KURUNGBUKA.com – Bukan hanya anak yang bisa dieksploitasi, istilah pun bisa. Ambil contoh istilah ”berkelanjutan”.
Tahun 2025, istilah berkelanjutan digunakan hampir di semua program pemerintah pusat. Ia seperti penjamin mutu, mantra sakti dalam wacana-wacana publik: di bidang ekonomi, pendidikan, literasi, lingkungan, pariwisata, bahkan politik. Kesadaran yang terlambat menampar kita: istilah itu jargon belaka, akal bulus untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya. Persis seperti konsep tipu-tipu kata hijau yang dilekatkan pada kata ’ekonomi ’dan ’gaya hidup’ dalam pembangunan IKN.
Apa makna kata berkelanjutan?
Di KBBI Daring, lema berkelanjutan diterakan dengan: v. berlangsung terus-menerus; berkesinambungan. Konsep itulah yang tampaknya diserap mentah-mentah oleh banyak pengambil kebijakan kita, tanpa dicek dan ricek lebih jauh.
Istilah berkelanjutan mengacu pada konsep pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang. Ia kita serap dari bahasa Inggris, sustainable, yang pertama kali muncul dalam Our Common Future, atau lebih sering disebut dengan Brutdland Report pada tahun 1987 oleh World Commission on Environment and Development (WCED). Saat itu, WCED sedang dipimpin Gro Harlem Brundtland.
Konsep yang digagas Brundtland merujuk pada pembangunan sosial dan ekonomi yang dapat meningkatkan sumber daya alih-alih merusaknya. Untuk tujuan itu, kata Brundtland, diperlukan sebuah distribusi kesejahteraan yang lebih merata, untuk memberantas kemiskinan massal dan global, dengan tetap membuka kesempatan akan masa depan yang lebih baik. Brundtland membuka laporan itu dengan keprihatian yang muram: bahwa tak pernah terbayangkan baginya, manusia dan teknologi mampu memengaruhi peredaran planet secara radikal.
Jika merujuk pada laman Leipzig Corpora Indonesia, istilah berkelanjutan terkait dengan kata pengelolaan, pertumbuhan, daya, pembangunan, sustainable, lingkungan, program, sumber, pengembangan, pertanian, ekonomi bahkan obligasi. Laman yang merekam jejak kemunculan kata di media sejak 2013 itu juga memaparkan contoh-contoh kemunculan kata berkelanjutan seperti berikut.
Warga yang sudah memiliki ketrampilan membuat nata de coco akan didampingi secara berkelanjutan.
Hal apa yang ada dalam pariwisata berkelanjutan menjadi pusat perhatian dunia dan penting untuk diterapkan?
Pada pemakaian selanjutnya, kita melihat bagaimana kata berkelanjutan tampaknya sekadar menjadi tren kebijakan. Kata itu dapat dimaknai sebagai sesuatu yang modern dan visioner meskipun pada kenyataannya, jarang ada tolok ukur keberhasilan juga evaluasi program-program yang dibebani label berkelanjutan.

Food Estate di Papua Selatan memberikan kita kenyataan pahit itu. Kata berkelanjutan pada proyek lumbung pangan nasional mengkhianati dengan telak konsep pembangunan berkelanjutan yang digagas Brundtland.
Ideologi istilah berkelanjutan yang kita konsumsi adalah sesuatu yang inovatif, unggul dan tentu saja prorakyat. Namun, itu bukti bagaimana bahasa selalu bisa dibengkokkan dan negara selalu punya cara untuk tidak membiarkan kita benar-benar memikirkan: apakah program-program pemerintah yang ditawarkan benar-benar inovatif. Jangan-jangan, istilah berkelanjutan dipakai untuk menutupi program yang B aja atau malah tidak relevan sama sekali.
Di atas kertas, juga pada praktik penggunaannya yang masif di Indonesia, kita semakin diyakinkan bahwa kata berkelanjutan hanya dipakai untuk menimbulkan kesan positif, benar-benar memikirkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, bukan semata untuk membungkam para aktivis lingkungan. Di Papua Selatan, kita tahu, konsep mulia itu sungguh jauh panggang dari api.
*) Image by Yayasan Pustaka Bentala Rakyat
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<







