Air mata Rahem kembali tumpah, melabuhi pipi kisutnya yang kering, menyatu dalam segaris lelehan yang sama dengan air mata anaknya, sebelum akhirnya menetes lepas, membasuh tanah dusun yang berkerikil. Ia dan anak bungsunya sama-sama menangis di halaman rumahnya. Isakannya memecah suara silir angin yang berembus dari kebun siwalan.

Anak bungsu laki-lakinya yang kurus terus merengek minta dibelikan bunga anggrek ungu, sebagaimana yang dimiliki teman-temannya. Sudah sejak dua minggu sebelumnya getah bibirnya tak berubah, selalu berucap perihal bunga anggrek ungu.

Jawaban Rahem selalu berupa upaya penghindaran agar anaknya urung membeli anggrek. Betapa tidak, uang yang ia punya setiap hari—dari hasil menjual rumput—untuk membeli makanan sehari-hari saja tak cukup, apalagi mau beli bunga anggrek ungu.

Biasanya, setelah bercakap tentang bunga itu, antara Rahem dengan anaknya, pasti berujung pada tangisan. Rahem menangis, anaknya menangis. Seperti yang terjadi hari ini, Rahem mendekap tubuh anaknya sambil menangis, anaknya pun tak henti mencucurkan air mata sembari memukul-mukulkan tangannya ke paha Rahem.

Raungan dan isak tangis keduanya memecah kecius angin. Menyaingi suara gesek rimbun daun siwalan di ketinggian.

Istri dan dua anaknya yang lain turut menangis. Mereka saling berpeluk di pintu rumahnya yang diparam debu, beserta coretan warna kelabu bekas kunyahan mulut rayap. Sesekali punggung istrinya menyenggol cagak pintu yang reot dan keropos.

“Belikan aku bunga anggrek ungu, Yah. Aku juga ingin bahagia memegang bunga anggrek ungu seperti Liman, Harun, Dedi, Reza, dan temanku yang lain,” rengek anaknya, menarik-narik baju Rahem.

“Iya, Nak. Ayah pasti akan membelikanmu bunga anggrek ungu, tapi nanti kalau Ayah sudah punya uang.”

“Ah! Jawaban Ayah selalu nanti, selalu bila punya uang, tapi tak kunjung punya uang!”

“Sabar, Nak! Sebentar lagi.”

“Pokoknya aku ingin anggrek ungu, Yaaah!!” Anaknya menjerit, tubuhnya dibuat melorot hingga jatuh dan berguling-guling di tanah. Rahem berusaha membuat anaknya terdiam dengan segala bujukan, sambil tak jeda titik-titik air matanya merembes, bikin kisut pipinya terlihat lembap dan mengilap. Anaknya terus berguling-guling sambil menangis, minta dibelikan bunga anggrek biru secepatnya.

#

Di sudut dapur bambu yang disesaki lintang sawang dan bedak debu, Rahem memanggil keluarganya untuk berkumpul. Derit lincak yang reot mengiringi obrolan mereka seputar rencana pembelian bunga anggrek ungu.

Cara yang ditempuh Rahem agar bisa membeli bunga anggrek ungu adalah dengan mengalihkan menu makan keluarganya dari jagung ke talas, agar uangnya yang sangat terbatas—dari hasil menjual rumput—bisa disimpan untuk membeli bunga dambaan anak bungsunya itu.

Istri dan anaknya setuju dengan usulan Rahem. Mata Rahem sangat teduh; haru mendengar persetujuan dari anggota keluarganya, terlebih dari anak keduanya yang masih kelas 2 SD, yang dengan tegas, juga siap mengunyah talas demi membuat adiknya bahagia.

Anak bungsunya tak kalah ceria. Ia melipat bibir bawahnya dengan sekulum senyum, duduk mengelus sepotong bambu di pojok rumahnya. Sepotong bambu yang bagian sampingnya sudah diberi warna merah dengan polesan pucuk jati, siap dijadikan pot mini jika bunga anggrek ungunya sudah ada.

Hari pertama sarapan talas, cukup membuat bibir semua anggota keluarganya kecut dan hambar. Itu terlihat dari wajah-wajah mereka yang tampak meringis saat makan. Ada dorongan luapan dari dalam di tenggorokannya, seperti ingin muntah.

Hari kedua, kembali anggota keluarganya memunguti sepotong demi sepotong talas rebus di atas tampah bambu. Diselingi tegukan air saat jeda dari kunyahan. Pedih sekali hati Rahem melihat anggota keluarganya kerap mengernyitkan dahi saat makan talas itu, tapi saat ia melirik wajah si bungsu, terlintas sebuah benda; bunga anggrek ungu.

Uang yang ia simpan di dalam saku bajunya masih beberapa lembar dan itu belum cukup untuk membeli anggrek ungu. Rahem semakin rajin menyabit rumput dan menjajakannya ke tetangganya. Uang yang terkumpul di hari kedua masih belum cukup, sedang rumput di ladangnya mulai menipis, hanya cukup untuk besok pagi.

“Jika sampai besok pagi uang masih belum cukup, dari mana aku harus mendapatkan uang, sementara rumput sudah tak ada?” gumam Rahem setengah cemas, seraya membayangkan kuntum senyum di bibir anak bungsunya lenyap, berubah isak tangis. Ia bergidik.

#

Usai salat subuh, saat pedusunan masih disampir embun, ketika di ufuk timur hanya ada garis-garis cahaya kekuningan, istri Rahem memanggil anak bungsunya dengan suara keras dan mengulanginya beberapa kali.

Wanita yang masih menggunakan mukena itu tak beranjak dari tempat ia berdiri di halaman. Tangannya terus memberi isyarat agar anak bungsunya lekas mendekat. Ia tetap tak mengalihkan pandang, bola matanya hanya tertuju ke atap rumahnya yang terbuat dari rajutan rumbia.

“Ayo keluar semuanya! Ada bunga anggrek tumbuh di atap rumbia!” lengking suaranya menggolok angin.

Rahem beranjak ke jendela, mengintip apa yang  terjadi di luar. Ia melihat anak bungsunya berdiri di samping istrinya, tengah tersenyum dan melompat-lompat girang. Istrinya turut bahagia. Keduanya melompat-lompat, sembari mengacungkan jempol ke atas, ke arah datar atap rumbia yang menakar setangkai bunga.

“Hore! Aku sudah punya bunga anggrek ungu!” Anak bungsunya bersorak.

Rahem segera keluar, melihat bunga anggrek ungu. Rumpun bunga itu memamerkan dua kelopaknya yang sedang rekah. Cekungan kelopaknya basah dicucup embun. Warnanya yang ungu kian jelita karena kontras dengan warna anyaman rumbia. Dua bunga itu bergetar pelan digesek-gesek angin pagi.

Beberapa saat, setelah luapan kegembiraan membuat Rahem tersenyum, tiba-tiba ingatannya berbalik ke masa silam, ketika ia masih kanak-kanak, di bawah asuhan paman dan bibinya.

Saat itu, ada salah satu rumah penduduk yang atapnya ditumbuhi anggrek ungu. Pemilik rumah itu sangat bahagia. Semua penduduk datang berbondong menyaksikan kejadian unik itu.  Setelah beberapa hari, karena si pemilik rumah khawatir bunga anggrek itu hilang atau tercerabut mati, ia pun memindahkan bunga itu ke dalam sebuah pot di ruang tamu. Sontak semua ruangan diruap wangi yang begitu lembut. Anak si pemilik rumah itu sangat bahagia. Ia tak henti memamerkan bunga indahnya itu kepada teman-temannya, seraya ia pegang, ia elus, dan ia cium.

Malam harinya tersiar kabar, bunga itu hilang beserta anak si pemilik rumah. Sebagian warga yang kebetulan sedang tugas ronda malam, melihat bunga itu melesap ke langit membawa anak si pemilik rumah yang masih tidur pulas.

Keluarga si pemilik rumah lantas ribut dan menanggung luka yang dalam karena anaknya hilang beserta bunga unik yang ia temukan. Menurut cerita tetua, bunga anggrek ungu yang tumbuh di atap itu sebenarnya perangkap Tonglentong[1] untuk menangkap anak-anak sebagai makanannya.

“Ayo ambil bunga itu, Yah!” suara anak bungsunya tiba-tiba membuyarkan kenangan Rahem. Ia menoleh ke wajah anak bungsunya yang cerah gembira.

“Tunggu satu atau dua hari lagi, bunga itu akan Ayah ambil untukmu,” janji Rahem, menepuk bahu anaknya.

Selama dua hari ia minta pendapat para tetua mengenai bunga itu. Ada dua pendapat dari para tetua. Sebagian mengizinkan bunga itu diambil karena bunga yang tumbuh di atap rumbia adalah hal biasa. Kemungkinan ada seekor burung pernah menjatuhkan biji anggrek di atap itu, tepat mengeram ke debu yang bertumpuk di sela daun rumbia. Sebagian tetua yang lain melarangnya karena bunga itu dianggap sebagai perangkap Tonglentong untuk menculik anak-anak.

Selama dua hari Rahem menimbang keraguan, keputusan mana yang hendak ia ambil, sementara anaknya terus merengek, memukul-mukul dan menjerit. Rahem kerap menelisik ke atap rumbia. Bunga itu semakin ranau, dedaunnya lebar menggelepar bergetar-getar oleh angin, warnanya semakin cerah, mirip licin pipi perawan berkulit kenyal.

Ia berjanji akan mengambil bunga itu keesokan harinya kepada anak bungsunya, sembari berpikir keras tentang keputusan tepat yang hendak diambilnya. Jika diambil, itu demi anaknya agar bahagia punya bunga yang diidamkan. Jika tidak diambil, itu juga demi anaknya, khawatir bunga itu benar-benar perangkap Tonglentong yang akan mencuri anaknya.

Akhirnya Rahem mengambil jalan tengah. Ia tidak mengambil bunga itu untuk anaknya, tapi juga tak ingin bunga itu tetap bertengger di atap rumahnya agar anaknya tak terus meminta ia mengambilnya. Saat tiba dini hari—ketika semua keluarganya tidur—ia mengambil tangga bambu, memanjat lewat samping rumahnya, lalu pindah meniti sebatang usuk yang ia anggap paling kokoh. Perlahan bergerak menuju arah bunga itu, bayang bulan berkilau tipis pada lelehan peluh yang burai di tubuhnya.

Hanya tinggal sejengkal saat tangannya hendak meraih bunga itu, tiba-tiba usuk yang ia naiki patah. Rahem terpelanting jatuh ke tanah. Juntai sebagian daun rumbia turut runtuh menyelimuti tubuhnya. Rahem tak bisa bergerak, tak bisa bersuara, dan sulit bernapas.

Dari datar tanah yang dingin, sepintas dengan samar, matanya sempat menatap bunga anggrek itu; runduk dalam dekap cahaya bulan. Rahem berpikir, ternyata bunga itu bukan untuk anaknya, tapi untuk dirinya, sebagai penyebab kematiannya.

Ada sekelebat tangan gaib bergerak halus memungut bunga itu dari atap rumahnya. Membubung ke langit bersama ruh Rahem yang terasa mulai ringan. Bersama bunga itu, Rahem semakin jauh, melewati kabut, menyusur tangga-tangga langit, hingga di alam yang entah apa namanya, ia berdoa agar besok anak bungsunya tak menangis lagi.[]

Gaptim, 02.09.18


[1] Jenis makhluk halus yang jahat dalam kepercayaan orang Sumenep.