KURUNGBUKA.com – Sembari memandang Palm Islands, pulau buatan ikonik di lepas pantai Dubai, Uni Emirat Arab dari lantai 122, Eka Mochamad mengenang kembali perjalanan karirnya. Pria kelahiran Bandung, 29 Januari 1987 ini tak pernah menyangka kepiawaiannya dalam mengolah bahan masakan, mampu membawanya terbang jauh ke Kota Emas yang kini menjabat sebagai Executive Chef di salah satu restoran tertinggi di dunia, At.Mosphere Restaurant, Burj Khalifa, Dubai.

Lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung tahun 2008 ini tak pernah membayangkan kalau pencapaian karirnya akan sampai di titik ini. Ia bahkan menyabet predikat sebagai orang Asia pertama yang menjadi Head Chef di restoran dan bar mewah tersebut.

Untuk mencapai semua hal itu pasti tidaklah mudah. Seperti apa kira-kira perjuangan dan cerita kehidupannya? Daripada penasaran, yuk simak wawancara eksklusif Tim Kurungbuka.com bersama sosok baik hati dan ramah ini!

***

  • Hai, Bang Eka. Terima kasih sudah bersedia kami wawancarai. Mari kita mulai obrolan ini dengan pertanyaan apa alasan abang sampai memilih profesi juru masak atau chef? Apakah punya cita-cita lainnya juga?

Ya, saya terbuka pada siapa pun dan senang berbagi pengalaman ini. Soal cita-cita ya, sebenarnya menjadi juru masak itu bukan pilihan saya sendiri. Itu arahan ibu yang meminta saya masuk ke STP Bandung jurusan Perhotelan. Ibu melihat banyak peluang di sana. Karena saya tidak punya pilihan lain, jadi saya turuti saja keinginannya.

  • Di keluarga sendiri, apakah ada yang berprofesi sebagai chef profesional?

Saya orang pertama di keluarga yang berprofesi sebagai chef. Ibu senang masak aja. Barulah setelah ucapan ibu saya terbukti soal banyak peluang di bidang ini, akhirnya adik saya juga jadi chef dan sekarang kami tinggal dan kerja di Dubai.

  • Abang sebelum bekerja di At.Mosphere Burj Khalifa, pernah bekerja di mana saja dan bagian apa?

Macam-macam, ya, dan berpindah-pindah juga. Sejak 2008 sampai sekarang lumayan banyak ya, dulu pertama kali ke Dubai, saya pernah bekerja di Atlantis The Palm Jumeirah di bagian Chef De Partie, lalu di Shangri_La Qaryat Alberi sebagai Jr Sous Chef, di Jumeirah Group juga pernah sebagai Chef De Cuisine, lalu Head Chef di Bateaux Dubai sampai tahun 2017, terakhir tahun 2020 sebagai Executive Sous Chef di Address Sky View LLC, dan sekarang Executive Chef di At.Mosphere Restaurant & LOUNGE at Burj Khalifa. Kalau sebagai Head Chef sendiri di At.Mosphere sejak tahun 2017-2019.

  • Waktu pertama kali ke Dubai itu tahun 2008, ya? Sampai tahun ini udah 15 tahun, bisa diceritain bang bagaimana awalnya bisa sampai ke sini?

Saya nggak pernah punya mimpi berkarier di Dubai awalnya. Saya pertama kali ke Dubai itu usia 19 tahun, tiga bulan setelah lulus dari STP Bandung, bahkan saat itu belum sempat wisuda. Awalnya saya hanya mengantar teman-teman saya yang ikut seleksi ke Jakarta. Saya memang nggak mau ikut, karena sama sekali nggak bisa bahasa Inggris, hanya tahu yes no aja. Tapi HRD-nya melihat kenapa saya tidak ikut tes, lalu saya disuruh wawancara. Ternyata dia bisa bahasa Indonesia, dan ternyata saya lolos.

  • Kira-kira apa yang bikin abang bertahan di sana selama itu?

Waktu itu bulan Agustus 2008, saya termasuk dari sekitar 4.000 orang lainnya yang terbang ke Dubai. Di tahun itu Dubai belum seperti sekarang. Gedung-gedung baru dibangun. Dan pekerja dari Indonesia cukup mendominasi. Di Atlantis Hotel tempat pertama saya kerja, ada sekitar 3.000 orang Indonesia yang tersebar di semua departemen.

Rupanya setahun kemudian terjadi krisis, ribuan orang Indonesia di PHK. Untungnya saya nggak kena PHK, padahal saya udah pesimis karena kemampuan berbahasa Inggris saat itu masih minim.

  • Nah, apa yang abang lakukan soal kendala bahasa Inggris itu? Bagaimana cara abang menyesuaikan diri?

Karena saya udah kadung “kecemplung” di sana, tekad saya kuat untuk bertahan dan punya mimpi kalau masa depan saya harus lebih baik dari hari ini. Makanya, selama 1,5 tahun bekerja di Dubai, saya belajar bahasa Inggris mati-matian secara otodidak. Saya bahkan meminta secara khusus kepada rekan chef asal Irlandia untuk bekerja sambil belajar bahasa Inggris.

Saya ikut sama dia, disuruh-suruh di dapur sambil saya serap bahasa Inggris-nya. bener-bener kata per kata saya tiru tanpa saya tahu cara menuliskannya. Setelah 1,5 tahun saya sudah lebih percaya diri. Sejak itu ada saja opportunity datang, bertemu orang-orang baik yang menawarkan kesempatan.

  • Katanya sebelum abang, Head Chef di At.Mosphere itu nggak ada yang dari Asia, emang benar begitu, bang? Konon yang pernah seringnya dari Eropa kayak dari Prancis, Inggris, Kanada, Amerika, dan Jerman. Apa perasaan abang jadi orang Asia pertama yang dipercaya mengepalai banyak chef dari berbagai negara itu?

Iya, itu fakta yang sebenarnya. Orang Asia selalu dipandang sebelah mata, saat itu, ya. Karena saya pernah mengalami sendiri rasisme itu. Kalau sekarang, sih, sudah tidak.

Bagi saya dapat kepercayaan setinggi itu menuntut tanggung jawab yang besar juga, yang harus bisa saya jalankan sebaik mungkin. Saya optimis selama kita melakukan segala sesuatu sepenuh hati, ya. Makanya alhamdulillah pelan-pelan saya bisa membuktikan kalau saya mampu.

  • Bisa ceritain nggak abang pernah mengalami rasisme separah apa?

Kehidupan di dapur itu bisa dibilang cukup keras. Beruntungnya saat saya di STP sudah terlatih secara mental, bahkan yang ngospek dari anggota TNI. Saya pernah ketika di dapur salah satu restoran tempat saya kerja, saya nggak dianggap hanya karena saya orang Asia. Mereka merundingkan menu hari itu dan saya tidak diajak bergabung, saya dibiarkan berada di salah satu sudut dapur. Saya diam-diam melihat apa saja yang mereka buat, jadi curi-curi sendiri menu apa yang akan disiapkan.

Selain itu, suatu hari saya pernah minta arahan dari chef lain, saya tanya bagaimana caranya biar bisa jadi kepala koki? Lalu dia menjawab: “Caranya mudah saja, selama kamu berkulit putih dan bukan dari Asia, pasti bisa. Selain itu jangan harap.” Buat saya itu pukulan yang cukup menyakitkan dan kalau nggak salah waktu itu saya menangis, makanya dari sana saya makin giat kerja keras, tidur cuma 3 jam untuk mendobrak streotipe itu.

Lima tahun pertama, buat saya itu tahun-tahun terberat. Hampir 24 jam saya habiskan waktu di dapur. Gaji pertama yang saya dapatkan saat itu hanya sekitar 3 juta rupiah. Saya terpaksa tinggal di apartemen sederhana bersama lima orang lainnya dari Indonesia. Pengorbanan itu nggak sia-sia, hanya butuh waktu 5 tahun untuk saya menjadi Head Chef, padahal normalnya butuh 10-30 tahun pengalaman bekerja sampai diangkat jadi kepala chef, apalagi kalau dari Asia.

  • Pernah down nggak dan mengalami putus asa? Boleh ceritain perjuangan yang abang lakukan?

Pasti pernahlah, bahkan mau balik ke Indonesia. Rata-rata, yang kerja di At.Mosphere Dubai ini nggak tahan lama karena tempatnya selalu ramai, nyaris tidak ada waktu istirahat. Nah, di sana kelebihan saya. Saya cukup tahan banting dan bisa membuktikan bahwa orang Indonesia satu ini patut diperhitungkan.

Tahun 2020 juga jadi tahun yang berat, mungkin buat semua orang ya karena saat itu masa pandemi. Saya terpaksa membuka restoran dengan hanya lima orang yang tersisa sepanjang tahun 2020. Pandemi sempat menghajar At. Mosphere juga, sehingga harus tutup selama dua bulan. Puluhan karyawan terpaksa pulang ke negara asalnya karena tidak kuat bertahan di Dubai dengan biaya hidup yang cukup tinggi.

Saya memilih bertahan bersama istri dan dua anak saya, kami membuka usaha makanan di rumah selama lockdown diterapkan di Dubai. Saya menjual makanan apa saja, kemudian mengantarnya seminggu sekali. Karena hal ini pula yang menjadi cikal bakal ide untuk mulai berbisnis kuliner bersama adik saya. Saya bertekad membangun bisnis kuliner yang bisa dikembangkan di Dubai serta dibawa ke Indonesia nantinya.

  • Nah, ini agak melenceng sedikit pertanyaannya. Saya selalu kagum dengan seni Food Plating yang biasa chef lakukan saat served makanan ke kostumer. Kira-kira, abang setuju nggak kalau chef juga bagian dari seniman?

Entah ya, karena saya sendiri pun pakai intuisi ketika akan membuat menu masakan. Sejak tahun 2019, saya menyimpan semua menu dan foto-fotonya di hardisk sampai 4 TB, itu ukuran yang cukup besar, karena saya termasuk orang yang selalu ingin berinovasi. Menu yang kami buat, tidak akan muncul lagi di menu berikutnya. Sudah ada ratusan menu yang kami suguhkan.

Kalau dibilang seniman atau pelukis mungkin ya, saya punya coret-coretan ilustrasi menu masakan saya bentuk plating-nya, tetapi sebatas itu, kalau mesti buat sketsa wajah atau gambar lainnya saya malah nggak bisa. Feeling aja sih pakainya, mungkin karena pengalaman juga.

  • Apakah hal itu dipelajari bang di bangku kuliah?

Tidak secara spesifik, tetapi kami belajar konsep makanan. Chef-chef dari Eropa dan negara lainnya, sebelum membuat menu, yang pertama mereka bicarakan itu konsepnya. Misal, kenapa pakai bahan A tapi tidak pakai bahan B, mereka semua punya alasannya, bukan sekadar asal buat makanan dan campur semua bahannya, tetapi semua menu dipikirkan dan ada filosofinya. Nilai seninya di sana, itu kenapa bisa bernilai tinggi karena “menjual” maknanya juga.

  • Karya “seni” apa dari masakan abang yang paling abang banggakan dengan menu itu? Inspirasinya dari mana bang?

Saya sulit puas dengan karya saya. Setiap kali menghasilkan satu menu, saya push untuk berkreasi lagi, jadi saya tidak ada menu spesifik yang saya banggakan atau anggap sebagai masterpiece. Saya terus saja berinovasi, dan semua foto-foto di Instagram saya itu hasil buatan saya sendiri termasuk saya yang memfoto menu-menunya. Inspirasinya ya sering-sering datang ke restoran-restoran lain, cari referensi di internet, dan banyak hal lainnya.

  • Menurut abang bagaimana soal adanya term “celebrity chef” itu?

Buat saya sih nggak masalah, justru menambah banyak warna di dunia chef. Beberapa orang dari mereka juga saya kenal baik. Saya salut sih sama mereka bisa memasak sambil terus bicara menjelaskan bahan-bahan dan cara memasaknya, saya sendiri sulit bicara di depan kamera. Dan menurut saya chef adalah orang yang memasak, selama dia bisa memasak dengan baik dan benar, ya, sah-sah saja, yang keliru itu mengaku chef tapi sudah berhenti memasak. Cook to pleased, not to impress, itu yang penting buat saya.

  • Pernah ada nggak tokoh atau public figure yang datang ke sini dan sengaja menemui abang?

Ada banyak yang datang, mulai dari public figure sampai pejabat negara seperti Ivan Gunawan, Kang Ridwan Kamil, Pak Erick Tohir, Pak Sandiaga Uno dan banyak lagi selebriti yang datang ke sini dan mau menemui saya. Bagi saya itu apresiasi tersendiri, saya banyak ucapkan terima kasih.

  • Hal apa yang masih ingin abang capai baik di dunia chef atau di luar itu, masih adakah mimpi lain?

Mau punya restoran sendiri, sih. Saya masih ada target project untuk Michelin Star di At.Mosphere ini. Michelin Star ini penghargaan tertinggi dalam dunia kuliner yang biasanya diberikan kepada sebuah restoran dan berdampak juga bagi chef-nya. Targetnya mungkin tahun 2024-2025 sampai kita berhasil meraihnya. Setelah itu saya udah nggak mau kerja buat perusahaan atau restoran orang lain lagi, saya mau punya restoran sendiri.

Ada keinginan pulang ke Indonesia, tapi di sini saya pelan-pelan udah mulai merintis bikin bisnis, jadi sepertinya akan menetap di sini untuk waktu yang tak ditentukan ke depannya, karena keluarga juga semua di sini. Saya mau bikin restoran Paris Van Java di sini. Bandung, kan, terkenal sama julukan itu. Kebetulan saya udah bertahun-tahun bisa membuat menu masakan Eropa, malah saya sering kesulitan bikin makanan Indonesia, jadi saya mau coba nanti mengkolaborasikan dua menu tersebut. Doakan saja.

  • Apa pesan abang buat teman-teman yang baru merintis atau bercita-cita jadi chef?

Sebagai orang yang baru memulai, jadilah orang yang tahan banting dan mau bekerja keras, bukan hanya dalam bidang chef saja, tetapi dalam banyak hal dan profesi apa pun kerja keras adalah kunci sukses untuk meraih impianmu. Apa yang sedang kamu jalani sekarang, lakukan setulus dan sebaik mungkin karena itu yang saya jalani selama ini dan rasakan sendiri hasilnya.

***

Saat ini Eka membawahi sekitar 29 orang dari berbagai negara, termasuk tujuh orang dari Indonesia. Sebelum pandemi, ia mengepalai 48 orang dan telah berhasi menyumbang berbagai penghargaan sejak ia menjadi kepala chef.

Penghargaan yang pernah disabet oleh Eka dan timnya antara lain, TimeOut Commended Afternoon Tea, Good Food Awards Best Dining Experiences (2017), Restaurant TimeOut Best Afternoon Tea Fact Dining Awards Best European Restaurant (2018), Restaurant World Culinary Awards 2020 Best Landmark Restaurants (2020), TimeOut Recommended Restaurants (2021), dan TimeOut most Commended Romantic Restaurant (2022), dan Inaugurated to the Esteem Chefs Irish Beef Club representing UAE (2022).

Di awal kariernya, Eka sering mengikuti kompetisi memasak, menurutnya hal itu mengangkat namanya dan membentuk dirinya. Tiga tahun awal mengikuti kompetisi, ia selalu pulang dengan tangan kosong. Tetapi Eka tidak menyerah. Dari situ ia belajar dari kesalahan. Ia banyak belajar lewat kompetisi, di mana ia bertemu dengan banyak chef dari 30-40 negara. Dirinya bisa mempelajari different things, different pattern, different technic, different preparation, different organization.

Kompetisi juga membuatnya terus menempa diri dan lihai mengatur waktu. Ia harus bekerja 12 jam di dapur, saat mengikuti kompetisi, ia bisa berkutat di dapur hingga 18 jam untuk melakukan latihan. Persiapan jelang kompetisi bisa berlangsung lima bulan. Sayangnya, saat berkompetisi Eka tidak mewakili Indonesia karena selalu gagal mendapatkan sponsor. Akhirnya dirinya representing Uni Emirates Arab (UAE). Berbagai penghargaan yang telah Eka raih antara lain, UAE CULINARY COMPETITION 4 gold 1 silver 1 Bronze (2012), Dubai World Hospitality CUP GOLD Medal (2012), Luxembourg Culinary World Cup Bronze Medal for Culinary Artistry (2014), Culinary Olympic Germany Bronze Medal for Culinary Artistry representing UAE (2016).