KURUNGBUKA.com – Di beberapa acara besar atau akbar, ia hadir dengan tubuh yang ringkih. Kedatangannya memberi legitimasi acara sastra. Orang-orang yang duduk di dekatnya merasa mendapat pancaran masa lalu yang gemilang. Ia memang berasal dari masa lalu.
Namanya belum berubah, tetap ditulis Sutardji Calzoum Bachri. Sosok yang melekat denga puisi di Indonesia. Ia kadang menulis esai atau cerita tapi selalu saja dikembalikan dalam “pengultusan” atau “pemujaan” puisi. Apakah ia menerima takdirnya dalam perpuisian di Indonesia?
Sejak masa 1970-an, ia tampil dengan takdir besar, yang oleh beberapa pihak dicibir dan diremehkan. Ia tetap saja menulis puisi-puisi, yang para pengamat mengecap mantra. Hebohnya adalah saat ia membaca puisi. Masa itu masa bertakdir puisi. Sutardji Calzoum Bachri makin menggoda orang-orang terus membaca puisi. Mereka boleh tidak membaca berita atau buku petunjuk menjadi kaya asal masih terpikat puisi. Yang dibaca adalah puisi gubahan Sutardji Calzoum Bachri, puisi yang unik.
Sutardji Calzoum Bachri mendapat pengakuan bukan setelah menerbitkan buku. Ia justru mula-mula mendapat pengesahan melalui pemuatan puisi-puisi di koran dan majalah. Ia bersaing dengan pengarang-pengarang lain agar bisa “sering” tampil di halaman-halaman yang prestisius. Sutardji Calzoum Bachri menjadi “pemenang”. Puisi-puisinya sering dimuat, yang mendapatkan pembaca dan pendebat.
Di majalah Budaya Jaya edisi Januari 1978, kita membaca puisi-puisinya yang tercetak di kertas warna coklat. Sutardji Calzoum Bachri saat masih muda, yang bisa tertawa keras. Sosok yang memuja bir. Ia yang sengaja mengesahkan “sastra bir”. Namun, kita tidak boleh hanya mengingat dirinya dengan bir. Apa yang membuatnya menjadi besar dan (sangat) berpengaruh? Jawabannya bukan bir.
Kita membaca puisi yang berjudul Silakan Judul. Penulisan judul saja sudah aneh dan bikin berpikir berat, tak lupa menimbulkan tawa. Sutardji Calzoum Bachri belum ingin menjadikan puisinya setara doa. Jadi, kita yang membaca boleh khidmat atau cengengesan.
Puisi ditulis pada 1977. Kita membaca saat umur puisi tambah tua. Yang diberikan Sutardji Calzoum Bachri: di atas anggur/ di bawah anggur/ gugur waktu/ rindu rindu// di atas langit/ di bawah langit/ janji puncak/ tak menunggu. Apakah kita wajib mengerti atau memilih merasakan kenikmatan kata dan nada? Sutardji Calzoum Bachri sedang “main-main” sekaligus mencipta yang sakral.
Kita lanjutkan: di atas bibir/ di bawah bibir/ kamus tak sanggup/ mengucapku. Ia menyinggung kamus. Kita membayngkan itu Kamus Umum Bahasa Indonesia. Apa ada kamus-kamus lain? Sutardji Calzoum Bachri sedang memasalahkan bahasa dan kekuasaan kamus, yang selalu menetapkan atau membakukan kekuasaan. Kamus boleh dimusuhi dan ditinggalkan bagi yang mau berpuisi tanpa jinak dan tertib. Kamus tidak selamanya memberi gairah dalam gubahan sastra.
Kita masih dibingungkan dengan judul. Tiga bait tidak memuat diksi “judul”. Apa yang mau dimisterikan oleh Sutardji Calzoum Bachri? Yang teringat dalam masa lalu: Sutardji Calzoum Bachri sedang getol menghadapi bahasa Indonesia. Ia berpuisi tapi mengajak bentrok otoritas bahasa. Ia terbukti lantang dan tangguh.
Kini, puisi yang kita baca itu cuma masa lalu. Pada masa yang berbeda, Sutardji Calzoum Bachri masih menulis puisi-puisi. Namun, ia tidak menjadi takdir yang paling penting. Usianya makin tua saat sastra di Indonesia mulai bertokoh yang muda. Yang pasti, Sutardji Calzoum Bachri masih mendapat kehormatan dalam (acara-acara) sastra. Ia kadang diminta sebagai pembicara, yang memungkinkan ia mengulangi omongan-omongan terdahulu.
Ada beberapa puisi yang dimuat dalam Budaya Jaya. Kita hanya memilih Silakan Judul. Puisi yang terbaca, yang boleh memicu keinginan kita menggubah puisi dengan judul “Silakan Sutardji”. Pada akhirnya kita boleh membuat lelucon dan perubahan atas puisi-puisi yang dulunya dituliskan sosok-sosok penting dalam kesusastraan di Indonesia. Sutardji Calzoum Bachri rajin menulis puisi, yang semuanya tidak mudah dimuat di koran, majalah, atau jurnal.
Yang mau mencari puisi-puisi lamanya mungkin cuma peneliti. Hadirnya buku puisinya yang berjudul; O Amuk Kapak biasa dianggap sudah puncak. Pada masa setelahnya, Sutardji Calzoum Bachri tidak perlu susah-susah membuat capaian baru atau lanjutan.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<