KURUNGBUKA.com – Sejak masa 1950-an, namanya masuk dalam geliat seni di Indonesia. Konon, ia gonta-ganti pilihan dalam pembentukan diri sebagai seniman. Pada akhirnya, ia mendapat pengakuan dalam sastra meski pernah berada dalam seni-seni berbeda. Ia percaya menempuh jalan kata. Kita melihat fotonya yang berkacamata saat tua. Pada saat masih muda, ia mungkin sudah berkacamata sekaligus “berkacakata”. Akibatnya, ia banyak menulis puisi, cerita pendek, dan esai.
Buku puisinya yang pertama ditanggapi HB Jassin. Maka, terjadilah “sedikit” polemik mengenai puisi, yang membuat umat sastra di Indonesia bertambah “pinter”. Yang besar duluan adalah HB Jassin. Pada masa yang berbeda, Subagio Sastrowardoyo pun besar sebagai kritikus sastra. Konon, tulisan-tulisannya lebih gereget ketimbang yang diwariskan HB Jassin.
Masa demi masa, Subagio Sastrowardoyo rajin menulis puisi. Buku-bukunya terbit oleh Balai Pustaka. Yang keren adalah Subagio Sastrowardoyo pernah menjadi pimpinan di Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah. Kita memang mengakui puisi-puisinya bagus meski tidak selamanya. Pada saat menua, ia menulis puisi-puisi bertema maut sebelum pamit dari dunia.
Pada 1990, terbit bukunya yang berjudul Simfoni Dua. Buku bersanpul warna hijau. Tipis. Apakah ia memilih tipis ketimbang menulis 500 puisi dan diterbitkan semua? Pastinya, ia sudah tenar dalam sastra Indonesia. Jadi, Simfoni Dua bukan lagi kejutan bagi para pembaca jika telah mengikuti arus sastra Indonesia.
Siapa belum pernah membaca puisi-puisi gubahan Subagio Sastrowardoyo mungkin merugi seumur hidupnya. Kita tidak mewajibkan tapi setidaknya pernah membaca satu saja. Sialnya, kini, namanya bukan lagi yang sering dikutip jika memasalahkan puisi. Artinya, pembaca puisi-puisi mulai berkurang? Beruntunglah orang-orang lama yang sempat menikmati puisi-puisi bermutu, sejak masa 1950-an sampai 1990-an.
Di majalah Tempo, 25 Mei 1991, kita membaca pembahasan bukunya oleh Bakdi Soemanto. Yang ditulisnya: “Saya tak tahu persis, tetapi agaknya sajak-sajak yang terhimpun dalam Simfoni I (1957) adalah puisinya pada awal kepenyairannya. Setelah 32 tahun lewat Simfoni II (1989) muncul, dan keduanya bergabung dalam Simfoni Dua. Apa yang menarik dalam dua simfoni itu kepenyairan Subagio hampir tidak berubah.” Kita mulai ragu-ragu membaca resensi yang terduga kurang bermutu.
Resensi ini mungkin sengaja ingin terbaca mahasiswa atau dosen. Maksudnya, jenis resensi yang dibikin berat dan penting disampaikan dalamm perkuliahan. Kita kadang memang jenuh dengan resensi-resensi yang ditulis orang-orang dari kampus yang telanjur belajar ilmu-ilmu tinggi dari buku-buku babon. Akibatnya, resensi yang dibuat bukan santapan bersama atau memikat kaum awam.
Kita mengutip lagi isi resensi: “Kesan saya, Simfoni II lebih banyak menyajikan saja yang mengalir. Pertimbangan akan pilihan kata nampak tidak seketat kumpulan sajak Simfoni I. Mungkin, perenungan filsafati tidak lagi dirasakan menggigit dan mendesak. Namun, tenaga puitisnya tetap kuat. Subagio, bagi saya, memang seorang penyair.” Kalimat terakhir yang membuta kita terlarang bingung. Sejak dulu, Subagio Sastrowardoyo menggubah puisi. Ratusan puisi sudah muncul di pelbagai majalah dan terbit menjadi buku. Bakdi Soemanto yang membuat resensi malah mengumumkan peran Subagio Sastrowardoyo dengan “memang”. Apa arti memang? Bukan saja kamus-kamus yang tebal.
Jika yang punya buku itu membaca resensi di Tempo mungkin saja tersenyum atau sakit perut. Resensi yang ingin setor komedi. Pastinya resensi itu dibuat bukan dengan tertawa tapi keseriusan. Yang tidak boleh dilewatkan adalah ulasan Bakdi Soemanto mengenai puisi-puisi yang bergantian memasalahkan hidup dan mati. Jadi, para penikmat sastra yang ingin serius memikirkan mati, bacalah puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo. Sebaliknya, yang percaya dan bergairah hidup, jangan melewatkan puisi-puisi yang sangar.
Yang bikin sedih, peringatan 100 tahun Subagio Sastrowardoyo kurang bergairah. Pada abad XXI, nama itu kalah tenar dengan Dian Sastrowardoyo. Sosok yang pernah tenar dan berpengaruh akhirnya tidak lagi dikenali dan terbiarkan menjadi kenangan bagi orang-orang yang terus menua. Yang baru menjadi umat sastra di Indonesia tidak harus memaksakan diri membaca puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo atau pusing saat masuk ke dalam esai-esainya.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<