Judul : Jolie
Penulis : Marya Budianta
Ilustrator : Cindy Saja
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetak : Pertama, 2019
Tebal : 64 halaman
ISBN : 978-602-062-245-3
Di peradaban berkisah, kita mendapatkan perjalanan penemuan diri sebagai hal yang spiritual, menyangkut kelahiran diri (yang baru), sekaligus mengukuhkan keberadaan diri di antara miliaran makhluk di semesta nan luas. Dalam bingkai buku berlabel “buku anak” berbahasa Inggris, Jolie (2019), Marya Budianta mengekplorasi hal ini. Di India, Cina, dan akhirnya juga Jepang, ada pandangan hidup berjuluk Zen atau jalan pencerahan atau pembebasan. Cerita Marya bisa saja terhubung ke pengalaman esensial Zen sekalipun sangat kentara penemuan diri ala tokoh-tokoh di Jolie justru lahir dari semangat mutakhir. Semacam ujian di era akselerasi saat pluralitas dipertanyakan kembali dalam tatanan global.
Penemuan diri mengharuskan adanya pertemuan raga, daya berpindah, dan keberanian hadir pada situasi-situasi menantang diri. Hal ini dialami oleh tokoh ulat bernama Putu yang bertemu dengan cacing tanah buta pekerja keras bernama Gede dan kepik feminin bernama Miss Dot di kebun. Pertemuan berhasil menyampaikan altruisme sebagai pesan kunci yang akan merembet pada misi besar buku: kasih persahabatan di tengah perbedaan, penjalanan menemu jati diri, dan metamorfosis sebagai proses kelahiran diri yang baru. Justru, Marya memilih binatang-binatang kecil sebagai sang para tokoh kunci yang dalam kehidupan manusia sangat sering diabaikan dan tidak dianggap.
Persahabatan dan perayaan atas perbedaan, terbentuk terutama lewat identifikasi tubuh. Awalnya, Putu terkena sabitan tongkat anak laki-laki energik bernama Wayan dan jatuh ke tanah. Dia berpindah dari ceruk dunia kecilnya di pagar tumbuhan ke tanah kebun yang luas. Di tanah, Putu bertemu Gede dan Miss Dot. Putu mengidentifikasi Gede lewat mata. Gede memang buta, tapi memiliki indera penciuman dan kepekaan jitu untuk mengenali setiap yang ada di sekitar. Pelajaran pertama didapat Putu, “Some animals have six legs and two hooks. Some have none at all. And some can fly.” Pluralitas bagi Putu adalah mengalami bertemu seseorang dan menyadari (tidak masalah) dia berbeda dari dirinya.
Di pertualangan berikutnya, Marya memperlihatkan kebutaan Gede bagi Putu bukan sebagai kelemahan, justru keistimewaan. Gede mengatakan, “I don’t need any light. But you don’t have to be afraid if you want to come along. My skin glows in the dark.” Keistimewaan Gede harus semacam mempengaruhi Putu untuk melewati krisis psikis menjelang metamorfosanya di Sekolah Metamorfosis atau School of Metamorphosis. Mengasihani Gede bukanlah cara tepat untuk berempati karena mengasihani lebih dekat ke tindak merendahkan. Putu lebih memilih mengalihan kekhawatirannya pada kepercayaan, “…even though Gede can’t see, he knows more than I do.”
Ruang “Ilegal”
Bagi Putu, metamorfosis bukan hanya ujian berat secara biologis, tapi psikologis. Putu melewati metamorfosis setelah bersama Gede menghadapi kawanan kecoa pengganggu. Putu berhasil menyelamatkan diri tentu dengan pengorbanan-perjuangan Gede. Di Sekolah Metamorfosis, kelulusan Putu keluar wujud kepompong yang sulit, hampir gagal, dan tidak elegan seperti ulat-ulat lain tidak dipertimbangkan sebagai keunggulan. Sayangnya, Marya berlaku ambigu atas keberadaan sang institusi formal sekolah. Di satu sisi, sekolah dihadirkan sebagai institusi yang tidak menjamin kualitas mental dan watak seseorang. Saat masih di kebun sebagai ruang “ilegal” persemaian semangat multietnis, Putu bersama Gede dan Miss Dot lebih mengalami “perjalanan perubahan” sesungguhnya. Hubungan kemanusiaan merekalah yang menjadi kunci.
Di sisi lain, sekolah dan pendidikan formal justru sangat mempengaruhi dan bahkan menentukan masa depan memiliki pekerjaan, kemapanan ekonomi, dan keinsafan menjadi warga dunia. Kalau merujuk pada identitas penulis, hal ini kelihatannya sangat wajar karena Marya melewatkan pendidikan menengahnya di Jakarta International Multicultural School (JIMS) dan melanjutkan ke Hawker College Australia. Marya langsung mengalami persilangan budaya dalam ruang pendidikan-kebangsaan, bukan dari hal kecil seperti disimbolkan oleh pertemuan tubuh yang dialami Putu dan Gede.
Marya pun harus mengakhiri ceritanya dengan kesuksesan gemilang dari para tokoh. Diceritakan, “Gede was no longer an underground worker. He was now an entrepreneur and had a business in fertilizing soil. With Putu and Miss Dot’s help, now he managed other earthworms and only worked during the day. Gede jadi direktur dan Putu menjadi supervisor “berijazah” School of Metamorphosis di perusahaaan yang diberi nama “Jolie” (Cantik). Marya justru memilih pencapaian kapital ekonomi sosial yang sangat mencitrakan keberhasilan khas manusia modern.
Hal ini memang pilihan sangat lumrah di era teknologis saat kaum muda atau anak-anak calon manusia muda didorong menjadi kapitalis-kapitalis muda aplikatif alias bos. Sungguh tidak salah menjadi bos, tapi pilihan ini seperti meluruhkan ruh penemuan yang sering sulit diukur secara materi. Sayang sekali! Sepertinya tidak ada alasan ideologis kenapa buku tampil dalam bahasa Inggris. Selain nama tokoh yang sangat lokal, nyaris tidak ada niat mengenalkan hal-hal kecil dari (kebudayaan) Indonesia kepada-anggaplah-para penutur asing. Bahasa Inggris di sini, lagi-lagi lebih tampak sebagai penonjolan bahasa sebagai sang produk globalisasi.
Jolie sungguh tidak cukup menyampaikan maksud bersenang-senang dalam masa-masa ajaib seorang (anak) bertumbuh, memiliki teman, bertukar kebaikan, menghargai pluralitas, bertualang, dan keberhasilan melewati setiap prosesi psikologis. Apalagi, informasi di sampul belakang justru terburu-buru menampilkan dunia manusia mutakhir yang sangat kompetitif, “This is a story of a friendship beyond differences, a journey of self discovery, and the metamorphosis of growing up. In today’s tough world of indifference and competition, this is a story not only for children, but for everyone.” Ah, penerbit rentan menggagalkan yang sederhana, menyenangkan, dan enigmatik dari sebuah buku yang semula berlabel “buku anak.”