Malam itu, A Ma menyiapkan banyak sekali makanan, seolah-olah jamuan makan malam perayaan Cap Go Meh kali ini adalah perjamuan yang terakhir. Salah satu makanan yang menarik perhatianku di meja makan adalah semangkuk chiang mi. Itu adalah makanan yang selalu aku nantikan, karena A Ma hanya membuatnya saat perayaan Cap Go Meh saja.

Selama memasak banyak makanan itu, A Ma melarangku untuk mendekat dan membantunya. Ia bilang aku hanya akan merusak hidangannya. A Ma memintaku untuk duduk santai di meja makan sambil mengawasi makanan yang tersaji.

“Boleh aku mencicip sedikit?” tanyaku seraya menoleh ke arahnya.

“Jangan sentuh apa pun! Makanan-makanan itu untuk tamu-tamu yang akan datang. Lebih baik kau segera merias wajah. Pakailah sedikit pemerah bibirmu, Lin!”

Aku sedikit mengerutkan dahi. Siapa tamu-tamu yang A Ma maksud? Ia tidak pernah menyinggung hal itu sebelumnya. Seketika aku mulai berpikir. Dalam isi kepalaku kembali memutar kejadian pada malam perayaan Cap Go Meh tahun lalu. Apakah hal itu akan terjadi lagi?

“A Ma tidak mengundang lagi lelaki ke rumah ini, kan?” bibirku mulai bergetar saat bertanya. A Ma melirikku dari arah dapur. Bibirnya tersenyum sangat tipis. Dalam hati aku mengiba, semoga malam Cap Go Meh tahun lalu tidak terulang lagi.

***

Aku ingat betul saat A Ma memintaku mengenakan cheongsam merah sepekat darah saat malam Cap Go Meh tahun lalu. Ia juga memintaku untuk merias wajah dan mengenakan pemerah bibir. Tentu saja aku sedikit bingung karena A Ma tidak pernah memintaku untuk melakukan hal itu sebelumnya. Bertahun-tahun kami melewati malam Cap Go Meh dengan biasa-biasa saja. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan. Tapi pada malam itu, A Ma bilang kami akan kedatangan banyak tamu.

A Ma memasak banyak sekali makanan. Makanan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja dengan porsi yang berbeda. Saat semua makanan sudah tersaji di meja makan, ia memintaku untuk masuk ke kamar dan bersiap-siap. Tak lama ia mengetuk pintu, lalu mengasongkan sebuah kotak berukuran sedang.

“Pakailah cheongsam ini, Lin. Kau pasti akan terlihat sangat cantik,” kata A Ma sedikit berbisik.

“Kenapa aku harus memakainya?” sahutku sedikit bingung.
A Ma tidak langsung menjawab. Ia melangkah masuk ke dalam kamarku.

“Cheongsam itu pemberian dari A Pa. Ia memintaku memakainya saat malam perjamuan keluarga. Ia bilang aku terlihat sangat cantik saat memakainya.”

Seketika itu aku melirik. Ada banyak genangan air dalam matanya. Memang bukan hal yang mudah jika kami mengingat A Pa yang telah meninggal tiga tahun yang lalu. Segalanya terasa sulit untuk dilalui.

“Usiaku sudah tidak muda lagi, Lin. Entah berapa lama lagi aku bisa menjagamu.”

“Tak baik bicara seperti itu. Kehilangan A Pa bukan berarti kita kehilangan segalanya. Termasuk semangat untuk tetap hidup.”

“Kau sudah cukup dewasa, Lin. Sudah saatnya untuk menikah.”

“Apa maksud A Ma? Lagi pula aku masih sibuk mengurusi kios. Aku belum tertarik untuk itu.”

“Kita perlu suasana baru di rumah ini, Lin!”
Obrolan kami terpotong saat bel rumah berbunyi. A Ma bergegas untuk membuka pintu. Ia mempersilakan mereka untuk masuk. Rumah kami yang semula sepi mendadak riuh saat beberapa orang memenuhi ruangan. Aku mengintip lewat celah pintu kamar. Mengamati wajah mereka satu per satu. Mereka sama sekali tidak asing dalam pandanganku, termasuk pria gemuk yang memakai cheongsam berwarna merah menyala. Ia duduk di sebelah A Ma. Memamerkan deretan giginya yang rata. Tapi senyuman lelaki itu, sama sekali tidak bisa dipercaya. Aku sangat mengenalnya.

Aku keluar memakai cheongsam pemberian A Ma. Berusaha tidak peduli dengan apa yang ada di pikiranku saat ini. Namun, saat kami sudah berkumpul di meja makan, A Ma mengatakan sesuatu yang membuatku nyaris pingsan.

“A Lin sudah siap untuk menikah denganmu, Chen!”
Aku yang mendengar hal itu sontak saja berdiri dari kursi makan.

“Tidak akan ada pernikahan. Aku dan Chen sudah lama berpisah. Aku tidak ingin menikah dengan lelaki yang penuh kebohongan. Kalau memang tujuan makan malam ini hanya untuk itu, maka segera saja kita akhiri.”

Aku meninggalkan meja makan sambil sesekali mendengus kesal. Kenapa A Ma harus mengundang lelaki itu. Lelaki yang sudah memberiku rasa sakit yang tak terhitung. Dan untuk menikah dengannya, demi Tuhan aku sama sekali tidak ingin.

***

“A Ma tidak mengundang lagi lelaki itu, kan?” aku mengulang pertanyaan yang sama.

Ia menoleh dan menjawab, “Tidak, Lin. Maafkan aku karena sudah memberimu kenangan buruk.”

Aku menghela napas lega.

“Kau sudah dewasa. Dan bisa memutuskan kehidupanmu sendiri.”

“Lalu siapa tamu-tamu yang A Ma maksud?”

Dengan tatapan yang tidak aku mengerti, A Ma segera melepaskan apron bermotif kembang-kembang yang membelit tubuhnya. Semua hidangan yang ia masak sudah tersaji di meja makan. Jam menunjukan pukul 7 malam. A Ma memintaku untuk segera bersiap. Aku menuruti perintahnya dan segera mengganti baju. Saat sedang berada di depan cermin, aku mendengar suara bel rumah berbunyi. Aku segera menuju pintu dan membukanya. Wajah-wajah di balik pintu itu tak ada satu pun yang kukenali.

“Apakah kau A Lin?” tanya seorang lelaki yang berdiri paling depan. Mungkin usianya sekitar 40 tahunan. Memakai baju cheongsam merah dan kacamata.

“Iya,” sahutku singkat.

Dari dalam rumah aku mendengar suara A Ma memanggil-manggil. Segera saja aku mempersilakan orang-orang itu masuk dan duduk di meja makan. Tak berselang lama, A Ma keluar dari kamarnya yang membuatku seketika bertanya-tanya. Kenapa A Ma memakai cheongsam merah itu?

*) Image by istockphoto.com

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia dan membagikan berita-berita yang menarik lainnya. >>> KLIK DI SINI <<<