KURUNGBUKA.com – Sejak penayangannya di Gala Premiere dan mendengar semua komentar tamu undangan tentang betapa “Goblok!”-nya film GJLS: Ibuku Ibu-Ibu ini, saya sudah tak sabar ingin segera lompat ke tanggal 12 Juni 2025. Boleh dibilang, di awal karier mereka saya mengikuti banyak sekali karya-karya stand up comedy, film, podcast, musik dan lagu-lagu dari Rigen, Hifdzi, minus Rispo karena “Komedi muntah-muntah terlalu absurd, Mz!”, Namun, setelah saya menonton film-film pendeknya di Youtube GJLS terutama Kuyup (2020), saya semakin yakin masa depan perfilman Indonesia baik-baik saja dan akan sangat cerah─baiknya teman-teman tonton itu dulu sebelum film panjangnya sebagai bekal memakan komedi mereka.

Benar saja, ketika hari ini (12/06/2025) tiba, saya langsung berangkat ke bioskop untuk membuktikan seberapa goblok trio Dar-Der-Dor ini─sengaja saya membawa ekspektasi setinggi mungkin karena komedi mereka tidak pernah gagal sejauh ini. Saran saya, jangan datang dalam keadaan perut lapar dan menahan kencing dan berak. Selesaikan perkara domestik itu sebelum pemutaran film karena rahang kamu akan dibuat pegal, perut keroncongan dan tertawa sambil nangis nggak berhenti-berhenti setiap milidetiknya. Sebagai film pertama trio GJLS, mereka berhasil mendaratkan bendera di ((khazanah)) industri perfilman Indonesia dengan sangat ((MANTAP!))─sebutkan film Indonesia paling absurd yang pernah kamu tonton lalu bandingkan dengan film ini, pasti tidak sampai seujung kukunya Rispo (Gue kasih beban lu Hip, Po, Gen!)

Disutradarai oleh tangan dingin Monty Tiwa, film yang setiap karakternya terkesan asbun ini sesungguhnya membawa premis yang jelas. Ditulis oleh Rza Kumar, Mohammed Syazsa, Erik Tiwa, dan Monty Tiwa, film GJLS: Ibuku Ibu-Ibu ini mengisahkan tentang tiga orang kakak beradik, Hifdzi Khoir sebagai Hifdzi, Rigen Rakelna sebagai Rigen, Ananta Rispo sebagai Rispo (baca: orang gila) yang ditinggal wafat ibunya. Namun di masa-masa berkabung, Bapaknya, Pak Tyo (Bucek Depp) memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang gadis muda bernama Feni (Nadya Arina) yang bahkan usianya jauh lebih muda dibanding ketiga anaknya. Dari sanalah trio Dar-Der-Dor mulai menyusun rencana dan siasat untuk menggagalkannya. Hifdzi seorang MC dangdut hajatan, Rigen dukun abal-abal, dan Rispo si penjudi goblok akan menyuguhkan alur komedi yang sulit diterka.

Premisnya tampak sangat sederhana, bukan? Tapi, jangan mudah percaya! Di opening film saja kamu akan berprasangka kalau kamu salah studio karena dimulai dengan sejarah terbentuknya Indonesia─ngetik bagian ini aja bikin ngakak lagi. Kaidah-kaidah perfilman yang kamu tahu sebaiknya simpan dulu di laci kamarmu, atau paling mudah simpan otakmu di rumah sebelum berangkat ke bioskop. Karena, bersiaplah akan mendapatkan ledakan punchline, plot twist, dan “me-ma-ki momen” untuk banyak adegan yang tidak tertebak─ingat pesan saya di awal, jangan kencing. Jangan sekali-kali terpikir untuk meninggalkan studio saat film tayang kalau kamu nggak mau jadi bagian dari saksi sejarah film dengan komedi segar dan genre terbaru ini. Suguhan film yang sangat eksperimental, bahkan kita langsung tahu pengumuman aktor terbaik tahun ini di dalam filmnya. (Jujurly, udah nggak kuat nulisnya, ini)~ wkwkwk….

Genre filmnya sendiri sangat beragam. Ada drama, action (figure), horor, komedi, thriller, eksperimental bahkan yang pasti tidak disangka-sangka adalah drama musikal. Semuanya diborong sama film ini dan saya curiga juri FFI pasti pusing mencari lawan yang sepadan untuk film ini. Tampaknya film ini ingin menunjukkan bahwa perfilman Indonesia sudah masuk ke era post-truth, di mana semua kebenaran dijungkir-balikkan oleh para komika ((cerdas)) ini. Secara plot sebetulnya masih sangat menjaga logika cerita di dunia yang mereka bangun, ditambah hadirnya aktor-aktor kawakan seperti Luna Maya sebagai Sumi dan beberapa cameo yang menambah kelucuan. Semua karakter memiliki motivasi dan tujuan yang jelas untuk dicapai. Dan, surprisingly, assemble antar aktor dalam memainkan karakternya benar-benar sangat luar biasa, Ini penilaian jujur saya. Sebab, awalnya saya kira ini hanya akan jadi film haha-hihi doang, ternyata nggak, lebih ke haha-huhu (susah banget serius nulisnya, emang kudu nonton sendiri kalian!)

Boleh saya bilang, secara cerita ini next level di atas film-film legendaris dari Warkop DKI. Ada garis tipis soal dialog-dialog cabul tetapi menurut saya masih ada di batas yang sesuai porsinya, dan mungkin karena beda zaman juga dengan masa berjayanya Warkop DKI. Karakter perempuan hadir bukan hanya sebagai manekin atau objek birahi belaka, tetapi menawarkan nilai dan kesadaran untuk memandang perempuan secara setara. Ini terlihat dari betapa bagusnya akting Nadya sebagai Feni, seorang gadis penjual rokok di klub. Saya rasa ini juga bagian dari ideologi yang muncul dari Monty sebagai orang yang duduk di kursi sutradara.

Bagi saya pribadi, ini film yang penuh rasa. Menawarkan banyak sekali pengalaman menyenangkan dan tak terlupakan serta mengajak untuk berani berkarya tanpa takut dibilang jelek. Sungguh pengalaman sinematik yang segar dengan komedi absurd yang bagi saya masih bisa diterima khalayak umum. Begitu tulus dalam menghibur, terlihat dari caranya melahap semua celetukan komedi. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat dalam film ini.

Saya sangat yakin debut GJLS untuk film panjangnya ini akan menjadi film yang masuk di dalam daftar-film-yang-pantas-ditonton-berulang-ulang, seperti Warkop DKI. Meski komedinya tertebak sekalipun, kita masih akan bisa menontonnya lagi dan lagi. Fabulous. Proficiat. Tahniah. Bangga dan kagum gue Hip, Po, Gen!

Yakin tercapai target 54 juta penonton, nih. Ya…. dalam 10 harilah paling lama!
Patut dirayakan karena ada 3 Jumbo ini. Bayangin aja~

Skor: 10000000000/ORANG GILAAA!

*) Image by IMDb.com