Riwayat yang Tak Genap
aku lahir dari sepasang doa yang tergesa,
diturunkan ke bumi bersama alamat
yang tak pernah kuminta.
hari-hari menulis tubuhku dengan angka,
sementara waktu membubuhkan
tanda tangan di dahi kepala
pernah kubawa sebilah pedang ilusi,
lalu patah di medan kerja yang asing.
pernah kukejar nama, jabatan, dan riwayat,
namun, semuanya perlahan pudar
terkelupas oleh waktu & keadaan
tetapi cinta, sayang
darah yang membuat tulangku berdiri,
ia air yang menjernihkan wajahku
di cermin retak paling kusam.
di antara kegagalan dan kematian,
ada satu tangan menggenggamku,
ada bibir yang memanggilku
dengan nama utuh, lengkap dengan salah ejanya.
sementara nasib,
hanya sehelai tanda tanya
yang ditanamkan tuhan
di pergelangan kita.
makna selalu bersembunyi
di antara bisu dan desir nafas terakhir.
2025
***
Seusai Berjumpa Denganmu
seusai berjumpa denganmu
tulang belulang waktu terjatuh di meja operasi.
jam pasir membocorkan detik-detiknya,
seperti darah kering yang menolak dicuci.
kau menyalakan kabut di dalam paru-paru.
nama kita, singkatan singkat di prasasti rapuh.
sekali disentuh, huruf-hurufnya gugur
menjadi pasir, menjadi sejarah
yang tidak lagi dibaca oleh mata.
aku berjalan ke arah yang salah:
peta terlipat seperti tubuh pasca-bedah,
urat nadi dan rel kereta berhimpitan.
kau menulis kalimat patah
di dinding yang meleleh oleh api,
sementara aku menghafal angka-angka
yang dipatahkan kalkulator.
seusai berjumpa denganmu,
aku kehilangan definisi rumah.
di bawah atap: seekor kuda tanpa kepala.
di halaman: sepasang sandal terbakar.
dan di jantungku sendiri:
detak berdebat dengan diam,
menjadi simposium paling bisu
tentang takdir.
2025
***
Seusai Berjumpa Denganmu, 2
I
kursi-kursi terminal masih menyimpan tubuh asing.
aku mendengar langkahmu pergi
seperti bayangan
yang ditinggalkan lampu jalan, condong sebentar, lalu patah.
waktu menempel di papan jadwal keberangkatan,
huruf-hurufnya hilang satu per satu,
tak memberi tanda jam berapa aku harus pulang.
aku hanya duduk, mengulum diam,
membiarkan aspal menelan kilau sepatu orang lain.
II
seusai berjumpa denganmu
aku kira benar bahwa tubuh hanyalah transit,
bis yang datang untuk sekadar menurunkan kabar
tentang nasib, tentang peristirahatan
sejenak
aku kira kita telah sampai,
dan kemudian benar-benar tinggal,
tapi pemberangkatan telah menyiapkan
rencana bagi jeda yang harus kita lalui
“sampai jumpa kemudian hari…”
getar kecil pada kertas tiket yang kusimpan di saku,
seakan-akan ia masih menulis namamu
dengan huruf samar,
di antara lipatan waktu yang berdesir.
III
di luar terminal
hujan tipis jatuh di atas kaca kedai kopi.
aku melihat diriku sendiri di pantulannya:
rapuh,m & mudah saja
terhapus sekali usap.
perjumpaan adalah semacam bayangan,
tak pernah berakar, tak pernah tinggal,
hanya singgah di tubuh sebentar,
lalu berpindah ke wajah orang asing
yang duduk di bangku berikutnya.
2025
*) Image by istockphoto.com