Listrik padam lagi malam ini, dalam sepekan sudah terjadi empat kali. Pemadaman bergilir yang berdasar desas-desus yang diterima oleh warga kampung merupakan bagian dari upaya penghematan sehubungan dengan keterbatasan pasokan listrik di Pulau Jawa, dan kemudian berubah menjadi rutinitas yang cukup menyebalkan. Tidak ada peringatan, tidak ada hitungan mundur. Hanya suara listrik yang sekarat; klik pendek, dengungan yang meredup, lalu gelap yang benar-benar pekat.
Lantaran pemadaman listrik kerap hadir tanpa pemberitahuan yang jelas, alat elektronik milik warga kampung jadi mudah rusak dan para pelaku usaha semisal penjual ikan hias terpaksa merugi akibat ikannya banyak yang mati. Meski demikian, tidak ada kompensasi dari pihak yang merasa harus bertanggung jawab, kecuali hanya permintaan maaf yang disampaikan melalui siaran radio dan selebaran yang difoto dengan resolusi ala kadarnya untuk kemudian dibagikan di grup WhatsApp antar RT.
Di rumah-rumah, suara keluhan samar-samar mulai terdengar usai listrik padam. Seorang ibu menepuk-nepuk pantat bayinya yang tiba-tiba terjaga dan rewel karena gerah. Seorang pria paruh baya duduk di ruang tamu, menatap layar televisi yang menampilkan kekosongan, lalu mengipas-ngipasi dirinya dengan potongan kardus. Dan, seorang anak SD yang menjerit kesal karena belum sempat menyelesaikan PR-nya. Mereka, tentu saja, tahu listrik akan kembali, tetapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah kapan listrik akan nyala kembali, dan kapan akan padam lagi.
Detik berikutnya, sekelompok nyamuk bersiap lepas landas dan hendak berpesta pora. Nyamuk-nyamuk itu bebas berkeliaran, menempel di mana saja, mengisap darah siapa saja; berlindung di antara gelap hitam seperti ninja yang menyerang lawan dengan jurus tanpa bayangan. Tak terlihat, tak terduga, tetapi efektif dan mematikan. Tahu-tahu badan sudah bentol dan gatal-gatal. Jika dibiarkan, nyamuk-nyamuk itu bisa obesitas karena kekenyangan.
Kakiku tersaruk-saruk, melangkah perlahan menyusuri dapur yang dipenuhi serakan sendok dan garpu yang sesaat sebelumnya tak sengaja tersenggol oleh rabaan tanganku. Ujung garpu kemudian menyentuh—lebih tepatnya menusuk—telapak kakiku, memaksaku berjalan jinjit sambil meringis kesakitan, bahkan nyaris mengumpat sebelum tanganku sigap menangkup mulut rapat-rapat. Aku terus meraba-raba tanpa bisa membedakan arah, menjatuhkan lebih banyak benda-benda ke permukaan lantai.
Sementara, alih-alih membantu, suamiku yang pemalas itu kuyakini sedang enak-enakan merebahkan diri di dalam kamar, meringkuk seraya memeluk bantal guling kesayangannya. Kegaduhan yang tercipta akibat benda-benda berhamburan di lantai dapur tak berhasil menarik perhatiannya, atau minimal membuatnya penasaran kemudian menanyakan perihal apa yang baru saja terjadi. Tidak ada tanggapan atau basa-basi sama sekali, seolah benda-benda itu—termasuk aku, istrinya—tak memiliki arti.
“Dasar pemalas,” gumamku.
Beruntung, aku sudah terbiasa dengan sikap acuh tak acuh suamiku, sehingga tidak perlu ada drama di tengah kegelapan akibat timbulnya rasa sakit hati. Semenit berjibaku di dapur, benda yang kucari akhirnya ketemu juga. Aku segera menyalakan batang lilin dan obat nyamuk bakar, mengusir keberadaan nyamuk sekaligus menerangi setiap sudut rumah dengan cahaya seadanya. Tidak benar-benar terang, tetapi jauh lebih baik daripada tak ada cahaya sama sekali.
Hanya saja, batang lilin itu lebih dari sekadar penerang.
***
Jika ada penyelenggaraan lomba duduk sambil bermalas-malasan dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia, suamiku bisa dipastikan bakal menyabet juara satu. Dan mungkin akan menjadi juara bertahan dalam beberapa tahun ke depan andai perlombaan yang sama tetap terselenggara. Cukup sediakan bercangkir-cangkir kopi hitam dan berbatang-batang rokok, niscaya ia bisa duduk selama selama berjam-jam, tak bergeser seinci pun kecuali terpaksa karena ingin buang air.
Duduk, menyesap kopi hitam, mengisap rokok dalam-dalam melalui cara yang paling nikmat; begitu dan seterusnya sampai semua orang yang berada di dekatnya merasa bosan sendiri. Jika ada benda-benda yang lebih intim dengan suamiku serta patut dicemburui, maka rokok dan kopi hitam dapat kupastikan menjadi tersangka utamanya.
Setiap hari, suamiku baru terjaga dari tidurnya pada pukul sepuluh pagi. Beranjak dari kasur, lalu tanpa tedeng aling-aling minta dibuatkan secangkir kopi hitam. Setelah puas merokok dan menyesap kopi di halaman depan rumah, ia pun lekas mandi dan bergegas pergi. Pergi ke warung kopi untuk sekadar nongkrong bersama teman-temannya sambil merokok dan mengobrol tentang hal-hal yang tidak penting.
Warga kampung sempat dibuat terheran-heran, seorang pemalas seperti suamiku bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga kami, bahkan lebih dari cukup. Mereka kerap bertanya-tanya, kemudian membuat asumsi sendiri dengan sekehendak hati mengenai pekerjaan macam apa yang suamiku lakoni sampai bisa melebihi pencapaian warga kampung pada umumnya.
Asumsi-asumsi itu berkembang liar, melebar hingga kemudian disangkutkan dengan hal-hal di luar nalar. Jika tidak pandai-pandai tutup telinga, aku bisa saja stres mendengar ocehan warga kampung. Dalam benak mereka, bekerja melulu dilakukan di kantor, kebun, pasar, dan sawah. Sementara suamiku lebih sering kedapatan duduk bermalas-malasan di rumah atau berkeliaran di jalan tanpa juntrungan yang jelas. Maka, menurut pemahaman awam, itu dapat dikategorikan menganggur.
Andai saja warga kampung mau sedikit berusaha mencari informasi di internet dan membaca buku, mereka pasti akan paham bahwa hanya dengan duduk-duduk santai di rumah sekalipun seseorang bisa menghasilkan banyak uang. Tak perlu susah-susah banting tulang dan peras keringat. Begitu sempit pikiran mereka, sampai-sampai keluarga kami dituduh memelihara tuyul.
Meski belum dikaruniai keturunan, tak terlintas sedikit pun di benak kami untuk memelihara anak kecil jadi-jadian berkepala botak yang suka mencuri uang. Demi membuktikan tuduhan itu salah, warga kampung memaksa kami melakukan sumpah pocong di sebuah tanah lapang agar bisa disaksikan banyak orang. Kami pun setuju, menuruti apa yang menjadi kehendak warga kampung. Nyatanya, kami memang tidak memelihara tuyul, buat apa mesti takut.
Bagi kami, hal itu justru terdengar lucu sekaligus janggal. Tapi mau bagaimana lagi, yang penting warga kampung merasa puas. Sudah kami dituduh melakukan hal yang tidak-tidak, pula disuruh membuktikan bahwa tuduhan itu salah sasaran dengan melakukan sumpah pocong. Kenapa bukan mereka saja yang membuktikan bahwa tuduhan itu benar adanya? Memang pada dasarnya warga kampung sudah kepalang iri, sehingga rela melakukan apa saja demi menjatuhkan keluarga kami.
Hingga detik ini, setelah melakukan sumpah pocong di hadapan banyak orang, hidup kami masih baik-baik saja. Tak ada tanda-tanda bakal ditimpa azab seperti yang digambarkan tayangan sinetron di salah satu stasiun televisi swasta, semisal tumbuh bisul bernanah di wajah, tersambar petir di siang bolong, atau tertimpa material bangunan yang tiba-tiba runtuh saat diguncang gempa. Artinya, apa yang dituduhkan oleh warga kampung merupakan sebuah kekeliruan, omong kosong tak berdasar.
Ketika suamiku sempat jatuh miskin dua tahun lalu lantaran warisan keluarganya habis digunakan berfoya-foya, beli ini dan itu demi memenuhi hasrat kebendaannya yang tak terbendung, warga kampung tak ada yang peduli dan bersimpati. Jangankan memberikan bantuan atau mengulurkan tangan, bertemu di jalan saja langsung buang muka, pura-pura tidak lihat. Jika kami bertamu untuk sekadar silaturahim kala lebaran, mereka lekas tutup pintu, takut dipinjami uang.
Suamiku dicibir, melalui kesepakatan umum yang tidak tertulis kemudian dijadikan objek percontohan bagi laki-laki, khususnya seorang kepala keluarga untuk tidak bermalas-malasan dan hanya bisa menghabiskan harta warisan keluarga. Walau kenyataannya demikian, sebagai seorang istri yang baik, aku merasa tidak terima suamiku dipergunjingkan dengan cara seperti itu.
Namun, keadaan perlahan membaik, suamiku kembali punya banyak uang meski hanya bermalas-malasan. Siang keluyuran, malamnya berselimut kain hitam dan menggesek-gesekkan badan di permukaan tembok. Namun cibiran dan tudingan tetap saja mendera secara bertubi-tubi. Mata-mata sinis terus memandang, mulut-mulut iri tak henti berbicara di belakang. Miskin salah, kaya pun tetap salah.
Kalau bukan karena tempat ini merupakan kampung halaman kedua orang tuaku, sudah jauh-jauh hari aku meninggalkannya, pindah ke tempat yang lebih baik dan bisa menerima keberadaan keluarga kami. Setidaknya bertemu dengan tetangga-tetangga baru yang pikiran dan rasa ingin tahunya tidak berlebihan. Minimal, mereka tidak gampang menduga dan menerka dengan asumsi seenak hati, apalagi menghakimi tanpa bukti.
Kedua orang tuaku usianya sudah cukup uzur dan sering sakit-sakitan. Sementara adik bungsuku yang tinggal bersama mereka masih duduk di bangku SMA, tidak bisa setiap waktu mengawasi bapak dan ibu. Maka aku—kadang bergantian dengan suamiku saat ia sedang tidak keluyuran di jalan atau nongkrong di warung kopi—mesti sering-sering menengok rumah mereka yang hanya berjarak lima puluh meter dari rumahku.
Membawa makanan, minuman, obat-obatan, juga perhatian. Selagi sanggup dan mampu, semua kebutuhan kedua orang tuaku selalu dipenuhi. Mumpung mereka masih ada, apa salahnya aku dan suami terus berbakti. Setidaknya itu cukup menutupi kelakuan minus suamiku yang sebelumnya dianggap hanya bisa foya-foya dan menghabiskan harta warisan keluarga.
Oh iya, terlalu banyak bercerita membuatku lupa waktu. Aku melirik jam dinding, malam semakin larut dan kelam. Sebagian besar warga kampung mungkin sudah tertidur lelap, menghentikan segala aktivitas. Tak lagi peduli dengan dengung nyamuk, tak lagi peduli dengan kerik jangkrik. Hanya ingin tidur dan beristirahat, bersiap menyambut hari esok yang entah akan seperti apa.
Sementara, aku tetap terjaga sambil ditemani cahaya lilin. Kepala terantuk-antuk, tetapi tak kunjung tertidur meski dilanda kantuk. Suara jangkrik dan nyamuk kian bersepakat mengganggu jam malamku. Tiba-tiba entah dari mana, mungkin dari celah jendela kamar, angin berembus, menggoyahkan nyala api lilin. Telapak tanganku sontak menjaga nyala api lilin agar tak padam. Angin berembus kian kencang, tanda bahaya. Kutiup api lilin itu sekalian, sesaat kemudian listrik menyala dengan sendirinya.
Di luar sana, derap langkah kaki terdengar begitu menggebu. Bukan hanya satu atau dua, tetapi sekumpulan warga sedang berlari kesetanan. Lemparan batu dan benda-benda keras menimbulkan suasana mencekam. Suara kentongan dipukul cepat-cepat, tak beraturan. Aku beranjak, mengintip ke arah luar dari jendela kamar.
“Babi ngepet!”
“Tangkap babi ngepetnya!”
“Bakar!”
“Bunuh, jangan kasih ampun!”
“Biadab!”
Ah, untung lilinnya sudah kupadamkan sebelum padam sendiri!
Selesai
*) Image by istockphoto.com