KURUNGBUKA.com – Ada jenis buku perjalanan yang membuat saya ingin segera membuka Google Maps, lalu ada buku perjalanan yang membuat saya diam sejenak—menutup buku—dan bertanya: kenapa perjalanan bisa terasa sedalam ini?

Sepatualang: Edisi Jalan-Jalan ke Bukittinggi dan Padang karya Yunis Kartika berada pada kategori kedua. Ia tidak sekadar mengajak saya berjalan dari satu destinasi ke destinasi lain, tetapi mengajak saya merasakan perjalanan itu sendiri: langkah-langkah kecil, lelah yang samar, percakapan ringan, dan kenangan yang mendekam di ingatan. Buku setebal kurang lebih 150 halaman ini terasa seperti ajakan sederhana: ayo berjalan-jalan, tapi jangan buru-buru. Jangan hanya mengejar tempat, tapi dengarkan apa yang ingin disampaikan perjalanan.

Sepatu sebagai Narator: Gimmick yang Personal

Keunikan paling mencolok dari buku ini—dan juga yang membuat saya tersenyum sejak awal—adalah pilihan sudut pandangnya. Yunis Kartika tidak selalu bercerita sebagai “saya”, melainkan memberi suara pada sepasang sepatu bernama Samayo. Ini langsung terasa pada pembukaan bab tentang Masjid Raya Sumatera Barat, yang diberi judul:

“Masjid Raya Sumatera Barat, Ikon Arsitektur Minang – Samayo”

Di sini, perjalanan tidak dimulai dari kepala atau mata, tetapi dari kaki. Dari sesuatu yang paling dekat dengan tanah. Dari benda yang sering kita anggap remeh, padahal justru paling setia menemani perjalanan.

Pilihan ini, bagi saya, bukan sekadar gimmick. Ia bekerja sebagai simbol: bahwa perjalanan sejati bukan soal jarak, tapi soal kesediaan melangkah. Ketika sepatu yang berbicara, maka segala sesuatu terasa lebih rendah hati. Tidak menggurui. Tidak sok tahu.

Namun, sebagai pembaca yang juga akrab dengan teknik penceritaan, saya jujur merasakan satu hal: meski ada Samayo dan juga disebut kehadiran 3Some Travelers, suara naratornya masih terasa sangat tunggal. Gaya tuturnya halus, reflektif, dan konsisten—terlalu konsisten, bahkan. Andai tiap sudut pandang memiliki perbedaan ritme, pilihan diksi, atau gaya tutur, buku ini mungkin akan terasa lebih kaya secara dramatik. Tapi ini catatan kecil saja, bukan vonis.

Perjalanan sebagai Pengalaman Batin

Yang paling saya sukai dari buku ini adalah keberaniannya menempatkan perjalanan bukan sebagai pamer destinasi, melainkan sebagai pengalaman batin. Pada bagian pengantar, Yunis Kartika menulis kalimat yang bagi saya adalah kunci membaca keseluruhan buku ini:

“Percayalah, bahwa setiap jalan selalu punya cerita—dan setiap cerita, sekecil apa pun, pantas untuk dikenang.”
Pengantar Sepatualang

Kalimat ini sederhana, tapi jujur. Ia tidak menjanjikan petualangan spektakuler. Ia hanya menjanjikan cerita. Dan itu ditepati.

Dalam bagian pengantar, penulis menceritakan perjalanan darat ke Bukittinggi dan Padang bersama suaminya, ditemani Samayo dan 3Some Travelers. Tidak ada persiapan berlebihan, tidak ada itinerary rumit. Bahkan disebutkan bahwa perjalanan ini berlangsung selama 18 jam dan terasa seperti satu paket perjalanan dua kota. Sebuah keputusan yang terasa sangat manusiawi.

Sebagai pembaca, saya merasa sedang duduk di kursi belakang mobil, mendengarkan seseorang bercerita tanpa terburu-buru. Tidak ada nada sok berpengalaman. Yang ada justru kejujuran seorang pelancong yang mau membuka diri.

Bukittinggi dan Padang: Lebih dari Sekadar Destinasi

Dalam bab-babnya, Bukittinggi dan Padang tidak diperlakukan sebagai brosur wisata. Kota-kota ini hidup melalui detail kecil: udara, langkah, makanan, dan pertemuan.

Saat membahas Bukittinggi, buku ini tidak bisa dilepaskan dari Jam Gadang, rumah adat, sejarah, dan kesejukan udara. Tetapi yang menarik, penulis tidak berhenti pada fakta. Ia mengaitkan kota dengan ingatan, dengan sejarah yang hidup, dan dengan rasa.

Salah satu bagian yang mengesankan bagi saya adalah ketika perjalanan membawa pembaca ke berbagai lapisan Minangkabau: dari falsafah hidup, makanan, hingga museum. Padang, di sisi lain, hadir sebagai kota pesisir yang hangat, terbuka, dan penuh cerita. Disebutkan bagaimana Masjid Raya Sumatera Barat bukan hanya bangunan ibadah, tetapi simbol pertemuan arsitektur Islam universal dan adat Minangkabau. Deskripsi masjid ini terasa puitis namun membumi. Ia tidak mengawang-awang, tapi juga tidak datar.

Catatan Perjalanan yang Informatif tapi Tetap Intim

Salah satu kekuatan buku ini adalah keseimbangannya antara narasi personal dan informasi praktis. Pada bagian akhir, misalnya, terdapat “7 Tips Explore Bukittinggi dan Padang”. Ini bagian yang biasanya kering dalam buku perjalanan, tapi di sini justru terasa seperti nasihat dari teman.

Tips-tipsnya konkret: soal transportasi, peta wisata, booking hotel, hingga perbedaan cuaca antara Bukittinggi dan Padang. Saya suka bagaimana penulis menyarankan pembaca untuk berbincang dengan driver lokal, karena dari sanalah cerita-cerita tersembunyi sering muncul—cerita yang tidak ada di buku panduan wisata.

Ini membuat buku ini tidak hanya layak dibaca, tetapi juga layak dibawa.

Soal Visual: Andai Berwarna

Sebagai pembaca visual, saya jujur merasa satu kekurangan yang cukup terasa: foto-fotonya hitam putih. Bukan berarti salah—hitam putih punya estetikanya sendiri—tetapi untuk buku perjalanan yang mengandalkan suasana, warna bisa menjadi elemen emosional yang kuat.

Bayangkan pemandangan Sitinjau Lauik, Air Terjun Sarasah, Pantai Padang, atau Masjid Raya Sumatera Barat dalam warna penuh. Vibes-nya pasti akan lebih hidup. Namun, di sisi lain, justru karena keterbatasan visual inilah tulisan Yunis Kartika bekerja lebih keras. Ia memaksa pembaca membangun gambarnya sendiri.

Buku yang Mengajak Pelan

Yang membuat saya menyukai Sepatualang adalah sikapnya terhadap waktu. Buku ini tidak terburu-buru. Tidak berisik. Ia seperti teman berjalan yang tidak banyak bicara, tapi tahu kapan harus mengajak berhenti.

Sebagai seseorang yang juga sering bergulat dengan cerita, saya merasa buku ini penting karena masih jarang ada catatan perjalanan Indonesia yang memakai pendekatan personal seintim ini. Buku ini tidak menjual “tempat”, tetapi menjual rasa mengalami.

Saya membayangkan buku ini dibaca perlahan, mungkin di sore hari, sambil membayangkan langkah kaki sendiri. Dan ketika buku ditutup, pembaca tidak hanya ingin pergi ke Bukittinggi atau Padang, tetapi ingin berjalan—ke mana pun—dengan lebih sadar.

Mengapa Buku Ini Layak Dikoleksi

Sepatualang: Edisi Jalan-Jalan ke Bukittinggi dan Padang bukan buku yang sempurna. Ada potensi yang bisa digali lebih jauh, terutama soal perbedaan suara narator dan eksplorasi visual. Namun justru ketidaksempurnaannya itulah yang membuat buku ini terasa manusiawi.

Total 150 halaman ini benar-benar membuat saya merasa diajak jalan-jalan. Bukan jalan-jalan untuk pamer, tapi jalan-jalan untuk mengenang. Dan bagi saya, itu nilai yang mahal.

Jika kamu mencari buku perjalanan yang tidak hanya menunjukkan ke mana harus pergi, tapi juga bagaimana seharusnya kita berjalan, buku ini pantas ada di rakmu.

Dan mungkin, setelah membacanya, kamu akan lebih sayang pada sepasang sepatu yang menemanimu hari ini.