Judul               : Kenang-kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub

Penulis             : Claudio Orrego Vicuña

Penerjemah      : Ronny Agustinus

Penerbit           : Marjin Kiri

Cetakan           : November, 2018

Tebal               : 68 halaman

ISBN               : 978-979-1260-82-4

Kebun binatang dibangun atas dasar nalar penghiburan dan pelesiran. Orang-orang diharapkan datang ke sana untuk menonton binatang terkurung di dalam kerangkeng, tercerabut dari habitat aslinya, terpisah dari keluarganya. Kita semua, sejak kecil, terbiasa menjadikan kebun binatang sebagai rujukan memahami nama dan rupa pelbagai binatang, dari yang jinak hingga yang galak. Kita sering memandang takjub di depan para binatang yang kita tak tahu seperti apa sebenarnya perasaan mereka. Oh, jangan-jangan kita tak pernah tahu jika binatang juga punya perasaan? Kita ingin dianggap peduli pada binatang, sehingga melempar makanan ke kandang bolehlah dianggap sebagai tindakan terpuji.

Tetapi, pernahkah sebentar terlintas di pikiran kita untuk merenungi seperti apa sebenarnya isi pikiran mereka? Atau, pernahkah kita membayangkan perasaan para binatang itu menjalani hari-hari dalam segala keterbatasan dan kesendirian? Tak usah malu jika memang tak pernah. Ikut merasakan senasib sepenanggungan sesama manusia saja seringkali kita abai, apalagi terhadap binatang. Baiklah, karena itu tak ada salahnya saya menyarankan kepada pembaca sekalian untuk menyempatkan diri membaca novel sangat tipis berjudul asli Las sorprendentes memorias de Baltazar karangan penulis Cile, Claudio Orrego Vicuña. Ronny Agustinus menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Kenang-kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub, diterbitkan oleh Marjin Kiri, 2018. Inilah satu-satunya buah pikir Vicuña, seorang sosiolog, peneliti, aktivis, juga politisi dari Partai Kristen Demokrat Cile, yang ditulis dalam bentuk novel.

Dengan tebal 68 halaman, novel ini secara ringkas namun penuh ungkapan-ungkapan filosofis mengudari isi batin dan perasaan seekor beruang kutub yang dikerangkeng di sebuah kebun bintang. Dan di situlah beruang beroleh satu “guna”: menjadi tontonan publik. Di dalam kesendiriannya, beruang yang kemudian kita kenal bernama Baltazar ini justru berhasil menemukan pelbagai renungan perihal kebahagiaan, kebebasan, cinta, kekuasaan, nasib manusia, ketertindasan hidup, optimisme, serta upaya memandang dan memahami realitas hidup sebenarnya. Tak usah bertanya-tanya, apakah betul seekor hewan punya kemampuan semacam itu? Teks sejenis, seperti pernah kita tahu lewat novel Animal Farm garapan George Orwell, adalah sebuah alegori—cerita yang dimanfaatkan untuk melambangkan atau menerangkan suatu gagasan.

Berbagai-bagai renungan yang sudah saya singgung itu hadir saat Baltazar, dengan segala kenyataan yang ia hadapi, mencoba mengambil apa yang sekiranya bisa ia maknai dari dalam penjara. Pertama, tentu saja tentang manusia—merekalah yang menyeretnya dari kutub sehingga sampai sekarang ia terkurung di dalam terali besi. Kesan pertama beruang terhadap manusia sungguh tentang kesadisan belaka. Ia ingat kejadian itu sejelas-jelasnya, “Pertama-tama singa laut. Alangkah kejam mereka padanya! Betapa mereka memburu dan menghabisinya!” Penjagalan itu berlangsung di hadapannya—tak jelas benar untuk alasan apa ‘manusia’ di novel ini dikisahkan membantai singa laut—dan memberi satu pelajaran berarti tentang watak manusia, secuil demi secuil.

Pernah Baltazar mendapati seorang bocah yang menurut instingnya mengerti bahasanya—bahasa binatang. Mereka memang tak saling bicara, namun sanggup saling memahami pesan yang disampaikan. “Ia menatapku lama, sampai ia yakin bahwa aku memang berbicara kepadanya,” ungkapnya. Dari percakapan itu ia lantas tahu bocah itu tak punya siapa-siapa lagi. Baltazar, dengan logika seekor beruang sewajarnya, sulit memahami alasan manusia menelantarkan seorang bocah, di kebun binatang pula. Ia jadi ingat dirinya yang selalu menjaga anak-anak mereka, juga sekawanan singa laut dan burung camar yang ia tahu tak pernah menelantarkan sesamanya. “Mengapa keegoisan dan kebatilan begitu kasar dan terang-terangan di dunia mereka?” ungkap Baltazar tak paham.

Keheranan Baltazar pada sifat manusia semakin kentara saat penjaga kandang datang tiap hari menemuinya, baik untuk mengawasi atau sekadar menyediakan makanan yang seringkali diberikan dengan kesan ogah-ogahan. Dalam konteks ini Baltazar sadar posisinya. Bahwa penjaga kandang itulah penguasa atas dirinya dan perintahnya harus dipatuhi, itu ia paham betul. Yang justru sulit ia pahami ialah mengapa manusia selalu mengandalkan kekuasaan untuk berbuat semau mereka. Seolah-olah kekuasaan adalah pengesah bagi manusia untuk berbuat sebebas-bebasnya meski pada akhirnya bakal merugikan pihak lain. “Begitu mereka mendapat kuasa, rasa percaya diri mereka muncul lebih dikarenakan oleh kekuasaan ini ketimbang oleh nilai-nilai dalam diri mereka sendiri,” nilainya pada watak penjaga kandang yang seringkali memperlakukan ia seenaknya.

Konsep kekuasaan dalam jagat binatang tentu berlainan dengan manusia. Bagi beruang, kekuasaan adalah kesanggupan mengandalkan diri sendiri, mengandalkan segala yang dimiliki untuk membela dan mempertahankan diri. Sebaliknya, bagi manusia, kekuasaan justru tak datang dari dalam diri mereka sendiri. Manusia memerlukan jabatan dan kekuasaan tertentu untuk kemudian melegitimasinya sebagai kekuatan. Yang menarik dari cara Baltazar memandang kekuasaan manusia ialah, menurutnya, “semakin tidak bahagia mereka, semakin doyan mereka berlagak memamerkan kekuasaan itu.” Itu menandai kekuasaan tak linear dengan kebahagiaan dan bagi manusia justru sebaliknya. Manusia ingin bahagia tapi gagal, dan karenanya berupaya memburu kekuasaan. Egoisme jadi tumpuan, kerja dan manifestasi kekuasaan pun semakin banal. Manusia tak lagi menggunakan kepekaan kemanusiaan mereka dalam memanfaatkan kekuasaan.

Tentang kepekaan, bagi si beruang, agaknya inilah yang seringkali manusia lalaikan. Seolah-olah manusia adalah satu-satunya makhluk di Bumi, untuk itu mereka tak enggan merampas kebebasan dan hak hidup makhluk lain. Memang, ada sebagian kelompok manusia yang mencoba menjadikan binatang sebagai teman hidup di Bumi untuk saling melengkapi. Terutama binatang piaraan. Tetapi itu tak banyak berarti. Masih begitu melimpah manusia yang menjadikan binatang sebagai objek taklukan. “Kadang aku yakin bahwa manusia mengira beruang itu tidak punya perasaan. Itu sebabnya mereka tidak menghargai hidup kami, masa lalu kami, atau impian-impian kami,” ungkap Baltazar dalam kepiluannya. Dalam sikap semacam ini, jangankan kepada binatang, Baltazar menduga kepada sesamanya pun manusia sangat mungkin akan berbuat serupa. Tambahnya, “sungguh sangat jahat seseorang bisa direnggut begitu saja dari dunianya, dikurung dalam kandang, dan dilarang hidup seperti semua orang lainnya.”

Novel ini renungan tentang kebebasan. Meski berada dalam kondisi terpenjara, Baltazar memanfaatkannya untuk menengok dan mempertanyakan kembali hakikat kebebasan, terutama setelah melihat pelbagai nasib manusia yang ia lihat sehari-hari lewat wajah-wajah pengunjung kebun binatang—mereka dilanda kebosanan, kesendirian, serta optimisme yang memudar dalam melakoni hidup. Baltazar mengejek manusia dengan cara membandingkan cara kaum beruang memandang kehidupan. Para beruang tak pernah merasa bosan menjalani hidup karena bagi mereka tak ada yang berulang satu kali pun di negeri es. Bahkan lanskap, ombak lautan, dan lokasi ikan. Segalanya berubah dan itu memaksa semua pihak berubah juga. Di es tak ada rutinitas. Penegasan ini eksplisit mengecam pola hidup manusia yang seringkali sekadar menjalani rutinitas harian. Menjalani hari-hari tanpa berarti. Lama-lama naluri manusia pun tumpul dan di saat itulah kebosanan terbit.

Dengan bekal pengalaman hidup sedemikian keras, pantang bagi beruang untuk berpasrah diri menerima nasib. Nasib adalah kesunyian masing-masing, itu benar. Tetapi pasrah sampai mati bukan watak seekor beruang. Vicuña menjadikan beruang sebagai sosok yang mencoba untuk tak disetir oleh keadaan. Kerangkeng memang membatasi segala gerak-gerik Baltazar, tetapi siapakah yang sanggup membendung kebebasan dalam berpikir? Setiap individu hanya akan bisa memaknai hidupnya sepanjang di dalam dirinya bersemayam kesadaran untuk memanfaatkan kebebasan sebenar-benarnya. Kini, Baltazar yakin betapa luar biasanya untuk bisa hidup itu, bahkan di penjara sekalipun, sebab tak seorang pun bisa merampas kapasitas kita untuk melihat, berpikir, dan bermain. Inilah satu fase penting bagi Baltazar untuk sampai pada puncak-puncak tertinggi dalam memahami kebebasan sebagai pondasi hidupnya. Penjara bukan alasan baginya terkekang dalam berpikir. Hingga sampailah Baltazar pada satu renungan terdalamnya, Kebebasan hanya berasal dari pengertian yang lebih dalam atas tanah-tanah baru, realitas-realitas baru, dan orang-orang baru yang ditemui. Di dalam kerangkeng kebun binatanglah semua itu justru bisa ia dapatkan. 

Membaca novelet ini kita dihadapkan pada satu realitas yang sebenarnya mengecoh. Dunia Baltazar adalah sebuah alegori. Kita boleh saja menganggap apa yang dialaminya sebagai satu keadaan yang tak lagi tertangguhkan. Dan sebab itu ia mesti mencari akal untuk terus memaknai hari-harinya agar tak berlalu secara mubazir. Jika ia pasrah saja, sampai mati nasib itu akan ia terima. Tetapi demi sebuah kehidupan yang lebih bermutu, Baltazar mesti setengah mati melupakan apa yang sebelumnya menjadi realitas hidupnya yang lalu. Artinya, novelet ini sebenarnya menghadirkan suatu keadaan yang mengerikan ketika mahkluk hidup dicerabut dari lingkungan dan kodrat hidupnya yang hakiki. Menyepakati apa yang tertulis di sampul belakang, novel ini pada akhirnya bisa dipandang sebagai sebuah gambaran tentang kediktatoran, dan di sisi lain penyemangat bagi siapa saja yang sedang tertindas agar tidak menyerah dalam perjuangan mencapai kebebasan sejati.

Sebenarnya, Baltazar tak perlu melakukan segala hal menguras energi dan pikiran itu seumpama para manusia tak menculik lalu memenjarakannya di kebun binatang. Praktis kesanggupan menghadirkan satu “realitas baru” adalah wujud pertanggungjawaban paling hakiki atas hidup ini. Kebebasaan memang harus diciptakan sendiri—inilah alasan beberapa tokoh besar yang pernah kita kenal sanggup menghasilkan buah pikir dan gagasannya yang berlian justru dari dalam penjara, dari sebuah ruang yang menisbikan kebebasan secara harfiah. Diperlukan semacam optimisme, juga kelapangan berpikir, agar seseorang sanggup mencipta kebebasannya sendiri. Dan novel ini mengatakannya dengan elok dan agak melankolis.[]