KURUNGBUKA.com, JAKARTA – Malam puncak Festival Sastra H.B. Jassin 2025 di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Sabtu (18/10/2025), menjadi saksi lahirnya para penulis terbaik dari ajang Lomba Penulisan Cerita Pendek Tingkat Internasional Piala H.B. Jassin 2025. Suasana riuh tepuk tangan menggema ketika nama Rini Febriani, guru madrasah asal Jambi, diumumkan sebagai Pemenang Terbaik II. Ia menerima hadiah sebesar Rp13.000.000 dan trofi bergengsi bergambar sastrawan besar H.B. Jassin.
Rini mengantarkan karyanya yang berjudul Tiga Kematian Dayang Temulun, sebuah cerita puitis yang berakar pada pengalaman risetnya di Taman Nasional Bukit Duabelas. Cerita ini mengisahkan roh perempuan rimba yang hidup kembali dalam tiga wujud—manusia, pohon, dan kabut—sebagai simbol cinta yang tak pernah mati bagi bumi dan hutan.
“Orang Rimba percaya setiap pohon adalah saudara kandung. Ketika satu pohon tumbang, sesuatu dalam diri mereka juga ikut runtuh,” ungkap Rini usai menerima penghargaan. “Saya hanya ingin menulis tentang sesuatu yang hampir dilupakan.”
Rini bukan nama baru di dunia literasi pendidikan. Ia sehari-hari mengajar Bahasa Indonesia di MTsN 3 Kota Jambi dan aktif menanamkan semangat literasi di sekolah. Sebelumnya, ia juga meraih sejumlah penghargaan nasional seperti Anugerah GTK Kemenag RI 2023, serta Juara 3 Lomba Esai DWP Kemkomdigi 2025.

Selain Rini, penghargaan Terbaik I diraih oleh Jantan Putra Bangsa dari Yogyakarta dengan cerpen Koran Batu Giling dan hadiah Rp15.500.000. Pazri Azhari dari Bogor menempati posisi Terbaik III dengan karya Kanibal dan hadiah Rp10.500.000. Di posisi berikutnya, Sunarti dari Salatiga dengan cerpen Simaloer meraih Terbaik IV, dan Nur Afifah Widyaningrum dari Yogyakarta menutup jajaran pemenang Terbaik V lewat cerpen Ketika Skuki Memesan Paket Ditemani 7 Hari.
Ajang ini diikuti lebih dari 9.000 peserta dari berbagai negara seperti Indonesia, Australia, Belanda, Tiongkok, Jepang, dan Malaysia. Piala H.B. Jassin menjadi simbol apresiasi bagi karya sastra yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga menyuarakan kemanusiaan dan keberlanjutan.
“Bagi saya, menulis adalah cara manusia mencintai dunia dengan kelembutan,” tutur Rini dengan mata berbinar. “Kemenangan ini bukan milik saya saja, tapi milik semua guru dan penulis yang percaya pada kekuatan kata.”
Dari ruang kelas di Jambi hingga panggung internasional di Jakarta, Rini Febriani membuktikan: kata-kata yang lahir dari hati bisa menembus batas bahasa dan geografi. (rls/dhe)







