KURUNGBUKA.com – Ibarat film, tulisan pertama saya kemarin (Perkara Premis Saja Ribut, Buku Lu Laku Berapa Gue Tanya!) masihlah serupa trailer, hanya kilasan dan cuplikan dari serangkaian tulisan panjang yang mengantre di benak saya. Wajar belaka kalau kemudian ada yang bergumam kalau cara saya menanggapi perbincangan ihwal premis cerita di Facebook jadi tak nyambung dengan perkara laku tidaknya sebuah buku.
Kemarin saya menulis sangat serampangan karena ditulis dalam sekali duduk, barangkali kurang dari lima menit. Saya tak memikirkan banyak hal, saya menulis sejelas mungkin tanpa diperhalus lagi bahasa dan kalimatnya, tetapi, tulisan yang terang benderang itu saja masih disalahpahami.
Kecurigaan saya karena orang-orang membacanya dengan pikiran yang keruh dan buru-buru ingin membantahnya alih-alih merenungkannya; orang-orang yang saya maksud ini adalah mereka yang bergiat di dunia kepenulisan juga, bisa pula dikatakan orang yang bersenang-senang lewat karya tulis sekaligus mencari uang di sana.
Di tulisan kemarin, saya tak hanya menyasar satu nama, sebab yang membincangkan ihwal premis, penyulut dan yang tersulutnya bukan hanya satu orang. Justru, karena lumayan ramai itulah yang akhirnya saya membuat esai tanggapan atas itu. Apalagi yang melibatkan diri adalah para penulis yang karyanya cukup mendapatkan tempat bagi pembaca sastra di Indonesia. Itu pula alasan saya kemudian menyayangkan kenapa berputar pada pembahasan premis saja, tidak lebih jauh ke perkara ekosistem penulis dan karyanya. Dan kesan yang saya peroleh, perdebatan antara penulis patuh teori dan anti-teori itu sebatas gagah-gagahan saja. Seandainya status-status Facebook mereka itu memiliki bentuk, barangkali wujudnya seperti pria perkasa yang berotot dan sibuk berpose di depan kamera belaka dan beradu siapa yang paling keren bisepnya, sebatas itu.
Padahal mereka bisa memberi dampak lebih dengan menyuguhkan percakapan perkara pasar buku sastra yang nyaris sepi perhatian penulis itu. Urgensinya jelas, berpengaruh pada hidup penulis itu sendiri dan perkara finansialnya tentu saja. Kenapa penulis (bergelar sastrawan seringnya) seperti alergi sekali membahas tentang uang. Seolah pasangan penulis idealis adalah siap hidup miskin.
Ada satu fakta yang menggiriskan untuk didengar. Kabar ini langsung saya peroleh dari orang yang terlibat dalam salah satu penerbit besar di Indonesia. Saya tak ada maksud lain kecuali ingin berkata bahwa ternyata tulisan bagus saja tidak cukup untuk menggaet pembeli buku. Ini terlihat dari satu kasus salah seorang penulis yang walaupun cerita pendeknya sering nangkring di koran nasional dan karyanya apik, walakin saat bukunya terbit selama berbulan-bulan kemudian yang laku hanya lima eksemplar, jari tangan saja sepuluh, lho, jumlahnya!
Kita bisa memulai membicarakan ekosistem kesusastraan dari sini. Rupanya, meskipun karya seseorang bagus menurut standar koran nasional, tak berarti bukunya laku keras dan orang-orang berbondong-bondong membelinya. Apalagi saat diketahui si penulis tidak memiliki media sosial, sehingga ia tenggelam di rimba teknologi yang was-wes-wos ini. Segalanya serba sat-set, bila penulis sastra tak bisa mengimbangi dan membawa diri, ia hanya akan dikangkangi oleh penulis-penulis stensilan yang ramai di platform-platform digital itu dan meraup banyak rupiah dari para pembaca. Sekali lagi saya bertanya, apakah karya sastra tak bisa mengambil alih posisi itu? Kenapa ini penting, karena menurut hemat saya karya sastra menawarkan nilai dan pembaca kita sudah semestinya mendapatkan asupan karya yang bermutu dan terjaga kualitasnya. Seberapa banyak, sih, sastrawan yang menyadari hal itu dan turut melibatkan diri menyelami samudera digital ini?
Bakat kepengrajinan yang tinggi dan seni pertukangan menyusun kalimat yang dimiliki penulis adalah modal awal untuk melibatkan diri dalam mempromosikan karyanya. Kunci dari digital marketing adalah cerita. Penulis memiliki kepiawaian itu. Semakin pandai bercerita, mestinya semakin bisa meraih minat pembaca agar tertarik dengan buku sastra, baik melalui jalur personal maupun lewat ikatan cerita yang emosional.
Mengapa energinya tidak dikerahkan ke sana bersama-sama alih-alih saling merundung dan mengagungkan proses kreatif masing-masing? Buat apa sesohoreun melakukan itu?
Bagi saya, yang menggantungkan hidupnya benar-benar dari menulis dan seputar kegiatan literasi, tulisan pertama kemarin bentuk kegeraman saya karena mereka terlalu asyik “meributkan” hal-hal sepele. Meski teknis itu penting, semacam premis itu apa, alur itu apa, dan sejenisnya itu, walakin, hal yang lebih krusial dan elementer, ya, bagaimana seharusnya penulis menjual karyanya. Tujuan karya ditulis toh untuk dibaca, kan? Hal-hal teknis yang saya sebutkan itu tak lebih sebagai teori yang sudah lama dirumuskan, perkara pemahaman saja yang terus berkembang. Dan saya tak menyalahi perbincangan terkait itu, dan tentu saja tidak sia-sia seperti yang dituduhkan kepada tulisan saya kemarin, itu bagian dari berbagi wawasan kepenulisan, kan, yang perlahan namun pasti bisa mengasah mutu karya penulis. Lagi-lagi, saya hanya menyayangkan kalau semisal mereka merasa puas dengan topik di sekitaran itu-itu saja.
Penulis dan penerbit saya pikir memiliki tugas yang sama. Ketika bukunya terbit, keduanya mesti rajin promosi dan mencarikan peluang untuk didiskusikan dan terus diperbincangkan. Jangan merasa tugas penulis telah selesai dan memilih duduk anteng saja lantaran sudah ada tim marketing yang bekerja. Dan biasanya, kalau penulisnya sudah merasa besar dan punya nama, ia akan merasa bukunya sudah laris manis, padahal boro-boro. Buku sastra itu paling sepi peminatnya!
Ada yang berkelakar kalau tulisan saya kemarin khas penulis yang sedang bersukacita dapat uang jajan dari menulis. Menurut saya tuduhan itu keliru, justru sebaliknya. Karena ribut-ribut ini orang semakin malas dengan sastrawan dan karya-karyanya, sebab obrolannya membosankan dan tak memantik hal-ihwal kekinian. Seperti yang sudah saya senggol di esai pertama, kalau ini diteruskan, yang ada hanya gagah-gagahan saja dan orang yang punya banyak teman yang akan merasa menang karena paling banyak dukungan, padahal bukan itu poin saya. Dan saya tak sedang memihak atau membela siapa pun.
Jadi, saya rasa cukup sampai di sini saja tulisannya, kalau saya teruskan akan lebih banyak orang yang tersinggung. Hal ini mengingatkan saya pada tulisan Hurlock Elizabeth Bergner. Menurutnya, orang yang memiliki rasa minder atau kurang percaya diri lebih rentan tersinggung sebab mereka cenderung lebih sensitif terhadap kritik dan komentar negatif; alih-alih merenungkannya. Benarkah begitu?
Kalau rame nggak lanjut part 3. Males soalnya tiap bikin status akun saya di-tag mulu, padahal target saya bukan cuma kamu, lho~~
Cilegon, 20 September 2023
Trackback/Pingback