“Eh, kamu serius mau jadi chef?” tanya Rian sambil nyengir lebar. Arkana cuma ngangguk, padahal dalam hati agak ragu.

“Iya, kenapa emangnya?” jawabnya datar.

Rian malah tertawa. “Hahaha… masak aja baru bisa salad kates, mau jadi chef dunia? Lucu bangeeettt.”

Temen-temen lain menyambut ikut ketawa. Arkana diam, senyumnya kecut. Rasanya pengin marah, tapi buat apa? Dari situ dia cuma mikir satu hal: aku bakal buktiin kalau aku bisa.

Setiap pulang sekolah, Arkana lebih sering nongkrong di dapur daripada main bola. Ibunya kadang heran, sambil bertanya, “Kamu nggak bosen, Nak, motong-motong kates terus?”

“Enggak, Bu… aku latihan,” jawabnya sambil terus mengiiris-iris.

Awalnya cuma bantuin ibu, lama-lama Arkana jadi ketagihan. Dia suka banget lihat bawang merah pas ditumis, denger bunyi “cesss” di wajan, sama aroma masakan yang bikin lapar. Tatkala naik kelas 9, Arkana dapat kesempatan kerja paruh waktu di kafe kecil dekat alun-alun kota. Di situlah dia kali pertama bertemu Chef Adrien, seorang chef senior yang terkenal galak dan perfeksionis. Hari pertama, Arkana diminta bikin saus pasta. Dia pede banget, tapi pas dicicipin…

“Hmm…” Chef Adrien melirik tajam. “Terlalu asin. Denger, Nak… masak itu bukan cuma campur bahan. Masak itu soal rasa, soal cerita. Kalau kamu nggak ngerti ceritanya, orang nggak bakal ngerasain apa-apa.”

Arkana terdiam malu, tapi kepikiran terus. Malamnya, dia latihan bikin saus sendirian di rumah. Gagal! Latihan lagi. Gagal lagi! Tangannya pegal, matanya pedih, tapi dia nggak mau nyerah.

Sampai suatu hari, dia nonton video tentang masakan Prancis bernama rillettes. Bentuknya mirip selai daging, keliatan mewah banget. Arkana langsung jatuh cinta.
“Suatu hari aku harus bisa bikin ini,” gumamnya pelan.

Sejak itu, tiap pulang sekolah, dia langsung ke dapur. Kadang jam 10 malam masih nyoba resep. Kadang gosong, kadang hambar, tapi ada kalanya juga berhasil. Sedikit demi sedikit, tangannya makin terlatih.

Tiga tahun kemudian, nama Arkana mulai dikenal di dunia kuliner lokal. Sampai suatu sore, dia dapat surat undangan “Kompetisi Masak Internasional” di Paris. Waktu baca, tangannya gemeteran. Waktu  berlalu hingga hari perlombaan tiba. Ruangan penuh para chef top dari berbagai negara. Lampu terang, kamera di mana-mana. Jantung Arkana deg-degan parah. Dia memutuskan bikin rillettes versinya sendiri, pakai sentuhan kecil dari masa lalunya: kates alias pepaya. Saat juri nyicip, suasananya tegang banget. Semua orang nahan napas. Sampai akhirnya, salah satu juri senyum dan bilang pelan, “Extraordinaire…”

Arkana berdiri terpaku. Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Dia nunduk sebentar, nahan air mata. Dari dapur kecil, dari potongan kates sederhana, dia berhasil sampai Paris.

Setelah itu, ada wartawan yang nanya, “Apa rahasia kamu sampai bisa sukses kayak gini?”

Arkana jawab pelan, “Jangan pernah remehin hal kecil. Kadang, dari kates yang sederhana, kamu bisa bikin sesuatu yang dunia bakal ingat.”

*) image by istockphoto.com