Wasit membubarkan para pemain yang tumpang tindih tidak wajar. Setelah orang-orang itu bubar, yang terlihat di lapangan hanya tubuh pemuda kurus tergeletak tak bergerak. Wasit mengomel dengan suara tak jelas; aku duduk di bangku penonton dalam jarak puluhan meter dari mereka. Setelah beberapa waktu, pemuda itu tak kunjung bangkit, lalu wasit terlihat panik. Detik itulah gemuruh aneh melanda dadaku. Riuh rendah pertanyaan dari bibir para penonton menandai dimulainya kekacauan.

Para pemain dari tim itu satu per satu hilang entah ke mana seiring menghamburnya puluhan penonton ke lapangan untuk memastikan kondisi Timo, si pesepakbola amatir yang tergeletak. Seakan-akan setiap inci kejadian sore itu sudah lama direncanakan. Aku kebingungan dan takut. Apa yang harus kukatakan pada ibu Timo?

Kerumunan manusia kian padat di tepi lapangan sepakbola, tetapi belum satu pun menyadari ada yang keliru dari selebrasi gol tadi. Ada yang tak wajar: seseorang berakhir dengan posisi bagaikan jasad tak bernyawa.

Memang benar akhirnya ambulans mengangkut tubuh Timo yang sudah tidak lagi bernyawa. Kepalaku mendadak penuh oleh sesuatu. Barangkali sesuatu ini dapat meledakkan kepalaku saat itu. Jika saja bisa, aku berharap lebih baik begitu. Lebih baik kepalaku meledak tanpa harus menemui ibu Timo yang sejak dulu menentang sang anak bermain bola.

Tidak ada yang tidak tahu selama ini akulah yang dianggap meracuni anak itu agar pikirannya tertuju pada bola. Suatu ketika, saat hujan deras, aku dan Timo duduk di atap rumah warga dan memandangi banjir yang melanda kampung. Orang-orang membawa barang seperti kasur, televisi, buku, surat-surat penting. Entah berapa bayi yang lahir tiap tahun, tapi saat itu nyaris di setiap rumah memiliki bayi, sehingga di sana-sini, di setiap perahu tim SAR, kami menemukan pemandangan tubuh bayi-bayi yang entah bisa selamat atau tidak karena kedinginan.

Aku tahu ketika itulah tekad Timo terbentuk. Sebuah tekad yang sejauh itu belum pernah kudengar tentang sepakbola. Ia berharap suatu hari dapat pergi dari tempat ini sejauh mungkin, ke ujung dunia. Ia juga berharap bisa membangun rumah untuk ibu dan kakaknya yang cerewet, yang selalu memintanya agar tak lagi bermain bola.

“Tidak ada manfaatnya main bola, karena bola tidak dapat memberimu makan,” kata mereka.

Aku kerap mendengar cibiran orang-orang padaku, yang dikenal sebagai si pincang yang penuh cita-cita tak masuk akal. Dahulu aku juga bermain bola seperti Timo, tetapi tak mencapai level yang lebih dari amatir. Suatu insiden merenggut salah satu kakiku. Seorang pesaing sengaja melukaiku di lapangan. Orang-orang tak menyalahkannya dan menganggap cacatku disebabkan nasib belaka.

Namun, kepercayaanku pada prinsip lamaku, bahwa bola mampu mengubah hidup jika seseorang mau, tidak jua minggat dari kepalaku. Itu malah semakin kuat dan teguh dengan adanya bocah kecil yang kulihat berbeda dari yang lain. Timo, penggiring bola terbaik di kampung ini. Tak hanya itu, ia juga hebat dalam mengeksekusi bola-bola mati, hingga tak lama usai permainan pertamanya, orang-orang menjulukinya Si Bola Mati.

Dengan penuh semangat, meski harus sembunyi-sembunyi dari ibu dan kakaknya, Si Bola Mati mulai mencukur rambutnya hingga botak dan membeli jersey sepakbola di pasar malam dari uang hasil membantu tukang kepul barang rongsok selama seminggu. Ia datang padaku dan meminta diberi wejangan tentang apa pun yang perlu ia lakukan agar cita-citanya jadi pesepakbola profesional tercapai.

Sejak itu kami akrab. Ke mana-mana kerap berdua, walau beda usia kami sangat jauh. Dari sinilah orang-orang menganggap kelak Timo mendapatkan nasib sial seperti diriku. Mereka tidak menganggapku selain hanya sebagai pengaruh negatif bagi bocah berbakat ini.

Tidak hanya sekali dua kali ibu atau kakak perempuan Timo datang padaku hanya untuk mencaci-makiku agar berhenti memberi bujukan tak masuk akal soal sepakbola, tapi akhirnya mereka tahu, bukan aku yang datang pada Timo, tetapi sebaliknya.

Di atas rumahku, selagi memandangi tim SAR mengevakuasi korban banjir, bocah itu bilang, “Hanya dengan menjadi pesepakbola profesional, rumah dan kehidupan yang baik itu bisa saya capai, Pak. Hanya dengan itu.”

Aku tak dapat membantahnya selain terus memberinya dukungan. Dua tahun berlalu, cita-cita itu kandas dengan meninggalnya Si Bola Mati.

Aku tak tahu kenapa. Aku tak tahu bagaimana mungkin selebrasi gol Si Bola Mati malah berujung kematian? Aku coba mengumpulkan energi, tetapi tidak sanggup lagi berjalan. Seseorang membantuku turun dari tribun dan memapahku mendekat ke tengah lapangan yang dipenuhi orang-orang penasaran dan mereka yang mencintai gaya main Timo sebagai bibit unggul sepakbola di kampung ini.

Seseorang yang entah siapa mencoba meninjuku, tetapi gagal karena orang-orang di sekitar kami mencegahnya. Lalu aku tahu kalau ternyata orang tersebut adalah paman Timo, yang juga tidak setuju keponakannya bermain bola.

“Lihat, Bung. Akan kami bawa perkara ini ke polisi!” sembur lelaki itu.

Aku terduduk lemas memandangi jasad Timo yang dikelilingi entah berapa pasang kaki. Kaki-kaki yang berlintasan itu seakan membuatku terlempar jauh ke dunia aneh, yang mana seluruh peristiwa ini terasa bak bukan kenyataan dan tidak lebih dari sebuah mimpi.

Aku diantar pulang oleh seorang petugas medis yang menemukanku tersandar di tiang gawang selagi orang-orang mengerumuni jasad Timo yang dibawa ke ambulans. Aku duduk tepat di samping tubuh kurus itu ketika meninggalkan lapangan bola dan tak henti-hentinya muncul pertanyaan di kepalaku: kenapa ini harus terjadi?

Aku tertidur karena lelah oleh beban pikiran malam itu. Tentu saja aku sudah siap jika seseorang membawa perkara ini ke polisi. Aku tidak tahu siapa yang salah dan apa yang membuat Timo mati, tetapi aku bahkan tidak peduli lagi andai seluruh orang menganggap kematian Si Bola Mati disebabkan olehku.

Namun, hingga besoknya, tidak ada yang menjemputku. Bahkan hingga empat hari kemudian. Pada hari kelima salah satu pemain rekan Timo, penjaga gawang yang hanya berdiri kaku di sarangnya ketika orang-orang mulai mendatangi Si Bola Mati yang tidak lagi bergerak, menyampaikan kabar mengejutkan.

“Timo terlibat cinta segitiga, Pak. Bapak tentu tahu siapa yang saya maksud.”

Aku termangu di ambang pintu sambil memandangi langit. Kami duduk di ruang tamuku beberapa menit tanpa bicara dan penjaga gawang itu pamit usai mengabarkan bahwa Rudi, pemain sayap yang juga rekan setim Timo, sudah ditangkap dua hari lalu. Tidak hanya dia, beberapa pemain lain yang juga terlibat turut diciduk.

Misteri kematian Timo terungkap setelah Rudi dan kawan-kawan mengaku secara sengaja mencekik Timo saat selebrasi gol berlangsung. Nyatanya, motifnya bukan cuma cinta segitiga.

“Mereka cemburu bukan hanya karena anak perempuan itu, Pak. Mereka cemburu karena belum pernah ada pemain bola sebagus Timo di kampung kita,” tutur si penjaga gawang sebelum akhirnya meninggalkanku dalam kesepian yang biadab.

Gempol, 2018-2024

*) Image by istockphoto.com