KURUNGBUKA.com – Pada masa lalu, ratusan orang menulis puisi. Nama mereka tercantum di beberapa majalah saat puisi-puisinya terbit. Ada yang cuma mencantumkan nama. Bila ia terkenal, para pembaca tidak perlu bingung. Namun, ada nama baru yang membuat pembacanya ingin tahu data diri atau keterangan. Di beberapa majalah, para penggubah puisi kadang mendapat keterangan pendek di halaman belakang. Yang memberi pernghormatan kepada penulis, memasang foto yang hitam-putih berukuran kecil.

Nama-nama yang pernah tercetak di banyak majalah perlahan menghilang. Umat sastra mungkin melupakannya. Pada saat ada usaha membuat leksikon, nama-nama itu menyulitkan gara-gara tiada keterangan tempat dan tanggal lahir, alamat, latar pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Nama-nama yang sudah kondang lekas bisa masuk leksikon sambil mencatat buku-buku yang sudah terbit atau ikut dalam pelbagai acara mentereng.

Di majalah Indonesia edisi Januari-Februari 1958, ada nama yang dicetak: Sudjarwo. Apakah nama yang sudah diakrabi para pembaca sastra di Indonesia? Sudjarwo mungkin dikenalai para pembaca masa 1950-an dan 1960-an. Pada masa berbeda, Sudjarwo itu nama asing. Di halaman belakang, terbaca keterangan: “Lahir di Tjilatjap, 1932. Pegawai negeri. Menulis sadjak dan tjerpen. Karja jang masih naskah, roman Sebidang Tanah.” Pendek tapi masih memberikan jejak.

Satu puisi dimuat di majalah Indonesia berjudul Tikar Dilagu Bulan. Puisi yang cocok untuk para pembaca berlatar desa atau memiliki masa kecil di desa, sebelum bertarung hidup di kota. Puisi sejenis dokumentasi dan nostalgia.

Sudjarwo menulis: Senjum bulan dikebiruan/ menganjam tikar semalam muput/ angin kelesuan jang duludulu/ menguap ditjaplok bulan sekeping. Bait yang membuat kangen desa mulai mendapat pelunasan, Kangen yang diladeni dengan kata-kata. Bulan di desa berbeda dengan bulan di kota. Bayangan yang bikin trenyuh adalah tikar. Yakinlah itu bukan tikar plastik atau karpet. Di desa, tikar itu dibuat dari tanaman.

Kita membaca lagi: tikarpandan mendjelang rampung/ ditjaja bulan sekilas/ djari memetik pandan bersulam/ kasarkasar merata djua/ kalau ada sepantun lagi/ dan selembar sudah. Hidup di desa ditandai dengan duduk di tikar. Duduk barenga di tikar bukti kebersamaan dan kerukunan. Di bawah sinar bulan, orang-orang bercengkerama di atas tikar pandan. Mereka minum teh atau kopi. Ada kacang rebus, pisang goreng, atau singkong. Peristiwa yang sangat dikangeni saat hidup di kota makin amburadul.

Puisi yang ditemukan lagi, yang dibaca dengan syahdu. Sudjarwo tidak terlalu berkhayal untuk memberikan puisi. Bait-bait itu dialami oleh banyak orang. Puisi yang mengesankan, tidak jemu dibaca berulang-ulang.

Selanjutnya, Sudjarwo menulis: botjah janhg digendongan/ menjandang bedilbedilan/ sudah ngantuk dibawah sanggul/// kata hatinja/ besok kepasar/ beras sama garam/ pagipagi menggulung tikar/ lalu kuwih lapis awugawug klepon. Tikar yang mengembalikan ke desa ditambahi kelezatan jajanan pasar. Siapa ingin hidup di desa? Siapa cukup bergerak di pasar ketimbang duduk angkuh di restoran? Puisi mencatat biografi manusia desa berlatar masa revolusi.

Sudjarwo berlatar Jawa. Ia bukan berada di pusat kebudayaan Jawa tapi suasana yang dimunculkan dalam puisi bisa terasakan orang-orang yang berada di desa sekitar Solo. Yang lebih seru bila ada tembang atau lagu saat menikmati bulan. Kaum dewasa berbagi cerita. Anak-anak bersenandung dan bermain.

Pada 2025, kita membaca puisi yang dimuat pada 1958. Beda waktu, beda cara menikmati dan membayangkan suasana. Sudjarwo tidak berlebihan dalam gubahan puisi. Yang sederhana itu justru mengesankan. Puisi yang dikangeni.

Di bait akhir, kita ikhlas merayakan hidup yang tidak dikutuk kemewahan dan pemborosan. Sudjarwo menulis: bulan dikebiruan/ djari menganjam pandan/ sabar tawakal/ besok kepasar. Hidup yang bermakna dengan kerja tapi bukan memenuhi nafsu uang. Tikar itu bukti memuliakan hidup yang bersumber alam. Tikar bisa menjadi rezeki jika dibawa ke pasara. Rezeki yang menghidupi keluarga, yang memerlukan makan. Mereka makan nasi, tidak makan bulan. Mereka membuat tikar, tidak untuk bermanja dengan bercengkerama. Tikar pun diinginkan orang lain yang ingin kebersamaan dan kebahagiaan.

Kini, kita ingin membaca puisi-puisi yang lain gubahan Sudjarwo. Kita harus membuka majalah-majalah lama? Apa mungkin menemukan puisinya dalam bungarampai yang menghimpun puluhan atau ratusan pengarang? Sudjarwo, nama yang tidak boleh disepelekan dan dilupakan.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<