KURUNGBUKA.com – (02/05/2024) Dulu, kita mengetahui yang bekerja dengan arsi-arsip adalah para sejarawan. Arsip sejarah memberi bobot pengetahuan yang serius. Sejarawan menggunaknnya untuk mengungkap beragam hal, yang kadang membingungkan dan menimbulkan pertengkaran ilmiah.
Arsip pun mengingatkan birokrasi. Kantor-kantor pemerintah masa lalu sesak dengan kertas-kertas, yang disebut sebagai arsip dalam urusan masyarakat. Pada situasi yang berbeda, arsip-arsip menguat dalam kesusastraan. Sosok yang akrab dengan arsip bernama HB Jassin. Selanjutnya, arsip itu penentuan dalam bersastra dikuatkan oleh Afrizal Malna.
Kita memasuki masalah arsip dan kepengarangan. Yang disampaikan Afrizal Malna: “Arsip tak punya usia. Selalu kelihatan baru atau memperbarui masakini kita. Arsip adalah kunang-kunang untuk kegelapan ingatan. Cahayanya membuka jendela antara ingatan dan lupa.” Ia mementingkan arsip, yang menentukan gairahnya dalam menggubah sastra.
Arsip yang tidak sepenuhnya “menguntungkan”. Ia menjelaskan: “Jalan di mana ingatan-ingatan personal beririsan dalam bayangan yang disinari memori kolektif. Arsip sebagai nakhoda dalam kegelapan biografis, mencari daratan-daratan yang bisa disinggahi.”
Kita boleh percaya dengan kalimat-kalimatnya. Namun, Afrizal Malna sedang memihak dirinya saat menjelaskan keistimewaan gubahan sastranya. Yang membekali pembaca agar tidak tersesat atau sulit keluar saat berani memasuki puisi-puisinya. Ia terlalu sibuk menjelaskan arsip dan diri. Pembaca seperti berasal dari “tanah kealpaan” atau “kamar kebodohan”.
Sastra yang darah-dagingnya dari arsip. Kita mengiranya adalah kehidupan tapi ada kemungkinan ajakan-ajakan kematian dan kehilangan yang tiba-tiba. Kini, arsip yang dipentingkannya terbukti “benar” saat kita hidup dalam zaman bergawai.
(Afrizal Malna, 2021, Kandang Ayam: Korpus Dapur Teks, Diva)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<