KURUNGBUKA.com – Entah seperti apa gejolak batin Septia Dwi Pertiwi yang dikriminalisasi oleh bosnya sendiri, Jhon LBF, atas dasar penghinaan dan pencemaran nama baik UU ITE. Berawal dari cuitannya di Twitter, Septia menceritakan fakta ketidakadilan yang terjadi selama ia bekerja di perusahaan milik Jhon LBF.

Ketidakadilan saat Septia menjadi karyawan diantaranya: upah tidak sesuai dengan kontrak, pemotongan gaji secara sepihak, ancaman pemecatan, karena tak kuat mendapat tekanan, akhirnya Septia berujung mengundurkan diri.

Jhon LBF merespon Septia melalui Somasi yang dilayangkan untuk klarifikasi atas tuduhan melakukan pencemaran nama baik pada 23 Januari 2023. Kasus ini menjadi panas, Jhon melaporkan Septia ke Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/472/II/2023/SPKT/POLDA METRO JAYA tertanggal 27 Januari 2023 pelapor Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF.

Lebih gilanya lagi, saat proses mediasi di Bareskrim Polri, Septia Dwi dipanggil oleh pengacara Jhon LBF dan diperintahkan untuk memberikan klarifikasi, permintaan maaf, dan harus memberikan ganti rugi sebesar 300 juta kepada Jhon LBF sebagai pihak yang dirugikan atas pencemaran nama baik tersebut.

Kasus dugaan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik dan/atau fitnah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) dan/atau Pasal 36 jo. Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP yang terjadi pada tanggal 21 Januari 2023 hingga Septia ditetapkan menjadi tersangka pada 5 Januari 2024.

Sontak saat melihat perseteruan mereka, saya pribadi langsung unfollow semua sosmed Jhon LBF, saya terkecoh dengan “Penampilannya seperti preman dan punya hati hello kitty” ternyata itu omong kosong. Instagram dari serikat buruh Konfederasi Kasbi malah lebih kejam lagi, mengedit wajah Jhon LBF memakai tanduk merah dengan tulisan “Boss Jahanam!”.

Ujian menjadi public figure ternyata banyak godaanya. Banyak pencitraanya. Seperti manis di kamera, jahat di dunia nyata. Berlagu peduli pada orang miskin, aslinya memiskinkan pekerjanya. Menjadi seorang influencer dan pemimpin berarti harus siap dihina, dicacimaki, dikritik bahkan digoblok-tololkan sekalipun.

Sudah sepatutnya buruh perempuan yang membela diri dilindungi oleh hukum, sebagaimana Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan setiap orang bebas mengeluarkan pendapat di muka umum baik melalui lisan dan/atau tulisan tanpa mendapat gangguan dan tidak memandang batas-batas tertentu.

Jaminan untuk menyatakan pendapat secara internasional juga dikuatkan kembali oleh Pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik sebagaimana diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui UU No 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR).

Perlindungan dan Hak Hukum untuk menyampaikan pendapat dalam konstitusi Negara Republik Indonesia juga sudah temaktub dalam Pasal 28, Pasal 28 F, Pasal 28 E ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 23 ayat (2) jo. Pasal 23 ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dari semua regulasi yang ada melindungi seseorang untuk menyatakan pendapatnya di muka umum baik lisan dan/atau tulisan.

Dewi Keadilan Berpihak pada Septia Dwi Pertiwi
Serikat buruh Perempuan memprotes “Kriminalisasi Septia Dwi Pertiwi” ke Kementerian Ketenagakerjaan, Dewi Keadilan justru berpihak pada Septia.

“Kalau hak-haknya sebagai buruh dilanggar, saya akan bantu sejuta persen,” kata Immanuel Ebenezer Wamenaker.

Pertarungan di meja hijau pun sengit, Septia dengan bantuan kekuatan No Viral No Justice, banyak flayer bertebaran di media sosial yang mengungkap informasi faktual tentang ketidakadilan yang dialaminya, semakin memojokkan Jhon LBF.

Fakta unik terlihat saat Jhon LBF menghadiri sidang pemeriksaan saksi pada Rabu, 9 Oktober 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia dikawal oleh Ormas Loreng Oren Pemuda Pancasila. Berbeda dengan Septia Dwi, ia dibantu dan dikawal secara sukarela oleh Serikat Pekerja, Aktivis, dan Buruh.

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pun membantu Septia Dwi Pertiwi secara Pro Bono dengan mengirimkan Pendapat Tertulis sebagai Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) dalam Perkara Pidana Nomor: 589/Pid.Sus/2024/PN Jkt.Pst berjudul “Buruh Perempuan yang Membela Diri Tidak Boleh Dikriminalisasi” berisikan pembelaan terhadap hak-hak Perempuan sebagai buruh yang dikriminalisasi. Pembelaan tersebut membantu Majelis Hakim untuk mempertimbangkan putusan yang seadil-adilnya untuk Septia agar bebas dari segala Tuntutan.

Dalam agenda Sidang Nota Pembelaan (Pleidoi) pada Rabu, 18 Desember 2024, Septia menyampaikan kepada majelis hakim bahwa apa yang dilakukannya bukan untuk kepentingan pribadi. Ditambahkan pula bahwa dirinya sama sekali tidak ada niatan untuk mencuri, mencari keuntungan materiil maupun immaterial dari cuitan yang dibuatnya.

Betapa sedihnya Septia, setelah seminggu ditinggal sang ayah meninggal dunia, Septia kemudian ditetapkan sebagai tersangka. “Seperti pepatah ‘kalau sudah jatuh, ya tertimpa tangga’,” tutur Septia sambil menitikkan air mata.

Nasib baik dari Tuhan pun berpihak pada Septia, pada Rabu, 22 Januari 2025, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang terhormat telah memberikan vonis yang mulia “Bebas dari Segala Tuntutan untuk Septia Dwi Pertiwi”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Aksi massa yang mengawal Dwi tersebut melibatkan puluhan orang, media massa pun menyorot perjuangan Septia yang tidak takut dengan kriminalisasi.

Setelah vonis yang memberikan angin segar, apakah selanjutnya Jhon LBF akan mengajukan kasasi? Upaya hukum selanjutnya yang akan ditempuh oleh Tim Kuasa Hukum Septia Gina Sabrina saat ini tengah mereka bahas seperti rencana pelaporan balik terhadap Jhon LBF dan gugatan Peradilan Hubungan Industrial, “Sebagai kuasa hukum Septia, yang terpenting bagi Septia adalah pemulihan baik fisik maupun psikis.” Ujar Gina.

Hak Imunitas Buruh dalam Kritik Perusahaan
Bahwa Pasal 310 ayat (3) KUHP yang didakwakan kepada Septia, bukan merupakan tindak pidana penghinaan/pencemaran nama baik dan/atau fitnah apabila dilakukan untuk kepentingan umum karena adanya rasa terpaksa untuk membela diri.

Begitu pula dalam ketentuan Pasal 45 ayat (7) UU ITE yang pada pokoknya menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana apabila perbuatannya dilakukan untuk kepentingan umum, atau dilakukan karena terpaksa untuk membela diri.

Penjelasan tersebut di atas menjadi dasar perlindungan bagi Pekerja Perempuan yang Dikriminalisasi karena kritikannya terpaksa untuk membela diri:
“Yang dimaksud dengan dilakukan untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau kritik.”

Secara kodrat dan naluri manusia, kita semua tentu menginginkan hal-hal baik, kabar yang baik, gaji yang baik, tempat kerja yang baik, atasan yang baik, rekan kerja yang baik, bukan sebaliknya. Lalu berdasarkan cuitan di Twitter, tidak lain ditujukan untuk kepentingan masyarakat demi hal-hal baik, jangan sampai perusahaan lain mengalami nasib yang sama buruknya dengan tempat kerja Septia.

Terakhir untuk Pak Jhon, bayangkan jika Septia anakmu, apakah kamu rela melihat anakmu dikriminalisasi oleh atasannya, ia dilaporkan atas dasar pencemaran nama baik, pemotongan gaji, ancaman pemecatan dan hal-hal lainnya yang tidak manusiawi?