Upacara kematian usai satu jam yang lalu. Kerumunan orang-orang berpakaian gelap sudah sepenuhnya hilang dari pandangan. Meliora masih berkawan dengan lamun yang bermukim di antara himpitan pusara-pusara. Netra hitam legam yang kontras dengan rambut lurus sebahunya menatap lekat gundukan tanah bertabur kelopak-kelopak kenanga segar. Sesekali tatapannya berpindah pada nisan kayu di penghujung makam tersebut. Ada nama yang terukir di sana, tetapi Meliora tidak tahu caranya membaca. Alisnya mengkerut kebingungan.

Tiga ratus enam puluh menit sebelumnya, Meliora dibangunkan dari tidur oleh sebuah teriakan yang hampir mencapai batas maksimal hertz gendang telinganya. Tak ada waktu untuk sekadar meregangkan badan seperti rutinitas hariannya, gadis itu langsung merangkak bangkit dari tilam yang kapuknya meronta keluar karena kelelahan menahan beban.

Pada percobaan pertama, ia gagal. Tubuhnya limbung kehilangan seimbang, mungkin langkahnya belum terlalu siap untuk memenangkan hari. Meliora diam sejenak, mengumpulkan kesadarannya yang masih beterbangan bebas bak laron mencari terang. Ia meringis pelan, baru menyadari kedatangan linu di pinggangnya. Perlahan, ia pijat anggota tubuhnya yang tadi mengawali cumbu dengan dinginnya lantai keramik. Setelah merasa bahwa kesadarannya telah aktif sempurna, Meliora kembali mencoba bangkit. Akhirnya, ia berhasil keluar dari peraduannya.

Meliora tahu betul bahwa tempat tinggalnya itu tidak luas. Sebuah rumah kontrakan dua pintu yang terletak di petak paling ujung dekat kali. Orang-orang yang sering disebut dengan tamu juga jarang sekali hinggap ke sini, bahkan beberapa mulut menyebarkan rumor tidak-tidak mengenai rumahnya. Anehnya, hari ini ada banyak manusia berebut oksigen di tengah gerha, termasuk pula beberapa pasang mata yang mengintip lewat celah-celah jendela.

“Bangunlah, jangan pura-pura tidur!”

Jeritan itu mengambil alih atensi Meliora. Ia langsung menghampiri satu-satunya manusia yang ia kenal seumur hidupnya, Amma. Perempuan yang tidak memperbolehkan Meliora untuk menangis di hadapannya kini menjadi orang paling histeris di antara banyaknya insan yang ada. Kedua matanya sembab, atau mungkin sudah berubah menjadi bengkak. Air mata di pipinya seperti air terjun yang tak pernah mengering. Jari-jemarinya terus mencengkram erat-erat sesuatu yang telah ditudung rapat oleh kain bermotif slobog, yang entah apa itu Meliora tidak bisa menerkanya.

“Amma, Amma kenapa menangis? Siapa yang berpura-pura tidur? Apa yang ada di balik kain ini, Amma?” Sederet pertanyaan diajukan oleh Meliora, namun yang ditanya tak kunjung menjawab. Amma malah semakin keras mengguncang makhluk berkain di hadapannya.

Meliora pikir mungkin Amma tidak ingin pergumulannya dengan para ibu di sampingnya terganggu, dan bisa jadi sesuatu di bawah kain tersebut adalah hibah bagi pemenangnya. Maka dari itu, Meliora hanya diam menyaksikan mereka saling menepis tangan. Hingga tiba waktunya ketika hibah tersebut diangkat ramai-ramai oleh kaum berkumis klimis dengan berbagai jenis songkok di kepala mereka.

Amma perlahan dibantu berdiri oleh kawan pergumulannya tadi, sedangkan Meliora masih bergeming di tempatnya. Seribu pertanyaan hampir keluar dari kedua belah bibir Meliora, namun di detik selanjutnya ia telan mentah-mentah. Terlihat, kerumunan di kediamannya berpindah pada hibah yang bungkusannya berubah menjadi kain berwarna sirih tengah diangkut banyak tangan menuju suatu tempat.

Meliora kelabakan, ia tak mau ditinggal sendirian di rumah, terlebih lagi keingintahuannya terhadap sesuatu di balik kain tadi masih menggebu-gebu. Setelah memakai sandal berwarna biru langit favoritnya, satu-satunya yang ia punya, Meliora bergegas menyusul rombongan dan mengikuti mereka dari belakang.

Di sepanjang jalan, puja-puji untuk Tuhan yang dilantunkan lirih beberapa orang sempat terkalahkan oleh lolongan tangis Amma. Ingin Meliora menghampiri untuk sekadar memeluknya, hanya saja terlalu sulit baginya untuk melewati badan-badan dewasa yang menjulang. Oleh karenanya, Meliora cukup memperhatikan jauh dari belakang dengan tanda tanya yang masih tercetak jelas di dahinya.

Tak berapa lama lirihan pujian berakhir, begitupun dengan langkah rombongan pembawa hibah. Orang-orang mulai mengelilingi sebuah lubang yang digali cukup besar. Beberapa anggota kaum berkumis klimis tanpa songkok masuk ke dalamnya, mereka bahu-membahu mengantarkan hibah kepada pemilik sebenarnya.

Tangisan Amma berubah menjadi raungan panjang tatkala rahim tanah merah telah sepenuhnya terisi. Ia jatuh terduduk tanpa peduli pada gaun hitam panjang yang ternodai. Kali ini, raga ringkihnya tak memberi reaksi apa pun terhadap pelukan yang diberikan oleh seorang wanita di sampingnya. Sebaran kelopak kenanga mengakhiri perjalanan panjang rombongan tersebut. Meliora yang melihat Amma tinggal ditemani beberapa kepala pun menghampirinya. Memberikan dekapan hangat agar derasnya hulu sungai yang mengalir pada hilir di wajahnya segera mereda.

“Amma, jangan menangis lagi, ya?” Meliora memejamkan kedua matanya dan mempererat dekapannya, “mungkin kali ini Amma kalah memenangkan hadiah, tapi lain kali Amma pasti bisa berusaha lebih baik lagi.”

“Meliora, Amma minta maaf.”

Dan berakhirlah dia di sini. Di hadapan gundukan tanah merah bertabur kelopak-kelopak kenanga segar, Meliora sendirian. Amma yang tadi berada di pelukannya hilang. Semuanya yang tadi bersama-sama menuju tempat ini juga raib seketika.

Meliora celingukan mencari keberadaan orang-orang, namun kenyataan menunjukkan bahwa ia memang sendirian di sana. Hanya saja jika dibandingkan dengan perasaan cemas karena ditinggal seorang diri, Meliora lebih penasaran dengan apa yang ada di depannya, termasuk sebuah tulisan di atas kayu nisan yang tak akan pernah bisa ia baca.

Atau mungkin sebaliknya. Mungkin akan ada yang datang dan membantunya membacakan tulisan tersebut seperti Amma yang membacakannya dongeng sebelum tidur tatkala suasana hatinya sedang baik. Mungkin akan ada yang bersedia mengantarnya pulang ke rumah yang menjadi tempat paling aman dari jahatnya dunia.

Mungkin juga akan ada yang sanggup mencegah Amma memukul kepalanya sendiri di waktu-waktu terbahagianya bersama Meliora. Dan mungkin akan ada yang memberitahu Amma kalau Meliora berjanji tidak akan menangis lagi setelah mengetahui bahwa melihat seorang yang disayang tersedu di hadapanmu bagaikan membidik anak panah pada palung atma yang paling dalam.

“Halo, adik manis.”

Sebuah suara memecah gelembung lamunan Meliora. Kepalanya mendongak mencari pemiliknya.

“Hari ini Mas Kalis sama Mbak Jana sedikit telat berkunjung ke rumah barumu.” Pemuda bernama Kalis itu menerbitkan senyuman lembut.

Rupanya sapaan tadi bukan ditujukan untuk Meliora, melainkan pada pusara yang terletak tepat di sebelah gundukan tanah yang masih basah di depan Meliora. Gadis itu diam mendengarkan percakapan mereka.

“Sepertinya adik manis kita punya teman bermain baru di sana,” ujar Jana dengan intonasi sumringah, sedangkan kedua bola mata coklatnya berusaha jujur mengatakan apa yang hatinya rasakan.

Kalis mengangguk. “Tolong jadi teman yang baik untuknya, karena sebelum bertemu denganmu, hidupnya tidak seberuntung teman-temannya yang lain.”

Air muka Jana berubah. Ia memandang Kalis seolah memberi pertanyaan apa maksud dari perkataanmu tadi? Terbaca hanya dari sorot matanya.

Kalis menghela napas panjang. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya beralih profesi menjadi pendongeng amatir.

“Dia tak sengaja dibunuh oleh ibunya yang sakit. Tetangga sekitar rumahnya tak ada satu pun yang tahu akan kondisi sang ibu, hati mereka tertutupi fakta bahwa anak yang tinggal di dalam rumah tersebut adalah hasil dari hubungan gelap. Ayahnya kabur setelah gagal membunuhnya ketika masih berusia tiga bulan di dalam kandungan. Tetapi ibunya berusaha untuk terus bertahan dan mencoba memberikan yang terbaik, walaupun pada akhirnya rasa sakit itu mengendalikannya.

Puncak hebatnya datang tadi malam. Ibunya tak sadar saat darah dagingnya yang pertama kali mencelikkan mata di dalam gendongannya itu, kini memejamkan mata untuk selamanya di tangannya sendiri. Ia sangat menyesali perbuatannya, namun ia juga mengatakan barangkali itu hukuman baginya karena membiarkan seorang malaikat kecil tumbuh di tengah kehidupan seorang monster berbahaya.”

Jana menutup mulut tak percaya, “Mas Kalis tahu dari mana?”

“Rekanku yang menginterogasi ibunya setelah pemakaman selesai. Sebelum dijatuhi hukuman, mungkin ia harus diberikan konsultasi terlebih dahulu dengan ahli kejiwaan.”

“Pantas saja kamu sudah tak kasat mata sejak pagi tadi.”

Kalis tersenyum tipis, “Mas minta maaf ya, adik-adiknya Mas yang cantik.”

Gadis dengan sandal biru langit yang sudah coreng-moreng terkena tanah pekuburan itu masih setia mendengar mereka berbicara. Hingga beberapa saat kemudian, tubuh kecilnya itu semakin ringan. Lambat-laun bisa saja berubah menjadi kupu-kupu yang siap mengawang ke udara kapan pun angin membawa.

“Kita doakan dia juga ya, Jana.” Si sulung mulai memasang wajah serius.

“Dan bisakah kamu membacakan namanya? Kacamataku sepertinya tertinggal di atas nakas,” pinta Kalis sambil membuka segel botol minum yang masih utuh.

Rasa-rasanya ada sesuatu yang menarik tubuh Meliora dari atas langit. Ia kewalahan menahan, kedua kakinya berusaha keras menapak dalam-dalam pada tanah di bawah. Setidaknya untuk saat ini, rasa penasarannya akan terjawab. Dan ketika ritual berdoa mereka selesai, ia pasti akan meminta kedua orang ini untuk mengantarnya pulang nanti.

“Coba kulihat.” Jana sedikit memajukan wajahnya agar nama di atas nisan kayu itu terlihat jelas.

“Namanya Agatha,” ucapan Jana terpotong, ia terus memajukan wajahnya untuk memastikan.

“Agatha Meliora.”

Di detik selanjutnya, kupu-kupu itu benar-benar terbang dibawa angin lembut. Kedua sayapnya yang memiliki corak indah nyaris sempurna itu mengepak lebar-lebar. Tubuhnya terus melayang ke langit paling akhir untuk bertemu sesuatu yang ia sebut dengan pulang.

*) Image by istockphoto.com