Surakarta, Oktober 1998
Sarwono duduk bersandar di bawah pohon angsana. Ia mengamati sepucuk surat yang amplopnya sudah lecek. Perlahan ia mengerat ujungnya, kemudian mengeluarkan surat itu. Beberapa lembar guguran bunga angsana pun jatuh menerpa wajahnya. Menempel pada pipinya yang basah.
Untuk Mas Sarwono. Jika surat ini telah sampai padamu, maka kita harus berterima kasih pada Pak Yant, berkat alamat yang dipinjamkan beliau sebagai Dosen UNS, surat ini datang pada alamat yang tepat. Kutuliskan namamu sebagai putra beliau, lantaran kami tahu betul, kini segala macam surat-menyurat telah diawasi ketat. Beruntung benar, jika petugas pos yang mengirimkannya adalah orang yang berani dan jujur. Lantaran banyak kabar burung yang mengatakan, kampusmu sudah menjadi markas bagi mereka kaum berbaju hijau tua.
Mas, kuharap kabarmu baik-baik saja. Sejujurnya, surat ini adalah puncak dari kerinduan kami yang sudah tak terbendung lagi. Apakah kau ingat, kapan terakhir duduk di meja makan sambil menikmati kepulan asap gulai Ibu yang panas? Kita duduk saling serang pandang, kemudian Bapak membagikan lima piring, masing masing-masing untukmu, aku, Ibu, Bapak, dan satunya untuk sisa balungan. Setelah usai memimpin doa, kau pasti akan tersenyum menyeringai, kemudian Ibu akan bertanya, piye gulai Ibu dino iki? Lucu memang, bahkan hingga minggu lalu, belum ada yang bisa menggantikanmu menjadi seorang pencicip andal bagi gulai Ibu.
Mas, kau baik-baik saja ‘kan? Ibu sering kali menanyakan kabarmu padaku. Beberapa waktu yang lalu, kami melihat berita meletusnya demonstrasi di Solo. Kulihat—tentu aku ingat betul daerah itu—Singosaren Plaza dekat persimpangan jalan Honggowongso terbakar. Tidak hanya sampai di situ, kulihat amukan masa meluber hingga ke selatan, dealer Ramayana juga terbakar. Berita stasiun televisi lain malah mengabarkan di sepanjang jalan Slamet Riyadi telah menjadi lautan manusia, kemudian di bawah patung di bundaran Gladak itu, telah berjejer barikade polisi sepanjang jalan menutupi dari daerah Bank Indonesia hingga Kantor Walikota.
Bukan tanpa sebab, Mas, jika harus kutulis surat ini, lantaran kerusuhan juga telah meletus di mana-mana. Apalagi di Jakarta. Barangkali sudah tidak terbendung lagi. Jalanan menjadi lautan mahasiswa yang membara. Mobil, pertokoan, rumah, hingga kantor-kantor pecah dan terbakar. Barikade polisi kokoh menyerang. Kemudian lautan mahasiswa yang garang menerjang ke mana-mana. Nampaknya sebentar lagi akan terjadi pergantian, itu pesanmu kala itu ‘kan?
Aku tak begitu yakin, di sini tidak seberapa genting. Aku sudah tidak boleh berangkat kuliah sejak April akhir oleh Bapak. Kampusku pun telah porak poranda. Sejak sebulan ini, bahkan aku tak boleh keluar dari gapura desa. Bahkan untuk ke pasar pun, Ibu menyuruhku titip pada Mas Dimang. Kau tahu ‘kan, ia keponakan Kapolsek Sokaraja.
Mas, meskipun di mana-mana demonstrasi pecah, ramai hingga meluap amarah, akhir-akhir ini Bapak justru sering melamun di teras. Sambil merokok, mengopi, tetapi tanpa obrolan dengan sesiapa. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Yang jelas, Kantor Taspen di dekat Gor telah tutup sebulan belakangan. Tentu Bapak sudah berkali-kali ke sana, tetapi nihil. Kata Ibu, tiga bulan terakhir dana pensiunannya tidak bisa dicairkan. Lalu Ibu, tentu saja masih telaten menyediakan berbagai menu pesanan.
Asal kau tahu, Mas, pesanan-pesanan Ibu sudah tak seramai dulu. Malah akhir-akhir ini Ibu sering kali mengeluhkan sakit punggungnya yang berulang kali kambuh. Bukan karena banyak pesanan, tetapi lebih karena Ibu harus memangkas jumlah orang-orang yang ikut membantunya memasak.
Mas, setidaknya berkabarlah jika memang kau belum bisa benar-benar pulang. Minggu lalu, tangis Ibu tumpah di meja makan. Aku menjadi kikuk melihat tingkah Bapak yang tetap menyediakan lima piring di meja makan: untukku, Ibu, Bapak, satu untuk balungan, dan untuk kursi kosong di depanku. Kemudian, entah sadar atau tidak, Ibu nyeplos setelah sekian lama ia tidak bertanya: piye gulai Ibu dino iki, Le? Aku terdiam, mata Bapak mulai menggenang, kemudian pecahlah tangisan Ibu.
Kau paham ‘kan, kini meja makan menjadi pesta sunyi yang menyesakkan dada. Kami lebih memilih diam sambil mendengarkan radio. Sesekali Bapak juga sering bolak-balik ke ruang tengah, kemudian membiarkan televisi menyala keras-keras. Lalu meja makan, kami sangat hati-hati dalam menghasilkan suara. Apa pun itu.
Mas, dua minggu yang lalu paman Mas Dimang datang ke rumah—Kapolsek Sokaraja. Mereka berdua—Bapak dan paman Mas Dimang—berbincang di teras rumah dengan suara pelan. Bapak sudah tak pernah lagi bercerita kepadaku setelah menerima tamu seperti dulu. Bahkan juga kepada Ibu. Kemudian, setelah itu, beberapa tamu asing sering kali datang ke rumah. Mereka rata-rata berbadan tegap dan berambut cepak. Setiap selesai menerima tamu, Bapak terlihat sedih dan melamun di teras. Ibu pun tak berani menanyainya.
Pulanglah, Mas. Terpaksa kukabarkan hal ini kepadamu. Bapak sudah semakin tua. Lalu kau tahu ‘kan, hanya aku dan beberapa saudara kita yang kini bisa membantu Ibu di dapur menyiapkan pesanan.
Oh ya, kamarmu telah disulap Bapak menjadi musala. Aku tak paham apa maksudnya. Meskipun Ibu berkali-kali melarangnya, Bapak tetap teguh memindah semua barangmu ke gudang. Termasuk buku-bukumu yang selalu kurapikan setiap kali kau selesai membaca. Kau tak perlu khawatir, semua bukumu aman di gudang. Jika pulang nanti, akan kutunjukkan.
Mas, setidaknya berkabarlah jika memang kau belum bisa pulang. Sejak kutulis surat ini, sudah enam bulan lamanya kau tak pulang. Meskipun suratmu datang sebulan yang lalu, tetapi itu bukanlah sesuatu yang cukup untuk memastikan keadaanmu baik-baik saja.
Aku sangat khawatir, Mas. Beberapa waktu lalu, aku mendengar kabar kalau mas Wiji menghilang. Orang tuanya beberapa kali ke sini. Aku menguping pembicaraan mereka, Mas. Yang kuingat, ketika dulu main ke Solo, Mas Wiji sering kali menjemputku di Stasiun Balapan.
Maafkan aku, beberapa saat itu juga aku menguping pembicaraan kalian, dan harus kupastikan, kau tidak berangkat ke Jakarta ‘kan?
Mas, entah kapan situasi ini akan membaik. Entah kapan juga surat ini akan datang kepadamu, yang kuyakini, kau tidak ikut berangkat ke Jakarta. Mas, jika surat ini telah sampai, kumohon balaslah. Aku khawatir, jika satu atau dua bulan sejak surat ini dikirim, lalu kabar darimu tak datang juga, aku akan nekat datang ke Solo. Ke kampusmu.
Mas, kami selalu berharap kita bisa kumpul berempat lagi di akhir pekan. Kemudian Bapak membagikan lima piring, mata kita saling pandang sambil menunggu Ibu membawa nasi. Kemudian tentu Ibu bertanya: piye gulai Ibu dino iki?
Mas, pulanglah atau setidaknya berkabarlah. Jadilah embun penyejuk luka rindu kami bertiga.
Sarwono mengambil guguran bunga yang menempel di pipinya. Dengan pandangan yang berkristal-kristal, ia membaca sudut kanan bawah suratnya: Banyumas, Mei 1998. Salam rindu, Abidah.[]
Ponorogo, Oktober 2019
Trackback/Pingback