KURUNGBUKA.com – Nama selalu teringat dalam puisi: Sapardi Djoko Damono. Padahal, ia juga menulis cerita pendek dan novel. Ia banyak menulis esai. Mengapa ia keseringan teringat di puisi? Buku-buku puisinya telah terbit dengan kekhasan. Yang suka puisi-puisinya pasti mengoleksi buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka, Bentang, Indonesia Tera, Gramedia Pustaka Utama, dan lain-lain. Pada suatu masa, ia malah membuat penerbitan sendiri untuk buku-bukunya.
Apakah semua puisinya yang semula terbit di koran dan majalah sudah berhasil dikumpulkan dan terbit menjadi buku? Dugaan: belum. Buku-buku yang sudah terbit dan beberapa cetak ulang membuktikan masih ada puisi-puisinya yang tersebar. Puisi-puisi yang semestinya dapat dicari dan dihimpun untuk memastikan kesaktiannya, sejak remaja sampai menjelang kematian.
Kita mencarinya dalam majalah Basis edisi-edisi lama. Dulu, Sapardi Djoko Damono rajin menulis di Basis, pernah pula membantu dalam kerja keredaksian untuk sastra. Ia membuktikan dirinya beriman dan meningkatkan iman dalam urusan menulis puisi. Imannya tegak yang menempuhi jalan panjang, yang membikin iri orang-orang seumurannya atau kaum muda yang berani sekejap berpuisi. Bagaimana ia tidak berputus asa dengan puisi? Bagi yang pernah membuka buku mewah mengenai manuskrip puisinya saat masih remaja mudah mengerti atas imannya yang tidak pernah goyah dan jatuh dalam berpuisi.
Di majalah Basis edisi Desember 1970, kita bertemu satu puisinya yang berjudul “Nature Poems”. Bolehkah membuat judul berbahasa Inggris untuk puisi yang berbahasa Indonesia? Boleh. Sapardi Djoko Damono tidak menyombongkan dirinya yang pintar bahasa Inggris. Sejak masih muda, ia tekun dalam melakukan penerjemahan sastra. Buku-buku terjemahannya terbit dan menjadi contoh untuk hasil yang bermutu. Yang paling teringat adalah terjemahan novel Ernest Hemingway.
Yang ditulis Sapardi Djoko Damono: Tertjium bau bunga. Tiba-tiba ia ingin menulis surat/ tentang suara burung jang mendadak senjap diudara/ tentang tjahaja sore/ jang tergores dikatja djendela, tentang daun-daun/ jang bersiap gugur, tentang angin jang/ bagai beribu saputangan/ tentang lampu-lampu dibukit sana jang bertahan/ terhadap kelam, tentang bentjah-bentjah gaib/ jang perlahan menuruni tangga/ tentang suara-suara asing/ jang meraba-raba warna dinding, tentang beberapa/ patah kata jang tak pernah diutjapkan/ tentang diam. Padamu. Larik-larik yang nada dan suasanya terus terasakan sampai di puisi-puisi yang ditulis dalam usia tua dan ketenaran yang sulit ditandingi. Maka, puisinya berada di jalan pengekalan ketimbang fana.
Larik-larik itu membenarkan judul berbahasa Inggris “nature”. Sapardi Djoko Damono seolah sosok yang lahir dan tumbuh di desa. Yang mengetahui biografinya, alam dalam puisinya itu sulit ditemuukan di Solo. Ia mula-mula dari Solo, sebelum melanjutkan hidup di Jogjakarta, Semarang, Jakarta, dan pelbagai tempat.
Puisi mengenai alam saat rezim Orde Baru sedang mengenalkan dan membesarkan pembangunan nasional terbaca mirip sindiran. Sapardi Djoko Damono tidak memgusulkan terjadinya “pembangunan alam”, yang harus berdasarkan GBHN atau pidato-pidato Soeharto, Apakah puisi itu sebaiknya masuk dalam bacaan renungan kementerian lingkungan hidup, yang pernah diharapkan menjadikan Indonesia tidak terlalu hancur untuk hutan, sungai, perbukitan, pantai, danau, dan lain-lain?
Selanjutnya, Sapardi Djoko Damono dalam ejaan lama mengisahkan: Seekor burung tersentak, meluntjur/ dan lenjap dalam kabut/ sepasang kupu-kupu bertarung, merendah/ dan lenjap dalam kabut/ selembar daun gugur, menimpa daun-daun/ menggelintjir dan berguguran sedjuta daun (musik/ jang tanpa suara, kaudengar), berdjatuhan dibumi/ dan lenjap dalam kabut/ sewaktu ia bersiap mentjari tepi kabut/ bertolak pergi/ dan lenjap dalam kabut. Dalam dirimu. Jika membaca bait terakhir, pembaca ingin mengubah judul menjadi “Lenjap dalam Kabut”. Namun, bait pertama akan membujuk pembaca mengganti judul menjadi “Tentang”.
Puisi yang terbaca lembut dan membawa citarasa masa lalu. Citarasa yang mengingatkan kita dengan perkembangan (ejaan) bahasa Indonesia. Sapardi Djoko Damono bila menulisnya setelah 1972, rasa puisi bakal berubah. Kita menikmati puisi dengan ejaan lama ketimbang keseringan membacanya dengan ejaan yang disempurnakan, sejak 1972. Jadi, keinginan mencari, mengumpulkan, dan menerbitkan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono semestinya tetap mempertahankan ejaan. Maksudnya, pembaca agar merasakan silam yang yang pernah ada sebelum “ditindas” oleh ejaan yang disempurnakan dengan pelbagai kepentingan.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<







