Di pangkal leher sebelah kiri Mul tumbuh setitik daging sebesar biji kacang hijau. Mul mulai menyadarinya sejak satu minggu setelah benjolan itu mencuat ke permukaan kulitnya. Akan tetapi, bagi Mul benjolan kecil itu tidak lebih dari sebuah kutil yang akan hilang dengan baluran getah pepaya, paling tidak itu yang ia percayai sebagai obat mujarab turun-temurun dari kakek-neneknya sejak dahulu.
Daging yang menghuni pangkal leher sebelah kiri Mul tidak mengganggu, dan hampir-hampir Mul tidak menganggap keberadaannya. Jikalau pun ia bercermin dan melihatnya bertengger di sana, Mul tidak ambil pusing, toh sebongkah daging kecil itu tidak mendatangkan sakit, gatal atau nyeri apalagi mempengaruhi penampilannya.
Hari-hari berlalu dan Mul telah akrab dengan bungkil daging yang tanpa terasa telah tumbuh sebesar biji kacang tanah. Keberadaan daging itu mulai terasa sedikit mengusik kenyamanan, terutama saat Mul mengenakan pakaian. Benjolan yang lunak dan bisa digerakkan ke kiri dan ke kanan itu sering tersangkut di kerah baju.
Mul akhirnya mendatangi seorang dokter di kotanya.
“Apakah ini berbahaya? “
“Tidak terlihat seperti sesuatu yang ganas, tapi memang cukup mengganggu. Jika Anda ingin, benjolan itu bisa diangkat. “
“Caranya? “
“Operasi.”
Mendengar kata “operasi” Mul bergidik. Ia membayangkan berada di sebuah meja panjang, disoroti lampu, dan dokter yang memegang pisau sedang menatap benjolan di pangkal leher kirinya tajam-tajam. Seperti dahulu dukun kampung menatap kemaluannya saat ia akan dikhitan.
“Tidak!” Mul tersentak.
“Kenapa?”
Mul terdiam. Dia mencari-cari sebuah alasan, tepatnya meraba-raba perasaannya, kenapa ia tak mau.
“Tidak akan sakit, karena Anda akan dibius. Lagi pula, itu hanya benjolan kecil dan tidak akan lama untuk memotongnya?” Dokter mencoba menebak pikiran Mul.
“Memotong?”
Rupanya dokter telah salah memilih kata. “Memotong” adalah kata yang tidak disukai Mul sejak kecil, sebab dahulu sebuah pisau sudah membunuh masa depannya sebagai laki-laki. Dukun tua yang mengkhitan Mul saat berusia tujuh tahun, membuat sebuah kesalahan yang fatal. Dukun tua itu menolak disalahkan, justru menuduh Mul telah mengacaukan konsentrasinya karena Mul terus-menerus menangis, sehingga ia salah memotong.
Melihat wajah dokter, Mul takut kejadian seperti itu terulang. Bagaimana bila dokter itu salah memotong juga? Bagaimana jika yang terpotong adalah lehernya?
“Anda bilang kalau benjolan ini tidak berbahaya, bukan? Jadi biarkan saja,” kata Mul kemudian.
“Begini, saya tidak bisa memastikan. Sesuatu yang tampak jinak bisa saja menjadi ganas dengan tiba-tiba. Jadi, jika Anda melihat gelagat benjolan itu menjadi-jadi, segeralah ke sini.”
“Saya memilih membiarkannya saja,” Mul menjawab yakin. Sebetulnya dia hanya ingin mempercayai apa yang ingin ia percayai. Ia ingin menyepak segala yang bertolak belakang dengan apa yang ia sukai. Termasuk kemungkinan benjolan itu akan menjadi ganas.
“Baiklah. Anda berhak untuk menolak tindakan pengobatan atas diri Anda. Saya hanya memberikan penjelasan.” Dokter menyelesaikan ucapannya sembari mengangguk-angguk.
Mul pulang dan membawa kembali benjolannya dengan perasaan tenteram, paling tidak hari itu ia telah lolos dari pisau bedah dan tidak perlu menghadapi rasa takut yang sesaat tadi menggelembung di dadanya. Kemudian memperkecil kemungkinan buruk yang dokter perkirakan. Kecil, mengecil lantas lenyap dari benaknya.
Dua bulan kemudian, benjolan itu tumbuh, membesar, menempel di batang leher Mul layaknya buah yang menempel pada batang pohon. Ukurannya sudah sebesar bola kasti. Tetapi Mul masih memegang teguh kata-kata dokter tempo hari, “Dia tidak berbahaya walaupun akan mengganggu penampilan.”
Mul kemudian mulai mencari jalan keluar sendiri dengan mencari pengobatan alternatif. Setiap hari Mul membarut-barut benjolan itu dengan minyak kelapa. Ia mengusap layaknya mengusap kepala anak kecil. Anehnya, Mul mulai memiliki perasaan khusus kepada benjolan itu.
Benjolan itu tidak lagi sebagai seonggok daging bulat yang sedang menumpang di pangkal leher Mul, tetapi ia sudah seperti seekor peliharaan (mungkin seekor kucing lucu) atau bahkan saudara untuk berbagi kasih sayang, perasaan, gagasan, dan kecemasan serta harapan bagi Mul. Mul mempercayai benjolan itu bahwa ia—benjolan itu—akan tumbuh sebagai mana kucing yang manis dan jinak lagi manja. Dengan anggapan seperti itu, mendadak segala kesepian yang telah meliputi Mul si Tukang Gali Kubur–sebagai bujang setengah tua—selama bertahun-tahun, pecah oleh kehadiran benjolan itu.
Hari merambat, bulan memanjat dan tahun bertambah. Benjolan itu kian waktu kian membesar, ukurannya sudah sebesar batok kelapa. Nyaris sebesar kepala Mul sendiri. Saat itu Mul mulai merasa kewalahan. Lehernya telah tergencet ke kanan karena benjolan itu mendesak. Mul mulai kesulitan tidur, karena ia tidak punya pilihan selain terlentang. Saat berjalan Mul seperti sedang memikul sebongkah kayu di bahunya, membungkuk. Mul berjalan sempoyongan seperti orang mabuk, padahal ia tidak sedang mabuk.
Benjolan itu kian menuntut ruang, ukurannya telah melampaui besar kepala Mul. Benjolan itu mulai memberikan nyeri yang menjalani seluruh tubuh Mul. Saat itulah Mul menyerah, ia pergi ke dokter dan menyerahkan dirinya dengan pasrah.
“Potonglah benjolan ini, Dokter. Saya tak takut lagi. Dia tampaknya tak tahu diri. Dia ingin menguasai diri saya. Lihat, bahkan saya tidak bisa mengusai tubuh saya lagi. Dia telah merajalela.”
Dokter menggeleng tiga kali sembari berdecak yang bukan karena kagum atas keputusan Mul, tetapi menyayangkan keputusan yang sudah terlambat itu.
“Seharusnya sejak dulu Anda membiarkan saya memotongnya.”
Mul marah. Ia menyalahkan dokter. “Ini karena Anda bilang bahwa benjolan ini tidak akan berbahaya!”
“Bukan itu alasannya.” Dokter menimpali Mul.
“Apa Maksud Anda!”
“Anda menyalahkan saya hanya sebagai alasan karena saat itu Anda memiliki sebuah ketakutan.”
“Tetapi Anda tetap salah, sebab Anda telah memberi saya sebuah harapan bahwa benjolan ini tidak akan menyusahkan!” cecar Mul.
“Mengenai itu, saya minta maaf. Sebuah perhitungan bisa saja keliru. Tetapi, saya telah memberikan Anda sebuah pertimbangan tentang kemungkinan bahwa benjolan itu mungkin akan menyusahkan dan menawarkan kepada Anda untuk menyingkirkan benjolan itu segera. Tetapi Anda menolak.”
Mul terkesiap. Ia berpikir-pikir sejenak. Ia ingin menyangkali ucapan dokter itu, tetapi hatinya berkata, bahwa dokter itu ada benarnya. Kemudian dalam hati Mul mencuat rasa malu.
“Kalau begitu, potong saja sekarang!” ujar Mul.
“Anda yakin?”
“Apa boleh buat.”
Benjolan itu kemudian diangkat dari pangkal leher Mul. Leher Mul kembali tegak, bahunya kembali ringan, ia tidak lagi membungkuk, dan jalannya kembali lurus dan mantap.
Namun, siapa sangka bahwa suatu malam benjolan itu kembali. Ia tumbuh dengan cepat, bahkan lebih besar dari sebelumnya. Mul kembali ke dokter, dan dokter mengangkat benjolan itu lagi. Hal itu terus berulang, membuat Mul lelah dan membuat dokter bosan.
“Tampaknya benjolan itu sudah terlanjur menyatu dengan Anda, ia menanamkan akarnya dalam tubuh Anda, ia bagaikan tunas yang akan terus tumbuh.”
Mul putus asa. Ia kemudian membiarkan benjolan baru muncul kian besar, tanpa meminta bantuan dokter lagi. Benjolan itu kemudian mengembangkan dirinya. Mula-mula ia menumbuhkan sepasang mata, lalu sepasang alis, lalu sebuah hidung, lalu mulut dan gigi, lalu sepasang kuping, terakhir ia menumbuhkan rambut. Benjolan itu kini bisa berbicara kepada Mul. Mul telah memiliki dua kepala dengan rupa yang berbeda.
Perlahan-lahan Mul mulai kehilangan kendalinya. Seolah-olah benjolan itu telah membajak saraf pusatnya. Ia tidak lagi bisa mengambil keputusan, tidak bisa mengucapkan apa yang ingin ia ucapkan, tidak bisa melakukan apa yang ingin ia lakukan. Benjolan itu—yang telah menjelma menjadi kepala—semakin cerewet dan membangkang, lantas merajai Mul.
Dari waktu ke waktu, lambat laun di kepala Mul mulai timbul bercak-bercak cokelat kehitam-hitaman, semakin hari bercak-bercak itu semakin meluas hingga meliputi seluruh kepala dan wajahnya, lantas menjadi kisut. Kepala Mul seperti buah kakao yang diserang cendawan Phytophthora palmivora: kempes, membusuk, diselubungi tepung berwarna putih, kemudian rontok dari tangkainya.
Ya, kepala Mul pada akhirnya rontok dari lehernya. Tinggallah benjolan itu tumbuh menjadi kepala yang tunggal, semakin gagah, perkasa, dan bangga. Dan orang-orang tetap mengenalinya sebagai Mul si Tukang Gali Kubur.
Makassar, Desember 2024.
*) Image by istockphoto.com







