Saepurrohman

Tepat pada 2020 lalu, aku pernah memposting menerima beasiswa Dauroh Kitab di Cairo, Mesir. Ini bukan omong kosong, sebab anggarannya pun aku melihat sendiri. Namun Covid-19 sedang melanda Indonesia sehingga keberangkatan kami terhalang. Tertunda. Akhirnya ditiadakan sama sekali.

Aku sudah menaruh harap pada impian bermain di Piramida Giza, melihat Fir’aun beku karena dibalsam, juga sungai Nil yang terkenal paling panjang di dunia. Tetapi impian itu sirna seketika atas kehendak Tuhan dan aku hanya bisa menelan ludah.

Sebelum itu, aku sempat mengurus paspor dan segala tetek-bengeknya. Aku sudah membayangkan betapa indahnya menginjakkan kaki di sebuah Bandara dengan pesawat-pesawat besar—membayangkan keluarga menangis dan mendapat hangatnya pelukan dari ibu.

Sekarang, setelah gagalnya mencapai impian yang muntab itu—aku bahkan tidak berani membayangkan hal-hal seperti di atas. Lebih baik berdiam diri di kamar, membaca buku, dan mendengarkan lagu Rita Sugiarto satu album penuh.


Aku sedang di perpustakaan dan keluar sejenak untuk menyalakan lampu-lampu di pelataran Rumah Dunia. Tiba-tiba Gol A Gong menghampiriku dan memberi kabar keberangkatannya ke NTT. Dia juga mengajakku untuk ikut mengantarnya, “Rohman mau ikut nggak ke Bandara, nganter saya?” Ajaknya memberi tawaran.

Aku menjawab dengan siap bahwa menghantarkan guru ke bandara adalah sebuah perbuatan yang mulia—lagi menambah pengalaman.

Selepas Salat Isya aku bergabung obrolan dengan Ade Ubaidil, Rudi Rustiadi, dan Setiawan Jodi. Mereka kesemua merupakan relawan Rumah Dunia—akan berangkat bersama menghantarkan Gol A Gong. Hanya Ade yang menemani Mas Gong sampai ke NTT nantinya.

Sambil menunggu Mas Gong bersiap-siap, kami bercakap-cakap tentang apapun. Tentu saja, obrolan relawan Rumah Dunia tidak akan jauh dari sebuah karya kreatif seperti membuat konten video YouTube, menulis buku—sampai membicarakan seni bertahan hidup dari hasil kreativitas tadi.

Syukur Alhamdulillah, hanya butuh satu jam, Mas Gong keluar dari rumahnya. Itu artinya, dia sudah siap akan berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta. Dan kami, harus pula mengantarnya.

Kami masuk mobil Perpustakaan Nasional. Maksudku mobil dinas Gol A Gong selama menjabat sebagai Duta Baca Indonesia tahun 2021-2025. Rudi adalah supir andalan kali ini. Dan aku duduk di belakang diapit oleh Ade Ubaidil dan Setiawan Jodi. Mas Gong tentu saja duduk di bangku depan.

Sejak awal masuk pintu Tol Serang Timur kami banyak mengobrol tentang apa pun itu, mulai Balada Si Roy yang akan tayang pada Agustus-September mendatang sampai menyiapkan Ade Ubaidil dan relawan Rumah Dunia untuk menjadi penulis kebanggaan.

Tapi obrolan panjang itu, rasa-rasanya tidak perlu aku tulis di sini, sebab bernilai privasi. Untuk tayangan Balada Si Roy di bioskop itu sudah bukan rahasia lagi.

Astaga. Tidak terasa kami sudah sampai. Begitulah jika perjalanan dibarengi dengan obrolan yang super asyik—tidak akan terasa. Aku turun langsung sesuai instruksi dari Mas Gong, untuk mencari troli.

Aku berlari ke arah Barat dan tidak jauh dari situ ada banyak troli yang sudah dipersiapkan tersusun sangat rapi. Aku kewalahan menarik troli itu keluar. Tiba-tiba di arah sampingku ada sebuah suara menyahut, “Mas, tekan genggaman troli itu ke bawah.” Ia sambil memperagakannya.

Aku mengerti. Dan yap, troli itu berhasil ditarik. Bukan apa-apa—terlihat sudah adegan norak yang baru saja kutunjukan. Maklumlah, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di bandara.

Aku mendorongnya ke arah mobil dan Gol A Gong langsung menyimpan ranselnya di troli yang kubawa. Sebelum berangkat, Mas Gong mengajak kami foto bersama. Ah mantap sudah. Maaf, yang barusan foto kami bukan orang lain, tetapi Rudi Rustiadi. Dia mengaku sudah terlalu sering berfoto dengan Gol A Gong jadi bosan katanya.

Usai berfoto, kami mengucapkan kalimat perpisahan kepada Mas Gong dan Ade. Kami berharap, baik Mas Gong dan Bang Ade bisa lancar di perjalanan menuju NTT dan selalu selamat di mana pun berada. Barangkali begitu juga harapan dari Gol A Gong, sebab Rudi, Jodi, dan saya sendiri tidak tahu arah jalan pulang.

Tiba-tiba aku bersedih hati entah kenapa? Mungkin karena saat itu aku pernah menghayal dilepaskan kepergiannya menuju Mesir oleh tangisan keluarga dan pelukan hangat dari ibu—tetapi gagal karena Covid-19. Kali ini, aku yang melepas kepergian Mas Gong dan Bang Ade ke Kupang. Astaga air mata menetes. Terasa hangat di pipi.


Kami pulang atas bantuan dari GPS. Sepanjang perjalanan kami sempat ragu sebab ada saja tikungan yang membuat pusing. Rudi beberapa kali takut salah belok, tapi beruntung kami sampai berhasil keluar arah Gerbang Tol Serang Timur.

Perut kami lapar. Kami bersepakat makan malam setelah mengantar Mas Gong dan Bang Ade harus ditutup dengan hidangan yang mantap. Kami memilih makan di pinggir jalan—malam-malam begini hanya warung pecel lele yang buka.

Rudi memesan pecel lele. Aku dan Jodi memesan pecel gurame. Nikmat. Alhamdulillah, makan kali ini enak bukan karena sambalnya pas di lidah, tetapi karena gratis. Mas Gong yang memberikan uang untuk kami makan saat pulang mengantarnya.***

Serang, 25 Mei 2022