Pengalaman bisa menjadi guru terbaik bagi manusia. Melalui pengalaman, kita bisa belajar dari masa lalu sebagai pijakan untuk bertindak hari ini dan menyiapkan masa yang masih di seberang. Tilas buruk dapat dihindari untuk terulang kembali jika kita berkaca secara khidmat pada pengalaman. Pengalaman menyajikan ruang-ruang refleksi untuk merenungi segala kejadian yang ada, kemudian melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
Pengalaman bisa bersumber dari apa pun dan siapa pun. Kita bisa menilik pengalaman orang lain yang diceritakan kepada kita sebagai rambu untuk bertindak. Selain itu, pengalaman juga bisa didapatkan melalui aktivitas membaca. Membaca yang dimaksud adalah membaca secara tekstual—membaca bermacam referensi dalam bentuk teks maupun membaca secara kontekstual—membaca setiap kejadian yang ada dalam dunia nyata. Sumber-sumber pengalaman itu akan banyak menyuguhkan kepada kita sederet fakta atas berbagai kejadian yang telah lalu.
Membaca secara tekstual sebagai ikhtiar meneroka pengalaman salah satunya bisa dilakukan melalui karya sastra. Pada dasarnya, karya sastra bukanlah dokumen sejarah ataupun tulisan jurnalistik yang menghidangkan sederet fakta secara apa adanya. Namun, anasir dari karya sastra adalah kisah-kisah dalam kehidupan nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ian Watt dalam “Literatur and Society” dan Teeuw dalam buku “Sastra dan Ilmu Sastra”. Keduanya sepakat bahwa sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat. Kisah-kisah dalam sastra bukanlah bualan belaka, ada kisah nyata yang dapat dirunut jejaknya.
Berbicara mengenai suatu pandemi, bisa ditelurusi melalui media karya sastra. Beberapa karya sastra menjadikan pandemi sebagai salah satu anasir cerita. Dalam karya sastra (berbahasa) Indonesia, kita bisa membaca pandemi salah satunya melalu karya-karya Iksaka Banu. Dalam novelnya berjudul Pangeran Dari Timur (2020) dan Sang Raja (2017) serta buku kumpulan cerpennya Teh dan Pengkhianat (2019), pandemi menjadi anasir cerita. Pangeran Dari Timur (2020) mengisahkan tentang hadirnya pandemi malaria yang bisa menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Sang Raja (2017) merekam geger dunia akibat hadirnya virus flu Spanyol yang begitu banyak menelan korban jiwa. Sementara itu, Teh dan Pengkhianat (2019) berisi narasi tentang virus variola atau cacar yang pada awal kehadirannya begitu mengancam nyawa.
Kisah-kisah mengenai pandemi yang dihadirkan dalam karya sastra tersebut memang pernah ada dalam kehidupan nyata. Tercatat, beberapa pandemi pernah membuat geger beberapa negara. Kita dapati adanya pandemi flu Spanyol, flu burung, flu babi, MERS, cacar, kolera, dan lain sebagainya. Semua pandemi itu berbahaya, sama halnya seperti pandemi korona yang sedang kita alami hari ini.
Muasal Pandemi
Muasal pandemi adalah patogen. Patogen ini merupakan parasit, ia hanya bisa hidup dengan berparasit pada tubuh inangya. Ketika menginfeksi tubuh inang, patogen bisa berujung pada kematian inangnya. Inang dari patogen bisa tubuh hewan maupun manusia. Namun, secara alami patogen lebih banyak berinang pada tubuh hewan, khususnya hewan liar yang berada di hutan belantara. Hutan-hutan yang suci dari jamahan tangan manusia.
Manusia dan patogen pada dasarnya hidup berdampingan dan bersama-sama mendiami bumi. Namun, ada sekat berupa jarak ruang yang memisahkan keduanya. Alam secara alami menempatkan patogen dan manusia pada ruang berbeda. Namun, keseimbangan ekologis yang mulai terganggu membuat sekat di antara keduanya menjadi sirna. Patogen semakin mendekat ke kehidupan manusia. Bahkan, pada akhirnya patogen berparasit pada tubuh manusia.
Pandemi dan Kesadaran Ekologis
Pembangunan yang tidak berpatron pada keseimbangan ekologis membuat patogen bisa bersarang pada tubuh manusia. Deforestasi yang dilakukan secara serampangan membuat habitat beberapa hewan di hutan terancam dan kehilangan sumber makanannya. Pada akhirnya, hewan keluar dari hutan untuk mencari alternatif sumber-sumber makanan. Persinggungan antara hewan yang pada mulanya berhabitat di hutan dengan manusia bisa menjadi sebab beralihnya patogen tersebut ke tubuh manusia.
Dalam pengantar buku Pandemik! (2020) karya Slavoj Zizek, Arif Novianto menghadirkan sebuah fragmen tentang muasal pandemi Nipah yang terjadi pada penghujung tahun 1990-an. Pandemi ini diduga berasal dari patogen yang berinang pada tubuh kelelawar buah. Kelelawar-kelelawar itu keluar dari habitatnya untuk mencari makanan berupa buah di kebun-kebun milik masyarakat sekitar perbatasan Indonesia-Malaysia. Keluarnya hewan tersebut dari hutan adalah karena sumber makanannya di hutan telah habis akibat ulah tangan manusia. Pasalnya, pada 1997 hutan-hutan di Kalimantan banyak dibakar sebagai konsekuensi dari pembukaan lahan perkebunan secara besar-besaran.
Perihal pandemi korona yang terjadi hari ini dan pandemi nipah yang terjadi berpuluh tahun lalu memiliki anasir kesamaan. Keduanya sama-sama berasal dari patogen yang menjadikan tubuh hewan—khususnya kelelawar, sebagai inangnya. Pandemi korona ini diduga berasal dari kelelawar yang dijualbelikan di Pasar Wuhan, China. Kesamaan lain antara kedua pandemi itu adalah bersumbu pada kerusakan ekologis. Sistem produksi hari ini cenderung tidak berpihak pada pelestarian alam, justru sebaliknya. Perampokan hutan dan pemburuan hewan-hewan liar adalah hal jamak terjadi hari ini.
Perihal pelestarian alam memang belum memberikan kabar yang menggembirakan. Menurut data yang dirilis oleh Global Forest Watch pada tahun 2016, secara global pohon-pohon yang hilang dari hutan adalah adalah sebesar 29,7 juta hektare. Hal itu menunjukkan hilangnya pohon di hutan naik 51% dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kejadian ini disinyalir disebabkan deforestasi pertanian, penebangan, dan industri pertambangan.
Kondisi Ekosistem Hutan Indonesia
Di Indonesia, kondisi hutan juga sangat menyedihkan. Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta hektare hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektare di antaranya sudah habis ditebang. Kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap hutan alam di Indonesia adalah penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan, dan eksploitasi hutan secara tidak lestari, baik untuk pengembangan pemukiman, industri, maupun akibat perambahan.
Kerusakan hutan yang semakin parah menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem hutan dan lingkungan di sekitarnya. Contoh nyata yang frekuensinya semakin sering terjadi dan nyata adalah konflik ruang antara satwa liar dan manusia. Rusaknya hutan habitat satwa liar menyebabkan mereka bersaing dengan manusia untuk mendapatkan ruang mencari makan dan hidup, yang sering kali berakhir dengan kerugian bagi kedua pihak. Rusaknya hutan telah menjadi ancaman bagi seluruh makhluk hidup.
Kita harus bisa memetik hikmah dari suatu kejadian. Pandemi korona yang terjadi hari ini dan pandemi-pandemi yang terjadi sebelumnya bisa menjadi pengalaman berharga untuk kita. Kesadaran ekologis harus terus dipupuk sebagai upaya melestarikan alam. Kemunculan pandemi bukanlah sesuatu yang tetiba, akan tetapi, akibat dari pola hubungan manusia dengan alam semesta nonmanusia. Pandemi bukanlah musuh manusia. Musuh manusia yang utama adalah perilaku mereka yang memberikan ruang bagi pandemi untuk hadir di kehidupan manusia melalui perusakan alam.