KURUNGBUKA.com – Konon, Karl Marx saat muda menulis puisi-puisi cap romantik. Ia tidak melanjutkan gairahnya. Pada masa berbeda, ia menjadi pemikir memukau dan menakutkan di dunia, bukan mendatangi benua-benua dengan puisi.
Di Indonesia, para seniman atau pemikir terkenal juga memulai dengan puisi-puisi. Yang teringat adalah Emha Ainun Nadji. Ia yang menua tetap sanggup berpuisi. Ada lagi Seno Gumira Ajidarma, yang mudanya menulis puisi tapi segera tamat. Yang ditekuninya adalah menggubah cerita dan menyajikan esai-esai.
Jika mau melacak majalah-majalah lama, kita akan mengetahui nama-nama besar dalam politik, ilmu-ilmu sosial, dakwah, atau perfilman memiliki jejak masa muda sebagai penggubah puisi. Ada yang bersyukur puisi-puisinya dimuat di majalah atau koran. Ada yang marah dan mutung setelah puisi-puisinya tidak “laku”. Belasan alasan digunakan mereka untuk tidak melanjutkan berada di jalan puisi. Namun, penemuan-penemuan puisi lama mereka dapat mengingatkan biografi pernah bergelimang puisi walau sebentar.
Ada nama yang biasa terbaca di halaman opini Kompas. Yang disajikan adalah esai-esai kebudayaan, tidak lupa menyenggol politik. Penulisnya bernama Indra Tranggono. Kompas yang mau berusia 60 tahun pasti memiliki dokumentasi lengkap untuk tulisan-tulisan Indra Tranggono. Yang menjadi umat sastra justru mengetahuinya adalah penulis cerita, selain ikut menggarap naskah-naskah dalam pertunjukan teater.
Kapan ia mulai terakui dalam jagat puisi di Indonesia? Jawabannya menunggu dari Indra Tranggono, yang sekarang tua. Ia seharusnya ingat babak-babak awal menjadi pengarang dan sukacita saat puisinya dimuat majalah. Di Jogjakarta, ia mengawali kesungguhan dalam jagat sastra. Kota itu memiliki banyak pengarang yang bersaing untuk tampil di majalah dan koran, tidak lupa panggung-panggung. Indra Tranggono sadar atmosfer Jogjakarta ditambah keganasan di Jakarta, yang kelamaan disebut “pusat” sastra.
Kita agak sengaja berpapasan dengan empat puisi lamanya yang dimuat dalam majalah Hai, 3-9 Desember 19985. Satu halaman untuk puisi-puisinya, tidak ada nama yang lain. Edisi yang istimewa. Namun, siapa yang masih menyebutnya dalam puisi saat pemikiran-pemikirannya mulai mendapat perhatian serius?
Kita menikmati puisinya yang berjudul Pemburu, ditulis pada 1984. Yang rajin membaca puisi Indonesia mungkin ingin lekas membandingkan dengan puisi gubahan Sapardi Djoko Damono. Kita tidak ingin bandingan dulu. Yang ditulis Indra Tranggono: Seorang pemburu memuntahkan peluru dendam/ di dada induk burung yang menggodanya/ dari dahan ke dahan/ Burung terpelanting dari ranting/ dan tanah setia menerimanya/ Cicit-cicit anaknya menembangkan/ tembang sungkawa buat kematian sempurna. Puisi yang menyuguhkan adegan kepada pembacanya. Sedih. Terharu. Tragedi.
Puisi yang dapat membikin pemuja alam mengamuk. Burung yang ditembak menimbulkan derita bagi yang menggandrungi fauna di Nusantara. Burung yang terbang atau bertengger berganti menjadi burung yang tergeletak di tanah. Nasib yang nelangsa. Manusia (pembutu) dianggap kejam. Ia yang menghilangkan kebahagiaan burung. Namun, yang disampaikan Indra Tranggono adalah derita yang ditanggungkan pemburu. Ia melakukan penembakan saat kondisinya remuk akibat derita yang akbar.
Puisinya jangan dibaca cuma dengan masalah alam saja. Jika ingin paham alam melalui burung mendingan kita membaca puisi-puisi gubahan Piek. Indra Tranggono tidak banyak memasalahkan burung. Yang membaca lembaran di majalah Hai mengetahui ia pun menghadirkan ikan dan kutu busuk. Pada saat berpuisi, Indra Tranggono tidak berjanji sebagai ahli binatag atau membesarkan zoologi dalam kesusastraan Indonesia.
Yang bingung dengan puisi gubahan Indra Tranggono tidak perlu menanyakan nama. Burung dalam puisi itu tidak bernama. Apakah yang menulis lupa memberi nama? Apa ia sengaja agar burung yang dimaksud boleh macam-macam sesuai yang diinginkan pembaca? Bila nama burung itu tercantum, kesan pembaca tentu lebih kuat dan merayakan imajinasi merujuk pengalaman atau melihatnya di poster-poster. Sekali lagi, Indra Trenggono tidak sedang pamer pengetahuannya tentang perburungan. Ia hanya berpuisi.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<