Salah satu film pahlawan super yang dibikin Marvel Production tahun 2016 adalah film Doctor Strange, yang menceritakan seorang ahli bedah mengalami kecelakaan dan mendapatkan perawatan nonmedis (mistik). Kemudian selama perawatannya tersebut Strange akhirnya mendapatkan kemampuan mengendalikan kekuatan mistik dan dipergunakan untuk melawan kejahatan.
Strange yang digambarkan sebagai seorang memiliki kualifikasi akademik tinggi karena telah menempuh jenjang pendidikan hingga strata 3. Kemampuannya menyerap pengetahuan yang cepat dan rasa keingintahuannya yang tinggi juga tidak diragukan sehingga Strange berhasil menguasai ilmu-ilmu dasar pengendalian kemampuan mistik dengan cepat.
Ada hal mengganjal Strange dalam proses menggali pengetahuan pengendalian mistik adalah larangan di dalam perpustakaan Kamar-Taj, tempat Strange menuntut ilmu, yaitu semua pelajar dilarang mengakses buku-buku yang membahas pengetahuan tentang Cogliostro. Wang, petugas jaga perpustakaan Kamar-Taj, menjelaskan tidak ada yang boleh mengakses pengetahuan tersebut kecuali The Ancient One, yakni guru utama dari Strange. Cogliostro adalah ilmu terlarang di Kamar-Taj sehingga tidak sembarang orang bisa mengaksesnya.
Menanggapi persoalan “ilmu terlarang”, sebagaimana di film Doctor Strange, masyarakat tradisional lebih memilih metode kepercayaan sebagai penengah apakah ilmu itu akan dipakai untuk kemaslahatan manusia atau malah menghancurkannya. Kepercayaan dalam masyarakat selalu dinamis karena akan selalu dianalisis, diuji, dan mendapatkan pembenaran.
Dalam struktur masyarakat tradisional, ilmu pengetahuan disebar melalui hubungan antarmanusia hanya disandarkan pada dua nilai penting, yaitu orang tersebut harus bisa diandalkan dan bertanggung jawab. Apabila seseorang dianggap tidak memiliki dua nilai itu, maka otoritas pada pengetahuan tidak akan “menurunkan” pengetahuan tersebut. Namun, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kepercayaan akan selalu dikonstruksi dan evaluasi dalam perjalanannya. Dengan begitu, kalau ada kesalahan penggunaan ilmu tersebut akan langsung dievaluasi secara dialektika keilmuan yang adil.
Fenomena yang berbeda, kita bisa temukan saat kekuasaan atau negara melakukan pembatasan penyebaran pengetahuan atau “ilmu terlarang”. Kekuasaan akan membatasi pengetahuan atau informasi yang dianggap mengganggu stabilitas kekuasaannya.
Razia Buku di Indonesia: Menebar Ketakutan dan Menyuburkan Kebodohan
Tahun 2018 baru saja dilalui kemarin, ditutup dengan sebuah aksi razia buku yang dianggap bernuansa kiri di Kediri, Jawa Tengah. Kasus terbaru pada tahun 2019, kemarin di Padang ada terjadi penyitaan buku yang berbau komunis.
Perilaku aparat tersebut benar-benar melukai hak asasi manusia, sebab hal tersebut adalah pelanggaran Pasal 19 DUHAM dan Konvenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan, serta pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”.
Aksi razia ini, selain pelanggaran DUHAM, juga sebuah aksi penghalangan terbentuk kultur demokrasi yang baik, maka banyak jawaban bisa kita peroleh dengan sangat mudah. Salah satu jawaban patut mendapat perhatian kita, dalam menelisik keadaan Indonesia sekarang adalah deskripsi Fauzan dalam buku Mengubur Peradaban, Politik Pelarangan Buku di Indonesia, menjelaskan bahwa persoalan ini bagian dari warisan orde baru yang masih bertahan hingga sekarang.
Warisan dari rezim yang bertindak represif tersebut adalah kekuatan rezim pelarangan yang menghujam ke dalam pikiran segala aktor di masyarakat. Keadaan inilah melahirkan pelarangan buku tidak lagi bergantung pada kekuatan institusi, sebab rezim pelarangan yang merasuk ke alam pikiran aktor masyarakat menjadikan pelarangan buku sangatlah cair. Bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa harus melalui wewenang Kejaksaan Agung.
Kekuatan rezim pelarangan ini membawa sebuah alasan, yakni ketakutan terganggunya stabilitas nasional. Padahal ketakutan akan kebangkitan kekuatan kiri belum bisa dibuktikan hingga sekarang. Ketakutan yang digunakan pihak militer di kasus Kediri, akhirnya berdampak pada narasi penganggu stabilitas nasional atau keamanan negara bisa diarahkan kepada siapa saja yang menurut penguasa bisa mengancam kekuasaannya. Bahkan sekarang, narasi kiri juga diembuskan untuk menegasikan lawan politik.
Di Indonesia, kiri atau komunisme lebih sering ditafsirkan sebagai anomali dari kebangsaan, negara, dan juga agama. Karena itu, komunisme tidak lagi dianggap sebagai sebuah diskursus keilmuan. Apa saja yang berkaitan dengan kiri sudah dianggap sebagai penyakit bagi bangsa, negara, dan juga agama yang harus dijauhi.
Kalau menilisik apa yang dijelaskan l Martha C. Nussbaum dalam bukunya The New Religious Intolerance Overcoming the Politics of Fear in an Anxious Age (2012), tentang tiga model ketakutan yang bekerja dalam masyarakat, khususnya pada kalangan mayoritas. Maka itu, keresahan akan komunisme digerakkan pada semua model ketakutan yang dijelaskan Nussbaum.
Pertama, narasi ketakutan komunisme biasanya mulai ditumbuhkan dari persoalan-persoalan yang dihadapi sehari-hari di masyarakat. Seperti penolakan terhadap perda syariah, perlawanan kelas bawah terhadap pemodal, atau lebih kacau lagi seperti kasus keberadaan tenaga kerja asing, khususnya asal Tiongkok.
Kedua, ketakutan akan komunisme juga dibangun dari persoalan besar mendasar dan yang disasar sebagai penanggung jawab adalah mereka yang memang dari awal tidak disukai sebagai penyebab persoalan tersebut. Seperti kasus peredaran buku tentang komunisme dianggap sebagai ancaman bagi negara, sebab yang belajar tentang komunisme akan merusak tatanan kehidupan berbangsa.
Ketiga, ketakutan dinarasikan dengan wujud dari musuh tidak jelas. Narasi ketakutan seperti ini, biasanya dibangun melalui cerita-cerita yang kadang tidak masuk akal. Misalnya, setiap ada bantahan terhadap bangunan narasi keagamaan akan diasumsikan sebagai bagian dari komunis.
Dampak buruk dari razia buku yang dianggap bermuatan komunisme adalah menebarkan ketakutan akan bahaya yang mengancam negara. Paling berbahaya dari penyebaran ketakutan adalah narasi ini bisa diarahkan kepada siapa saja yang ingin disingkirkan. Karenanya, melalui narasi inilah dibangun apa yang dilakukan oleh siapa pun dalam melawan ketakutan ini. Termasuk kekerasan dan penindasan adalah hal yang dibenarkan atau dianggap benar karena alasan mencari atau menjaga keamanan. Ketakutan ini biasa membuat kejahatan kemanusiaan, yang dilakukan siapa saja termasuk penguasa, bisa dianggap biasa bagian dari memberikan keamanan pada mayoritas.
Selain itu, razia buku juga mewariskan sesuatu lebih dari bahaya ketakutan, yaitu kedunguan. Sepanjang sejarah manusia, setiap penindasan akan selalu menyasar pada penghancuran pengetahuan. Kekuasaan otoriter akan menyaring pengetahuan yang dikonsumsi oleh masyarakatnya. Anti terhadap pengetahuan malah akan melahirkan generasi bodoh dan tertutup pada perbedaan.
Polaritas dalam masyarakat akan sangat mudah dimanfaatkan oleh oligarki politik untuk meraup suara pendukung. Sebab kurangnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat. Apakah Indonesia mau terjerumus pada jurang kebodohan karena penolakan terhadap pengetahuan? Sudah saatnya untuk kita belajar pada masyarakat tradisional bahwa pengetahuan disandarkan pada dua hal penting, yakni realibitas dan pertanggungjawaban. Dalam menyelesaikan persoalan buku dan ilmu “terlarang” ini dengan menjalani proses dialektika pengetahuan yang baik.***