KURUNGBUKA.com – Murid-murid di SD masa Orde Baru ingat mendapat pelajaran yang tidak akan terwariskan. Di atas meja, mereka menulis surat di kertas polos atau bergaris. Ada macam-macam surat yang ditulis. Mereka mengenali amplop dan perangko. Ada lagi yang dibuat murid-murid: menuli di selembar kartu pos. Dulu, kartu pus mudah diperoleh. Banyak orang yang menggunakannya. Satu lagi yang teringat: murid-murid menulis telegram. Lembaran yang ditulis secara khusus berdasarkan kaidah-kaidah yang dipedomani kantor pos.
Jadi, mereka yang bertumbuh pada masa Orde Baru mengingat surat, kartu pos, dan telegram. Mereka mendatangi kantor pos atau menuju bis surat di pinggir jalan. Cara mengirim kertas yang mengesankan. Dunia yang belum terlalu cepat dan mudah. Yang mengalami masa menulis kabar dalam kertas-kertas itu memiliki album cerita yang “bendawi”.
Kini, urusan berkabar tidak mengharuskan lagi menggunakan surat, kartu pos, dan telegram. Apa semua itu punah? Tanyakan saja kepada tukang pos atau para pegawai di kantor pos. Abad XXI tidak lagi percaya kepada kertas. Banyak yang berubah. Kertas bukan lagi pilihan terpenting yang menghubungkan orang-orang di pelbagai tempat.
Untungnya kenangan masih bisa terbuka jika kita membaca novel-novel. Yang terkenal adalah novel berjudul Telegram. Novel ditulis oleh Putu Wijaya. Kita mengaguminya dalam sastra dan teater. Padahal, ia pernah sibuk sebagai wartawan. Pokoknya, Putu Wijaya manusia yang tulisan. Maksudnya, ia keranjingan membuat tulisan.
Di majalah yang dinamakan Budaja Djaja edisi Februari 1974, kita dibujuk mengunyah iklan yang hanya kata-kata. Iklan tanpa gambar. Pemuatannya di sampul belakang. Keterangan yang mengawali: “Pemenang hadian pertama Sayembara Mengarang Roman Panitia Tahun Buku Internasional 1972 DKI Jakarta. Novel yang istimewa. Novel yang menang, yang mendapat pengakuan dan hadiah berupa uang.
Novel itu diterbitkan BP Pustaka Jaya, yang beralamat di Taman Ismail Marzuki, Jl Cikini Raya 73, Jakarta. Penerbit yang sejak awal memuliakan sastra tampak pilih-pilih naskah yang terbaik dan bermutu. Telegram, novel yang patut dipuji bukan hanya gara-gara pemenang. Novel itu tepat diterbitkan oleh Pustaka Jaya meski pada masa yang berbeda terbit oleh Basabasi.
Yang suka mengoleksi edisi lama pasti membawa kesan-kesan wujud terbitan Pustaka Jaya. Yang disampaikan pihak penerbit: “Sebuah judul istimewa untuk sebuah roman yang aneh dan baik. Mengisahkan seorang bujangan yang beranak pungut, berpacaran dengan Rosa, wanita yang aneh dan sekaligus pula suka bermesaraan dengan Nurma, wanita P.” Para pembaca masa 1970-an mengetahui P. Novel yang seru gara-gara telegram, yang dikirimkan dari Bali ke Jakarta.
Siapa yang menulis cerita aneh? Namanya sudah diakui kaum sastra. Pemicunya adalah Putu Wijaya kesregepen menulis cerita pendek, novel, dan drama. Jadi, kemunculan novel yang berjudul Telegram tidak terlalu mengagetkan bagi yang sudah pernah membaca cerita-ceritanya.
Penerbit berharap novel itu laku dalam jumlah ribuan eksemplar. Keinginan yang muluk-muluk tapi biasanya sulit terwujud. Pengecualian bila novel itu masuk daftar pembelian pemerintah atas nama Inpres, yang menyebarkan ribuan eksemplar ke perpustakaan-perpustakaan di seantero Indonesia.
“Telegram, buku yang penting dan menarik hati,” penjelasan dari penerbit. Percaya saja novel itu memang menakjubkan pada masanya. Kita bakal memiliki penilaian yang berbeda saat novel itu bersaing dengan novel-novel mutakhir. Penerbitan lagi oleh Basabasi pada abad XXI memungkinkan tambahan pembaca-pembaca baru, yang terduga kaget dan bingung.
Yang keren adalah keberanian membuat film berdasarkan novel berjudul Telegram. Pemeran dalam film adalah Sujiwo Tejo. Para penonton mendapatkan sajian yang (makin) aneh. Pembaca novel sekaligus novel boleh membandingkan kadar keanehan. Yang jelas Putu Wijaya memang khas dengan aneh-aneh.
Maka, iklan yang terlihat lagi itu membawa kita ke masa sastra Indonesia berani aneh-aneh. Lumrah saja Putu Wijaya dianggap pendobrak dalam perkembangan sastra di Indonesia. Peran lain adalah dokumentator. Pada suatu hari, Putu Wijaya semestinya mendapat penghargaan dari kantor pos. Ia yang ikut mengabadikan telegram saat murid-murid di SD masa sekarang tidak punya pengalaman dengan kartu pos dan telegram.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<