“Parit itu sudah menyerupai danau dan terusan-terusannya sudah seperti sungai. Arus airnya sangat deras dan berputar-putar membentuk pusaran air. Bahkan, orang yang paling tolol sekalipun bisa melihat karena curah hujan musim panas belum juga datang, kemungkinan besar tahun itu aka nada bencana banjir. Berarti semua orang besar-kecil, tua-muda, laki-laki maupun perempuan akan kembali kelaparan. Wang Lung berlari tergopoh-gopoh memeriksa tanahnya dan Ching mengikutinya di belakang tanpa berkata sepatah pun bagai bayangan. Dan, mereka bersama-sama memperhitungkan petak tanah yang masih bisa ditanami padi dan petak tanah yang sebelum ditanami sudah dilanda banjir lebih dulu. Sewaktu melihat terusan air itu sudah hampir menyentuh tepinya, Wang Lung mengutuk dengan hati jengkel.”

(Pearl S Buck, Bumi yang Subur, Gramedia Pustaka Utama, 2008)

KURUNGBUKA.com – Yang bekerja di tanah senantiasa mendapatkan untung dan rugi. Di sawah, kaki mereka yang berpijak dan tangan yang bekerja tidak dijamin dalam kelancaran. Sawah memang memberikan berhak tapi tak lupa memberikan tantangan-tantangan, yang menjadikan petani harus bersikap. Di sawah, segala yang berlalu dan yang bakal datang biasanya memberi pesan-pesan yang semestinya menjadi pelajaran.

Petani jangan abai dan membiarkan segala pelajaran tanpa renungan. Maksudnya, yang mengolah tanah dan berpikiran hasil panen berada dalam alur yang tidak menentu. Yang cermat dan waspada bakal mengetahui hal-hal yang baik-buruk, benar-salah, dan tabah-marah. Maka, yang diceritakan Pears S Buck adalah dunia petani yang tidak selamanya memunculkan kesederhanaa, kebahagiaan, ketulusan, dan lain-lain. Pada suatu saat, petani dalam bimbang, kekacauan, dan kemarahan.

Tanah yang membutuhkan air. Yang diharapkan petani adalah tanah yang subur. Pengairan menjadikan bertanam menimbulkan harapan keberhasilan. Air yang secukupnya, bukan air yang berlebihan. Di kesungguhan menggarap tanah, air memberi nyawa yang kehadirannya bisa menimbulkan persaingan atau sengketa. Air yang mengaliri sawah-sawah, yang dinginkan para petani untuk hidupnya tanaman.

Mereka tidak menginginkan air yang merusak atau membunuh. Air yang tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan petani. Air dalam pengisahan yang lain. Pada sawah-sawah, kita melihat adanya aliran air. Namun, kita tidak selalu melihatnya dengan tatapan kehidupan. Air yang datang dengan cepat dan menerjang adalah kekuatan yang memusnahkan impian dan harapan. Petani dalam kerugian dan kekhatiran atas hidup.

Petani dalam waktu yang bergegas harus membuat keputusan-keputusan. Ia masih bisa menghindari atau mengurangi petaka dengan mengetahui kondisi tanah dan kemauan air. Petani yang menyadari dampak-dampak jika telat dan gagal. Bekerja di tanah bukan peristiwa yang ditentukan keajaiban-keajaiban. Pikiran, keringat, dan sikap yang mendesak kadang membuat segala keputusan tampak penting dengan risiko yang terlalu besar.

Pada akhirnya, petani tidak selamanya menerima nasib. Petani yang berusaha sabar dan menjawab segala sulit bisa menyerah. Yang memerlukan untuk mengetahui beberapa kemungkinan kadang menyatakan kemarahan. Ia yang merasa sedang “dipermainkan” atas nasib yang ditentukan oleh tanah dan kekuatan air. Di novel Bumi yang Subur, pembaca mengolah perasaan mengikuti petani yang mengolah tanah dan mengurusi air.

Bertani itu jangan gampang dianggap “tradisional” atau “kolot”. Yang terbaca adalah “keberanian” yang mengikuti kondisi dan jebakan nasib, yang cepat berubah atau luput dari keyakinan. Di sawah, pertunjukan petani atas nasibnya sering berganti dan memberi cerita-cerita yang belum perlu tergesa mendapat tepuk tangan atau dinyatakan dengan air mata. Yang bersama tanah dan air, yang beruntung dan merugi berdasarkan keputusan yang “mendesak” saat musim-musin selalu berganti.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<