KURUNGBUKA.com – Nama yang membosankan bila kita mengingat kritik sastra di Indonesia: HB Jassin. Ada nama lain yang selalu teringat: A Teeuw. Pada akhirnya, ada nama-nama yang menyusul: Subagio Sastrowardoyo, Jakob Sumardjo, Dami N Toda, Umar Junus, dan Sapardi Djoko Damono. Mereka menulis kritik sastra yang tersebar di majalah, koran, dan jurnal. Ada yang menghimpunnya dalam buku atau membiarkannya tak teringat oleh orang-orang yang pernah mengikuti seminar.

Yang pernah mendapat perhatian tapi sulit dikenali orang-orang berkecimpung dalam (kritik) sastra abad XXI: Umar Junus. Nama yang mulai jarang disebut dan tulisan-tulisannya tidak lagi “bernapas” dalam amatan sastra Indonesia. Padahal, namanya tercantum dalam buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka, Gramedia, dan Sinar Harapan.

Pada masa lalu, orang-orang terkesima membaca esai-esai yang terkumpul dalam buku berjudul Mitos dan Komunikasi. Yang ditulisnya bukan materi perkuliahan di jurusan komunikasi. Di buku, para pembaca menikmati masalah-masalah kesusastraan. Buku terbitan Sinar Harapan yang menunggu cetak ulang, wajib judulnya diganti.

Dua buku penting diterbitkan oleh Gramedia tapi terduga kurang laris dan jarang berpengaruh dalam perkuliahan sastra. Umar Junus, nama yang tercetak di sampul dua buku: Resepsi Sastra dan Dari Peristiwa ke Imajinasi. Kita belum tahu alasan terpenting penerbit (Gramedia) mau mengumpulkan dan menyuguhkan tulisan-tulisan Umar Junus kepada pembaca, yang terlalu lama hanya mengenal HB Jassin.

Di majalah Tempo, 5 November 1983, Sapardi Djoko Damono memamerkan resensi terhadap buku Umar Junus yang berjudul Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia (1983). Buku teringat dengan sampul berwarna biru. Namun, resensi dalam majalah Tempo tidak membuat foto sampul buku. Yang terlihat adalah foto penulis, pementasan teater, dan gelaran seni tradisional.

“Tapi, dalam bunga rampai ini tak semua karangannya berharga,” tulis Sapardi Djoko Damono. Umar Junus memang dihormati sebagai kritikus sastra meski beberapa tulisannya memang dinilai “jelek” atau kurang bermutu. Yang membuat resensi tidak tedeng aling-aling: “Umar Junus memang pengarang yang subur… Kesuburan itu membuktikan kecekatannya mengajukan masalah sekaligus ketergesaannya menarik kesimpulan atau merumuskan persoalan.” Peniliaian yang berani. Pada saat menulis resensi, Sapardi Djoko Damono juga sregep menulis esai-esai sastra dan mengajar di Universitas Indonesia. Jadi, yang ditulisnya dalam resensi bukan bualan atau ejekan.

Kita (tidak) tega untuk mufakat dengan hasil penilaian Sapardi Djoko Damono setelah rampung membaca buku Umar Junus. Peresensi yang blak-blakan berakibat ada pihak-pihak yang tersinggung, marah, atau membantah. Beberapa pembaca buku yang ikut memberi perhatian kepada Umar Junus bisa terkejut saat mengetahui kalimat yang ditulis Sapardi Djoko Damono: “Taufik Abdullah sebuah kata pengantar. Karangan yang justru paling menarik dalam bunga rampai ini.” Percayalah yang diterbitkan oleh Gramedia adalah tulisan-tulisan Umar Junus. Ada satu tulisan dari Taufik Abdulah bertugas sebagai kata pengantar. Namun, si peresensi malah memuji mutu tulisan Taufik Abdullah, bukan Umar Junus. Apakah itu mengandung penghinaan?

Para pembaca resensi boleh tertawa atau sedih. Yang pasti itu resensi yang berani untuk “menghabisi” isi buku dan penulis buku. Sapardi Djoko Damono yang wajahnya kalem dan tenang seperti terbakar api kecewa setelah (serius) membaca buku.

Bacalah tanpa mengedipkan mata: “Jumlah halaman yang hanya 175 untuk 20 karangan menunjukkan bahwa pokok pikiran Umar Junus hanya sempat diuraikan dalam karangan yang ringkas. Ringkasnya karangan itu sangat terasa karena sebenarnya pengarang berusaha menunjukkan dan meyakinkan pembaca hal-hal baru sehubungan dengan teori mutakhir tentang sastra.” Peresensi yang kejam, yang memiliki kepintaran matematika, tidak cuma sastra. Ia mungkin kepikiran 175 dibagi 20.

Marah dan kecewai diakhiri dengan nasihat. Kita bayangkan yang mendapat nasihat jadi cemberut. Sapardi Djoko Damono menulis: “Umar Junus masih harus menyeleksi pendekatan dan peralatan kritik yang paling dikuasainya dalam karangan yang lebih panjang – yang ditulis dengan lebih tenang dan dalam gaya yang tidak terlalu melelahkan.” Pada masa lalu, para pembaca mengetahui bahwa Sapardi Djoko Damono marah melalui resensi yang perkara terbesarnya adalah kritik sastra.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<