Kelegaan memancar seketika di wajahmu usai kau bercerita kepada gurumu, Sunan Kudus. Ya, menceritakan apa yang menjadi keinginanmu. Sebuah keinginan yang sebenarnya dipantik oleh rasa dendam. Tapi rasa dendam itu sengaja tak kau ceritakan, sebab kau sudah tahu, jika itu kau ceritakan, sudah pasti Sunan Kudus tidak akan merestui. Sebab yang namanya balas dendam hanya akan merawat api permusuhan.
“Aku merestuimu. Berangkatlah, jangan sampai niatmu berubah. Selama niatmu hendak memperjuangkan rakyat dengan menumpas kebatilan, Gusti Allah akan selalu bersamamu,” ucap Sunan Kudus.
Menumpas kebatilan, dua kata yang membuatmu semakin menggebu-gebu untuk segera berperang. Ucapan Sunan Kudus mengenai raja Demak yang saat ini sedang berkuasa terngiang-ngiang di kepalamu. Sunan Kudus berucap bahwa bagaimanapun kebatilan tidak akan dapat bertahan.
“Ingat, sesuatu yang diawali dengan keburukan, akan berakhir buruk,” ujarnya kepadamu.
Sunan Kudus tentu tahu lebih dulu daripada dirimu bagaimana Raden Mukmin memperoleh kekuasaan. Ayahmu dibunuh olehnya dengan begitu keji usai sepulang dari salat Jum’at—sehingga pemerintahan pun dikendalikan oleh Sultan Trenggana yang tidak lain adalah ayahnya. Ketika ayahmu wafat, usiamu masih kecil sehingga kau belum tahu bagaimana ayahmu meregang nyawa. Cerita mengenai pembunuhannya, baru kau ketahui beberapa tahun kemudian.
“Bagaimana mungkin aku dapat menerima begitu saja, bukankah nyawa harus dibayar nyawa?”
Selalu kalimat semacam itu yang muncul saat kau bercerita kepada beberapa kerabat dekatmu mengenai keinginanmu membalaskan dendam atas kematian ayahmu. Kau tidak pernah sekalipun menuturkan hal itu kepada Sunan Kudus maupun guru-guru spiritualmu yang lain—yang mereka tahu kau belajar kanuragan dengan penuh ketekunan untuk melindungi yang lemah dan membela kebenaran, bukan untuk dendam.
Keinginan itu hanya kau pendam, hingga pada suatu ketika di mana orang-orang Jipang mendukungmu untuk menjadi penguasa Demak—kau bisa merasakan betapa rakyat Jipang begitu mencintaimu. Dari yang kau dengar, mereka tidak puas dengan kepemimpinan Raden Mukmin. Selain itu, banyak orang yang mengatakan kalau kaulah yang seharusnya menjadi pewaris sah Demak.
Maka terusiklah hatimu, atas dasar itulah kau menemui Sunan Kudus dan mengatakan niatmu memperjuangkan rakyat, meski itu bukan niat yang sesungguhnya. Kini telah kau persiapkan segalanya. Dalam tempurung kepalamu sudah terbayang bagaimana tubuh penguasa Demak bersimbah dengan darah. Kau membayangkan kepuasaan yang tidak dapat dilukiskan.
Setelah Raden Mukmin berhasil kau tumbangkan, kau mulai menjalankan roda pemerintah. Demak kau bawa menuju kejayaan. Namun, itu baru bayangan. Kini kau dalam perjalanan untuk mewujudkan keinginanmu; membalas dendam atas kematian ayahmu.
“Aku sesungguhnya tidak begitu menginginkan tahta itu,” katamu kepada salah satu bawahanmu di istana Jipang. Ia bernama Rangkud.
“Rakyat yang menginginkannya, Raden. Tentu Raden tahu sendiri bagaimana rakyat tidak senang dengan cara Raden Mukmin memperoleh tampuk kekuasaan. Dan memang, Raden-lah yang berhak atas tahta itu, jika menurut hukum kerajaan,” Rangkud menanggapi.
***
Ketika apa yang kau inginkan tercapai, kau dihadapkan pada masalah baru. Tentunya keinginan rakyat yang menginginkanmu memimpin Demak—terutama orang-orang Jipang—membuatmu tidak yakin. Ya. Tidak yakin, kau mempertanyakan diri sendiri, mampukah membawa Demak menuju puncak kejayaan?
Dalam euforia keberhasilan menewaskan Raden Mukmin, pikiran itu sedikit mengganggumu. Beban itu terasa begitu berat, tapi mau tidak mau kau harus menerima. Sunan Kudus bangga denganmu, meski bukan tanganmu sendiri yang membunuh Raden Mukmin, melainkan Rangkud. Berkali-kali ia mengatakan padamu, kalau kebatilan tidak akan abadi.
Kau sebenarnya ingin mengatakan apa yang kau rasakan; kau tidak pernah berharap tahta Demak. Kau hanya ingin membalas kematian ayahmu. Tentu apabila kau mengatakan itu kepada Sunan Kudus, kau akan menerima konsekuensi, termasuk hal paling buruk, Sunan Kudus akan mengutukmu. Sebab ternyata niatmu kotor.
Hari berganti hari, kau masih memendam rahasia itu. Timbul semacam ganjalan di hatimu dan seiring berjalannya waktu ganjalan itu semakin membesar. Ada rasa semacam berdosa dan tidak enak yang menguasaimu. Kau tidak juga berucap sejujurnya mengenai hal itu. Terus memendam dan memendam—meski begitu kau mencoba menjalankan kemudi pemerintahan dengan sebaik-baiknya.
Saat masalah itu tidak kunjung kau selesaikan, kau ditimpa oleh masalah lain yang lebih berat. Hadiwijaya, Adipati Pajang mulai menunjukkan ketidak-tundukkannya padamu. Ia mulai berani menentang kebijakan-kebijakanmu. Kau tidak tahu persis apa yang menyebabkannya mengapa ia tidak mau tunduk denganmu. Tapi kau menduga, karena Hadiwijaya adalah menantu Sultan Trenggana, ayah Raden Mukmin.
“Dalam membuat kebijakan, saya selalu adil Sunan. Saya rasa saya kurang tepat kalau saya dianggap mengenyampingkan Pajang,” katamu pada Sunan Kudus.
“Coba lihat kembali Penangsang dengan lebih jernih dan cermat, barangkali kau yang luput. Kita ini manusia, sarang kesalahan. Aku berkata seperti ini, bukan berarti membela Hadiwijaya. Sama sekali tidak!”
Sayangnya kau malah sedikit tersulut emosi. Kepada Sunan Kudus kau mengatakan siap jika harus berperang apabila terus dianggap tidak adil. Entah mengapa keyakinanmu menguat, penentangan-penentangan itu ada hubungannya dengan identitas sebagai menantu Sultan Trenggana. Prasangkamu sampai pada Hadiwijaya ingin menguasai Demak!
Beberapa hari kemudian, kau pun dipanggil oleh Sunan Kudus di kediamannya. Kau terkaget di sana telah ada Hadiwijaya. Sontak amarahmu tak dapat dikendalikan. Adu mulut pun terjadi. Kau mencabut keris, pun Hadiwijaya. Sunan Kudus pun tidak punya pilihan lain, selain menggertakmu dan Hadiwijaya karena imbauannya tidak diperhatikan.
***
Sunan Kudus kecewa padamu, tepatnya dengan sikapmu yang tidak menunjukkan kesantunan seorang pemimpin. Meski begitu, Sunan Kudus nyatanya masih peduli padamu. Ia datang padamu setelah mendengar bahwa Hadiwijaya mengadakan sayembara yang isinya barang siapa yang bisa membunuhmu, akan memperoleh tanah alas Mentaok.
Kau menjadi sedikit terharu, setelah Sunan Kudus mengutarakan kalau ia akan membelamu. Ia membelamu bukan tanpa alasan.
“Kalau bukan karena caramu memerintah yang baik, aku tidak akan bersedia. Aku sesungguhnya sudah tahu siapa yang patut disalahkan, hanya saja aku mencoba tidak buru-buru, Penangsang,” ujarnya.
Saat kau sedang asyik berbincang dengan Sunan Kudus, orang kepercayaan yang bertugas mengurusi Gagak Rimang—nama kudamu—datang menghadapmu. Ia memberikan sebuah surat kepadamu.
“Tadi yang mengantarkan surat mengaku bernama Ki Juru Mertani, Gusti,” kata orang itu kepadamu.
Kau tahu siapa Ki Juru Mertani. Ia salah satu antek Hadiwijaya. Surat itu dari Sutawijaya, yang tidak lain anak angkat Hadiwijaya. Dalam surat itu ia menantangmu untuk adu kesaktian dan melontarkan kebencian-kebenciannya kepadamu. Tanpa pikir panjang kau menurutinya. Kata Sunan Kudus, ia meyakini kalau tantangan itu ditujukan untuk mengikuti sayembara.
Maka berangkatlah kau pada hari yang sudah ditentukan. Sunan Kudus tidak dapat menghalangimu, sebab kau berangkat juga dalam rangka membela diri; menjaga kehormatan sebagai seorang raja.
Tiba di Sungai Bengawan, kudamu tiba-tiba mengamuk, menabrak apapun yang ada di hadapannya. Kau terpental. Rupanya Sutawijaya membawa sebuah kuda betina yang sedang birahi. Dengan penuh kemarahan, kau beranjak. Sutawijaya sudah di hadapanmu—kau sampai tidak tahu bagaimana caranya ia sampai ke hadapanmu karena rasa sakit yang menguasai akibat benturan dengan bebatuan di tepi sungai.
Masih menahan sakit, kau pun dengan sekuat tenaga melawan Sutawijaya. Pertarungan begitu sengit. Sutawijaya dengan tombak Kyai Plered berhasil melukaimu. Ususmu terburai keluar. Sementara itu kerismu belum memberikan luka yang berarti untuknya.
Sakit tiada terkira kau rasakan. Sunan Kudus datang dan melihatmu. Ia dengan lantang menyuruhmu untuk menyarungkan keris dan meletakannya di tempat semula. Lalu ususmu ditalikan di sana, sehingga tidak terburai. Belum kau melaksanakan perintah itu, Sutawijaya langsung menyerangmu. Kau sekuat tenaga membalasnya dan berhasil memukul mundur. Kesempatan itu kau gunakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Sunan Kudus.
Sutawijaya pun kau pukuli hingga lemas. Tiba-tiba kau mendengar suara.
“Cepat, Gusti. Segeralah cabut keris dan bunuhlah Sutawijaya.”
Kau mencari suara itu, tidak jauh dari tempatmu menganiaya Sutawijaya. Ternyata Ki Juru Mertani. Kau memandangnya dengan rasa tidak percaya. Bagaimana mungkin ia yang antek Hadiwijaya, bisa menyuruhmu untuk membunuh Sutawijaya? Tapi sesaat kemudian kau juga mendengar suara lantang Sunan Kudus yang melarangmu untuk menuruti perintah Ki Juru Mertani.
Tapi dasarnya kau sudah dikuasai amarah. Kau mencabut kerismu. Kau lupa satu hal! Ya, semua ini karena amarah!
Usus pun terburai. Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhmu. Pandanganmu memburam. Kemudian menjadi gelap!
Jejak Imaji, 2023
*) Image by istockphoto.com