“Saya jarang memiliki alasan untuk memasuki kamar ayah… Saya kembali terkesima oleh kecil dan kakunya kamar itu. Saya ingat kesan waktu itu, rasanya seperti memasuki sel penjara, tetapi itu mungkin akibat cahaya pagi yang pucat, bukan akibat ukuran kamar dan kekosongan dindingnya. Ayah sudah membuka tirai dan sedang duduk di tepi tempat tidur, sudah bercukur dan berseragam lengkap, rupanya sedang mengamati langit karena tidak banyak hal lain yang terlihat dari jendela kecilnya, selain genting dan talang air. Lampu minyak di samping tempat tidur sudah dipadamkan…”

(Kazuo Ishiguro, The Remains of the Day, Hikmah, 2007)

KURUNGBUKA.com – Pembaca mengunjungi kamar. Yang terbaca adalah kamar yang berada di Inggris. Kamar yang memberi panggilan masa lalu. Kita yang berada di tempat yang berbeda, membaca kamar untuk mengetahui manusia dan suasana. Ada beberapa hal yang membuat kunjungan kita ke kamar menimbulkan kesan dan makna, yang tidak sekadar kamar di Inggris.

Kazui Ishiguro adalah pengarang tenar, yang meraih Booker Prize dan Nobel Sastra. Ia memberikan cerita-cerita, yang membuat pembaca terpukau. Namun, yang terbaca dalam The Remains of the Day seperti mengajak kita dalam percakapan “arsitektur”. Artinya, ia paham arsitektur tapi tidak bermaksud memberikan pelajaran tentang bangunan kepada pembaca. Yang diceritakan sudah cukup merangsang renungan yang dapat bereferensi arsitektur.

Kamar yang kecil. Kamar itu seperti sel penjara. Tokoh yang tidak mampu mencari ungkapan atau padanan lain. Kita yang membaca menganggap itu gegabah dalam membahasakan kamar. Pengalaman di kamar lekas menyatakan ukuran. Orang yang pernah belajar matematika mengetahui luas kamar berdasarkan perkalian panjang dan lebar. Kamar itu kecil tanpa berangka. Kita berimajinasi kecil untuk penghuninya: lelaki yang tua.

Bagaimana kita membayangkan kamar yang kaku? Diduga saja itu masalah perasaan ketimbang pengalaman ragawi. Tubuh yang berada di kamar lekas merasakan kamar yang tidak memungkinkan gerak secara bebas atau longgar. Kaku justru perasaan yang masih sulit “membenarkan” dengan peka atas lakon kehidupan yang terjadi di kamar.

Anak yang mengunjungi kamar. Ia ingin bertemu ayah, membuat percakapan. Peristiwa yang terbaca cukup puitis. Namun, yang terjadi di kamar itu “misteri”. Apa yang dialami anak dan ayah? Mereka membuat percakapan dengan kata-kata yang bergantian: mudah dan sulit. Kata-kata di kamar berbeda dengan tampilan dinding yang kosong. Kita tidak bisa menganggap dinding tanpa cerita.

Yang berada di kamar melihat melalui jendela. Yang terlihat adalah langit. Ayah melihat langit saat pagi sudah menyapa. Pagi yang memberi cahaya, yang tidak banyak masuk dalam kamar. Kita berusaha melihat kamar saat pagi yang direstui cahaya. Kamar kecil di bawah langit yang membentang. Pagi yang mungkin menetapkan yang rutin, sejenis harapan, atau serpihan kenangan dalam diri ayah. Kamar itu memang kecil tapi kehidupan yang dimiliki penghuninya melampaui panjang kali lebar. Ada yang menetap dan tersimpan dalam kamar, yang terpahami atau selalu saja misteri.

Di kamar, lampu sudah dipadamkan. Pergantian sumber penerangan terjadi dengan mengubah pengalaman tubuh. Apa-apa yang dirasakan dapat diketahui melalui pencahayaan di kamar. Remang atau terang ikut menentukan makna kehadiran dan hal-hal yang masih dipercaya ada. Pembaca yang mengunjuni kamar itu ingin mengetahui manusia, bukan sekadar tempat tidur, kursi, lampu, atau jendela. Yang berkunjung tidak dijamin mengerti banyak tentang manusia. Kunjungan dalam kamar, kunjungan dalam biografi yang tidak lengkap.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<