya. Sastra erotik melukiskan yang berahi dalam struktur canggih melalui kualitas diksi, permainan imaji, kepekatan metafora, kehadiran alegori, dsb.
Seks adalah kebutuhan, sedangkan eros adalah gairah, catat Malakh Ayala Pines. Eros—yang menjadi akar istilah erotika—merupakan cara berhubungan dengan liyan, bukan sekadar mencari kenikmatan jasadi. Dengan modus yang sama, sastra erotik tidak semata-mata diproduksi untuk membangkitkan syahwat—sebagaimana tulisan pornografi—tetapi juga memberi pengalaman linguistik kepada pembaca. Seni berbahasa dalam sastra erotik bisa membelokkan perspektif manusia tentang syahwat yang mulanya banal menjadi relasi estetis. Erotika tidak melulu tentang yang karnal, tetapi juga menciptakan peristiwa dan memperbarui kesan tentang dunia. Oleh karena itu, ada momen kontemplatif-reflektif ketika seseorang mengapresiasi sastra erotik dan inilah yang absen dalam tulisan pornografi.
Trackback/Pingback