Kepolisian Republik Indonesa (Polri) mewacanakan kebijakan kontoversial, yaitu patrol siber, khususnya ke Whatsapp Group. Kebijakan ini sontak menimbulkan polemik publik. Amnesty Internasional menilai patrol ini akan menebar politik ketakutan. Komnas HAM juga menyatakan patroli siber akan mengurangi kemerdekaan individu, khususnya dalam berekspresi di dunia maya.
Polri bersikukuh melanjutkan kebijakan. Polisi menegaskan bahwa patroli siber yang mereka lakukan tidak berarti langsung masuk ke dalam grup aplikasi pesan singkat WhatsApp. Patroli siber di dunia maya dilakukan periodik bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Pada tahap awal, pihaknya menunggu pengaduan masyarakat terkait narasi hoaks yang beredar di grup-grup WhatsApp sang pengadu. Kemudian mereka akan memeriksa pengadu secara mendalam, menyita barang bukti (smartphone) pengadu, serta menelisik alur komunikasi hoaks yang beredar di smartphone pengadu. Barang bukti ini sendiri akan diteliti lebih lanjut di laboratorium forensik kepolisian. Jika pihak kepolisian mendeteksi penyebaran hoaks secara masif melalui bukti-bukti yang kuat, barulah perwakilannya masuk ke grup WhatsApp untuk memantau.
Penegakan hukum akan dilakukan berdasarkan hasil pemantauan polisi, jika memang terbukti ada pelaku penyebar hoaks atau tindak kriminal lainnya di grup WhatsApp tersebut. Sebuah akun yang menyebarkan berita bohong atau hoaks di grup akan diberi peringatan terlebih dahulu. Jika penyebaran dilakukan secara masif, polisi baru akan melakukan penegakan hukum. Tangkapan layar percakapan dalam grup WhatsApp menjadi alat bukti dari narasi hoaks yang dibangun. Selain itu, telepon genggam yang menjadi bukti akan diteliti di laboratorium forensik.
Lepas dari pro dan kontra, banalitas hoaks mesti dibidas secara cerdas dan bijak melalui literasi dan implementasi. Penangkalan hoaks menjadi salah satu kunci perbaikan kualitas demokrasi.
Seputar Hoaks
Hoaks menjadi penyakit akut di era informasi. Eskalasi hoaks semakin terkendali jelang pemilu yang lalu. Kini puncak pemilu sudah berlalu, namun penyebaran hoaks tidak surut secara signifikan. Hal ini mengindikasikan ke depan hoaks akan terus menjadi ancaman.
Selain untuk kepentingan golongan, hoaks juga bisa dimanfaatkan untuk adu domba. Era revolusi industri 4.0 menjadikan modus operansi adu domba semakin kompleks dan halus. Modus terkuat dan paling sering terjadi adalah dengan operasi penyebaran konten hoaks. Penyebaran hoaks jarang yang terjadi secara alamiah, namun direkayasa sedemikian rupa dengan target politik terukur.
Hoaks atau berita palsu paling dominan tersebar melalui media sosial. Van der Linden (2018) memaparkan ada lima indikator yang biasa terdapat dalam berita ‘palsu. Pertama, terdengar konyol untuk menjadi kenyataan. Judul berita kerap dirancang khusus agar kita mengkliknya. Jadi, kita tidak boleh terjebak clickbait. Kedua, berhati-hati dengan konten berita politik. Berita palsu memang dibingkai untuk mewakili kepentingan kelompok tertentu. Banyak riset menunjukkan bahwa manusia lebih memperhatikan dan memproses informasi yang sepaham dengan pemikirannya.
Ketiga, berita hoaks lebih cepat viral daripada fakta. Viral tidak selalu menjadi indikator yang baik tentang hal-hal penting. Konten viral yang dibagikan berulang kali sering didasarkan pada hal-hal tidak akurat. Keempat, verifikasi sumber dan konteks. Ciri paling mencolok dari berita palsu adalah ketiadaan sumber. Berita palsu mampu bertahan di tengah masyarakat karena kita terus-menerus dihujani informasi tersebut. Kelima, jangan terlalu percaya dengan berita yang beredar di media sosial. Media sosial bukan situs berita yang terjamin kebenarannya. Media sosial memungkinkan semua orang menyampaikan informasi yang terlihat seperti nyata.
Konten hoaks dan penyebarannya tidak dibenarkan dalam agama. Fenomena hoaks banyak direkam dalam Alquran. Misalnya pada kisah Nabi Adam dan Hawa yang teperdaya oleh berita hoaks disampaikan iblis tentang pohon keabadian hingga mengakibatkan terusirnya Nabi Adam dan Hawa dari surga. Selanjutnya pada kisah Firaun, sang penguasa membuat berita hoaks dan membentuk opini publik tentang Nabi Musa, yang katanya ingin mengudeta sang penguasa dan mengusir rakyatnya. Masih banyak rekaman sejarah lainnya.
Selama ini orang yang menebarkan informasi palsu atau hoaks di dunia maya akan dikenakan hukum positif, antara lain dikenakan KUHP, Undang-Undang No.19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Kementerian Kominfo (2017) menyatakan bahwa bicara hoaks itu ada dua hal. Pertama, berita bohong harus punya nilai subjek-objek yang dirugikan. Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Sanksinya hukuman (pidana penjara) selama enam tahun dan/atau denda Rp1 miliar.
Strategi Pembidasan
Konten hoaks adalah musuh bersama di dunia maya. Semua pihak pernah dan berpotensi dirugikan. Bahkan akibatnya, kenyamanan dan persatuan bangsa juga terancam. Selain patrol siber, upaya bersama perlu dilakukan dalam menangkal total fenomena hoaks ini.
Pertama, mengenali ciri-ciri konten hoaks sebagaimana dipaparkan di atas. Ciri-ciri lain akan berkembang seiring dengan perkembangan variasi konten hoaks itu sendiri. Kedua, membudayakan saring sebelum sharing. Jempol mesti dilatih mengendalikan fenomena copy paste dan forward suatu informasi. Perlu dibaca dahulu meskipun sekilas. Jika ada yang janggal atau terdeteksi potensi hoaks, maka sebaiknya klarifikasi atau minimal terhenti info tersebut pada diri sendiri.
Ketiga, terbiasa mempercayakan informasi pada sumber yang jelas. Kejelasan bukan masalah besar atau tidaknya institusi, melainkan jaminan kepercayaan atasnya. Penelusuran singkat bisa dilakukan dengan metode sederhana, misalnya searching by google.
Keempat, menyebarluaskan pemahaman dan upaya penangkalan hoaks di atas menjadi gerakan. Tidak cukup dimengerti diri sendiri, namun harus diteruskan ke sekitarnya. Gerakan perlawanan dan penanganan mesti masif minimal semasif penyebaran konten hoaks itu sendiri.
Kelima, lawan konten negatif hoaks dengan konten positif. Alih-alih membenci dan melawan hokas jangan sampai justru terjebak membuat konten hoaks tanpa disadari. Budayakan membuat kronologi informasi dengan mencantumkan sumbernya meskipun sumbernya dari mata kepala sendiri.
Bersatu dalam produksi serta penyebaran konten postif dan benar akan membuat bangsa ini teguh dan solid. Sebaliknya, fenomena hoaks yang dibiarkan bahkan cenderung dipupuk subur akan menjadi bom waktu membuat kegaduhan dan kericuhan. Implikasinya tidak main-main, seperti konflik, disintegrasi bangsa, dan sejenisnya.