KURUNGBUKA.com – Tokoh kita ini tidak terlalu jelas dalam seni. Pada awalnya, ia senang di musik dan lukisan. Yang ditekuni bertambah. Ia kepincut drama. Pada suatu hari, yang ditulisnya adalah puisi. Kemampuan untuk menulis terlalu kuat, jadilah beberapa cerita pendek. Namun, ia tetap saja berkekuatan besar saat menulis esai-esai. Pada akhirnya, orang-orang menganggapnya tokoh sastra.

Namun, ia tidak selesai berpredikat sastra. Pada masa Orde Baru, ia adalah pejabat. Kita jangan meledeknya bila disebut sebagai pejabat. Ia bukan menteri atau gubernur. Apa yang membuat terhormat sebagai pejabat? Yang menggubah puisi bisa menjadi pejabat? Kita sebut jabatannya adalah direktur. Tokoh kita memang pernah menjadi bos besar di Balai Pustaka, penerbitan milik pemerintah, yang sejak masa kolonial gonta-ganti status dalam birokrasi.

Pejabat itu lumrah naik mobil. Kita berpikir mobil berurusan jabatan, bukan mobil dibeli dari puisi-puisi. Apakah puisi mampu digunakan untuk membeli mobil? Pada suatu hari, hal itu bakal terjadi. Tokoh yang sedang kita kenang bernama Subagio Sasttrowardoyo. Ia datang ke kantor redaksi majalah Horison. Datang dengan naik mobil agar tidak disiksa panasnya Jakarta.

Di situ, Hardi mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Tugas yang terbaik untuk Subagio Sastrowardoyo adalah menjawab: pendek atau panjang, serius atau ngawur. Yang ditanyakan tentang mutu puisi “pamflet” yang digarap Rendra, yang mempengaruhi banyak orang. Subagio Sastrowardoyo menjawab: “Tapi, sepintas lalu, puisi Rendra yang pamflet itu dikerjakan secara tergesa-gesa, belum matang, belum mantap, belum mengendap, tapi sudah dikerjakan.” Kritik yang berani saat banyak orang yang memuja Rendra. Puisinya belum matang, yang harus direbus atau digoreng lagi.

Di masalah berbeda, Subagio Sastrowardoyo ketahuan memuji prosa-lirik garapan Linus Suryadi AG. Pada saat terbit, buku itu mendapat banyak cemooh. Subagio Sastrowardoyo memiliki penilaian yang meninggikan derajat Pengakuan Pariyem. Yang diomongkan Subagio Sastrowardoyo: “Saya sungguh hati, lho! Tentu saja ini sepanjang yang saya ketahui. Karyanya itu panjang dan dia bisa tahan dalam karya yang sepanjang itu menyatakan diri, secara liris. Yang tidak disukai sebagian orang adalah masalah bahasa. Ia terlalu banyak memakai bahasa Jawa. Hal lainnya adalah masalah tema, perempuan itu selalu pasrah…” Yang terpenting Pengakuan Pariyem itu terpuji!

Jawaban-jawaban Subagio Sastrowardoyo yang dimuat dalam majalah Horison edisi Desember 1983 memberi ingatan-ingatan mengenai perkembangan sastra masih yang masih seru meski banyak pihak memastikan capaian-capaian terpenting pada masa 1970-an. Bagi yang ingin mengingat sastra Indonesia mendingan membaca lagi jawaban-jawaban Subagio Sastrowardoyo. Apakah jawabannya benar? Ada beberapa yang meragukan tapi kewibawaan Subagio Sastrowardoyo kadang membuat orang percaya, malas memberi bantahan.

Beberapa jawaban sudah diberikan, berlanjut Subagio Sastrowardoyo memberi pengakuan: “Di samping menulis sajak, saya ini sekarang ingin menuliskan pengalaman hidup lewat prosa. Saya mau bicara yang biasa. Sebenarnya dalam perkembangannya, sajak saya lambat laun rupanya makin seperti prosa. Ini memang masanya saya sedang berprosa. Untuk pindah ini memakan waktulah, sebelum menjadi pernyataan diri pada prosa.” Puisi-puisi telanjur sering dipilih mendapat pembahasan para pengamat dan kritikus sastra. Subagio Sastrowardoyo ingin tambah pesona melalui prosa. Janganlah ia dituduh serakah dalam sastra!

Bosan dengan jawaban-jawaban serius mengenai sastra, kita membaca omongan pejabat. Maksudnya, ia menjelaskan tentang penerbit yang berusia tua dan pernah memonopoli penerbitan buku-buku pelajaran. Yang diomongkan bos besar: “Ikut mencerdaskan kehidupan bangsa memang tugas Balai Pustaka, turut serta dalam pendidikan dan kebudayaan.” Pada suatu masa, para pembaca masih mengakui mutu-mutu buku sastra terbitan Balai Pustaka. Sejak masa 1990-an sampai sekarang, keraguan makin besar dalam urusan mutu buku-buku dari Balai Pustaka.

Para kolektor mencari buku-buku Balai Pustaka yang terbit pada masa kolonial dan masa revolusi. Buku-buku yang masih bisa ditemukan sering harganya mahal. Yang dipentingkan mungkin bukan mutu tapi kondisi buku dan masalah tuanya. Kita jadi kepikiran buku-buku sastra bermutu terbitan Balai Pustaka masa 1980-an saat Subagio Sastrowardoyo menjadi pejabat. Yang jelas beberapa buku Subagio Sastrowardoyo (cerita pendek, puisi, dan esai) diterbitkan oleh Balai Pustaka. Apakah yang bermutu cuma buku-bukunya? Kita harus mencari katalog dulu, sebelum membuat penilaian.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<