“Aku tak ingin azan lagi,” kata Pak Slamet kepada anak-anaknya, menantu-menantunya, dan cucu-cucunya yang tengah berkumpul di ruang makan.
Semua orang diam mendengar kalimat yang terlontar dari mulut pensiunan BUMN di kota B itu. Beberapa orang merasa lega dengan keputusan yang diambil oleh Pak Slamet, dan sebagian yang lain hanya diam saja, sambil menunggu-nunggu apa yang akan diucapkan oleh orang tua itu selanjutnya.
“Tapi, sebelum itu terjadi, aku ingin bertanya kepada kalian,” lanjut Pak Slamet.
Semua orang masih terdiam memandang ke piring dan hidangan di meja makan yang ada di hadapan mereka. Mereka hanya mendengarkan ketika orang tua itu melanjutkan kata-katanya.
“Apa benar-benar seburuk itukah suaraku ketika mengumandangkan azan?” tanya Pak Slamet dengan nada lirih dan getir, suara itu agak bergetar, seperti suara orang yang sedang menahan tangis.
Anak-anak, menantu-menantu, dan cucu-cucunya yang sudah agak besar hanya terdiam memandang meja makan karena mereka tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Mereka sangat menghormati dan menyayangi orang tua yang sedang bertanya itu. Dia adalah ayah mereka, mertua mereka, kakek mereka, dan tidak mungkin mereka berkata sembarangan kepada orang tua yang sebenarnya kesepian dan sebatang kara itu.
Namun, ketika mereka berkata jujur, mereka takut akan menyakiti hatinya, namun kalau tidak jujur orang tua satu itu pasti akan terus azan bahkan hingga akhir zaman. Tapi alasan yang sebenarnya adalah mereka merasa malu sekaligus segan.
Sampai kemudian kejadian dua hari yang lalu membuat Pak Slamet begitu terpukul, bukan terpukul di wajah atau tubuhnya, tapi pukulan telak yang mengenai hatinya, perasaannya; perasaan seseorang yang sudah tua, tak berdaya, perasaan tak berguna sebagai manusia. Ia mempertanyakan ulang keberadaannya di dunia.
Pasalnya Kang Diwan, tetangga Pak Slamet begitu terganggu dengan suara azan yang dikumandangkan oleh Pak Slamet. Kang Diwan sendiri adalah pria paruh baya yang berprofesi sebagai satpam di salah satu pabrik besar di kota itu. Ia dan Pak Slamet kebetulan bertetangga, dan jarak antara rumah mereka dan musala hanya seperlemparan batu saja.
Kang Diwan biasanya berangkat kerja dini hari, dan baru pulang ke rumah menjelang zuhur. Ia sebenarnya tidak pernah mempersoalkan azan, ia bisa selalu tidur dengan nyenyak pada jenis azan apa pun. Tapi ketika Pak Slamet yang azan, entah mengapa Kang Diwan begitu terganggu sekali dengan suara Pak Slamet yang menurutnya begitu buruk, fals, dan cempreng luar biasa. Sekali dua kali mungkin masih bisa dimaklumi oleh Kang Diwan, namun makin ke sini makin banyak laporan yang masuk ke kuping Kang Diwan. Maka masalah itu pun memuncak dua hari yang lalu, ketika Kang Diwan dan Pak Slamet ribut besar di halaman musala.
“Pak Tua, kau tidak usah azan di sini lagi, apa kau tidak sadar bahwa suaramu itu buruk, cempreng. Sudah urutan azannya kadang salah, keras lagi!” seru Kang Diwan dengan mata merah kurang tidur, sambil berjalan dari rumahnya menuju ke musala.
Mendengar kata-kata yang menyengat itu Pak Slamet kemudian keluar dari dalam musala dan berkata, “Mending suaraku jelek tapi buat azan, daripada memiliki suara bagus tapi tidak pernah untuk memanggil orang ke musala, untuk ibadah.”
“Masalahnya suaramu itu tidak memanggil orang untuk ke musala atau untuk beribadah, tapi untuk mengajak kelahi. Suaramu itu sangat buruk Pak Tua, sadar diri sedikitlah,” lanjut Kang Diwan yang baru pulang dari kerja, ia memang baru tidur beberapa menit, sebelum suara azan zuhur Pak Slamet mengagetkannya dan membangunkannya dengan paksa. Itu membuatnya uring-uringan.
“Oh, dasar bangsat! Sini kugampar mulutmu itu biar ngerti sopan santun!” teriak Pak Slamet, sambil mendekat dan menarik kerah baju Kang Diwan, lalu terjadilah keributan itu.
Satu pukulan Pak Slamet mendarat di mata Kang Diwan. Kang Diwan meskipun bertubuh agak besar tapi karena masih mengantuk kemudian terjungkal di halaman masjid setelah menerima pukulan. Orang-orang yang datang ke musala ingin salat zuhur kemudian mendekat dan mencoba melerai perkelahian dua tetangga itu.
“Orang yang kerjanya di dunia malam sepertimu memang ngerti apa soal azan, bangsat!” teriak Pak Slamet dengan wajah memerah menahan amarah kepada Kang Diwan yang masih tersungkur.
“Sudah-sudah Pak, sabar-sabar. Istighfar,” kata salah satu jamaah melerai, dan menahan Pak Slamet.
“Sabar bagaimana, dia menghina orang yang azan, menghina seseorang yang sedang memanggil umat muslim untuk menunaikan salat, dia menghinaku dan bilang kalau suara azanku buruk, memang celaka betul mulut busuknya itu.”
“Kaulah yang tak tahu diri Pak Tua, kau itu azan bukan untuk memanggil orang ke masjid. Tapi kau hanya ingin memenuhi egomu sendiri, nafsumu sendiri!” teriak Kang Diwan yang masih terduduk dan memegang matanya yang baru saja kena bogem mentah.
Mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Kang Diwan, Pak Slamet ingin sekali lagi menghajar Kang Diwan. Tapi dia ditahan oleh beberapa jamaah.
“Baik, kalau memang benar ucapanmu itu, mari coba kita tanyakan kepada jamaah di musala ini. Apakah benar suara azanku mengganggu mereka, mengganggu lingkungan ini?” tantang Pak Slamet
“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, apakah kalian setuju dengan kata-kata Diwan yang menganggap bahwa suaraku buruk?” tanya Pak Slamet kepada jamaah musala yang baru bubaran salat zuhur di halaman musala.
Orang-orang yang mendapatkan pertanyaan itu hanya diam saja, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Pak Slamet. Beberapa lama hening, para jamaah hanya saling pandang atau menunduk melihat paving halaman masjid. Pak Slamet yang melihat ekpresi para jamaah yang diam saja tentu tak menduganya, dan ia merasa kalah, ia merasa salah.
Suasana begitu hening. Sampai kemudian suara tawa Kang Diwan memecah kesunyian para jamaah dan Pak Slamet, “Hahahaha lihatlah sudah kuduga, bahkan semua jamaah di musala ini sependapat denganku,” ucap Kang Diwan penuh kemenangan.
“Kau lihat sendiri kan Pak Tua bagaimana ekspresi jamaah musala ini? Itu sudah cukup untuk menunjukkan segalanya. Oh iya satu lagi, aku tidak akan membawa tindak kekerasanmu ini ke polisi, perlu kau ingat aku sama sekali tak takut padamu, atau membencimu, tapi aku hanya kasihan. Bagaimana pun juga kau orang yang dituakan di sini.
Sejelek-jeleknya suara azanmu, aku tetap menghormatimu sebagai orang tua. Hanya aku yang berani mengatakan ini padamu, semua orang tidak ada yang berani menegurmu, tidak keluargamu, tidak pula para jamaah ini.
Kau ingat tetangga baru kita yang dua minggu lalu di sini? Kau tahu mengapa mereka pindah? Itu semua karena suara azanmu yang mengagetkan anak mereka yang masih kecil, sehingga setiap mendengar kau azan anak itu selalu menangis, menangis karena kaget. Tapi mereka tidak ada yang berani menegurmu, hanya aku yang berani, tahu kau kenapa aku berani menegurmu? Karena aku adalah tetanggamu.
Semoga dengan kejadian ini kau jadi lebih sadar diri Pak Tua,” lanjut Kang Diwan sambil berjalan pulang memegangi matanya yang bengap dan meninggalkan para jamaah yang diam kebingungan.
Pak Slamet yang mendengar kata-kata itu hanya terdiam terpaku ke tanah, sebelum kemudian ia dituntun salah satu jamaah untuk menunaikan salat zuhur berjamaah di dalam musala.
“Apa benar-benar seburuk itukah suaraku ketika mengumandangkan azan? Apa salahnya menghabiskan masa tuaku yang sudah dekat ajal ini dengan memperbanyak azan?” kata Pak Slamet dengan nada lirih dan getir bertanya sekali lagi kepada anak-anaknya, menantu-menantunya, dan cucu-cucunya yang jarang salat.
Suara Pak Slamet agak bergetar ketika menanyakan hal itu, seperti suara orang yang sedang menahan tangis. Dan semua orang yang ada di meja makan itu hanya diam, tidak berani melihat ke arah Pak Slamet yang sedang bertanya. Mereka hanya terdiam sambil melihat ke lantai, barangkali ada uang jatuh di sana, atau mungkin juga ada rasa malu dan air mata yang menetes di sana.
Purwokerto 2019—2024
*) Image by istockphoto.com







