KURUNGBUKA.com – Beberapa bulan yang lalu, cerita bersambung yang dibuat Kuntowijoyo terbit menjadi buku. Banyak yang menuruti rasa ingin tahun dengan membeli dan membaca. Konon, cerita itu ditulis dalam masa awal Kuntowijoyo sebagai pengarang. Lumrah saja orang-orang ingin mengetahui mutu pengisahan, sebelum Kuntowijoyo terpuji dengan novel-novel berjudul Khotbah di Atas Bukit, Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan lain-lain.
Namanya sering disebut dalam arus penulisan novel dan cerita pendek di Indonesia. Buku-bukunya yang memuat cerita pendek termasuk yang mendapat pengakuan terpuji. Pelbagai cerita yang dibuatnya sering memikat, yang dijadikan kutipan bagi orang-orang yang mau membicarakan agama, politik, keluarga, sejarah, dan lain-lain. Di jagat sastra, Kuntowijoyo masuk dalam daftar nama penting, yang pengaruhnya besar. Pengaruh itu terutama melalui penjelasan-penjelasan dalam esai. Yang paling sering teringat adalah “sastra profetik”. Gagasan dan sodoran penjelasannya masih dipelajari sampai sekarang.
Yang mengoleksi buku-buku Kuntowijoyo kadang ingin mengadakan pemilahan. Deretan novel dan buku berisi cerita pendek ada di satu rak. Di bagian lain, ada buku-buku mengenai agama. Padahal, orang yang membeli dan mengoleksi buku itu sadar bahwa Kuntowijoyo rajin menulis tentang sejarah. Maka, deretan buku sejarah disendirikan. Yang tanpak sedikit dan longgar mungkin di deretan puisi.
Sejak muda, Kuntowijoyo tekun menggubah puisi. Ada yang takjub saa membaca puisi tipis yang berjudul Isyarat dan Makrifat Daun, Daun Makrifat. Ada yang malah memberi perhatian besar kepada buku yang berjudul Suluk Awang Uwung. Yang ingin merenung lama dan panjang biasanya memilih menghadapi puisi-puisi guubahan Kuntowijoyo, setelah banyak orang yang memilih menikmati novel-novelnya.
Kuntowijoyo tercatat dalam arus perkembangan puisi. Siapa yang sudah berhasil mendokumentasi semua puisi gubahanh Kuntowijoyo yang terbit di majalah, koran, jurnal, atau yang masih di lembaran kertas? Mengapa belum ada penerbitan buku berisi koleksi puisi lengkap Kuntowijoyo? Kita menduga bukunya tidak akan terlalu tebal tapi penting bagi yang ingin mengenali keutuhan Kuntowijoyo dalam persembahan tulisan di Indonesia, dari masa ke masa.
Di Budaja Djaja edisi November 1974, kita menemukan empat puisi yang digubah Kntowijoyo. Puisi-puisi yang tidak diberi keterengan tahun penulisan. Jadi, yang ketahui cuma tahun pemuatan.
Kita membaca puisi yang berjudul Pabrik. Pada masa lalu, orang mengingat “pabrik” itu novel yang ditulis Putu Wijaya. Kita menikmati “pabrik” yang disajikan melalui puisi, yang berbeda dengan pengisahan dan motif-motif Putu Wijaya. Dua pengarang itu menanggapi zaman, menguak Indonesia yang sedang berubah. Tanda besar adalah pabrik.
Yang ditulis Kuntowijoyo: Di sini dilahirkan raksasa/ bertulang besi bersaraf baja/ tidak perlu nyanyi/ dan ninabobo bidadari/ Berjalan sedetik sesudah turun dari kandungan/ melambaikan tangan/ Aduh, jari-jarinya gemerlap bagai halilintar/ Laki-laki dan perempuan/ datang menghormat/ ia pun mengulurkan tangan/ untuk dicium. Yang mengingat Orde Baru mengetahui seruan Soeharto tentang indutrialisasi. Bukti kemajuan Indonesia adalah pembangunan pabrik-pabrik. Bisingnya menciptakan optimisme menjadi negara maju atau sejahtera. Pabrik-pabrik mengesahkan Indonesia itu negara yang bertema buruh.
Ada pihak-pihak yang menyatakan pabrik bakal mengubah Indonesia, tidak selalu menjadi negara miskin atau negara berkembang. Pabrik mengubah banyak hal, yang inginnya sesuai dengan UUD 1945 dan GBHN. Adanya pabrik memungkinkan Indonesia bisa disebut “negara industri”, tidak selesai dengan “negara agraris”. Namun, pendirian pabrik-pabrik di pelbagai tempat malah menimbulkan beragam masalah, yang memberi akibat-akibat buruk.
Selanjutnya, Kuntowijoyo menulis: Sesungguhnya ia dilahirkan dari rahim bumi/ oleh tangan lelaki/ Sesungguhnya ia dicipta dari tanah/ untuk membantu ayah/ menggembala kambing dan menyabit rumputan/ Sayang, mereka sangat memanjakannya/ hingga raksasa itu jadi anak nakal/ mengganggu ketentraman tidur. Kita diajak mengingat pertumbuhan jumlah buruh pabrik ketimbang petani atau peternak di desa. Kaum muda dan tua dipanggil pabrik-pabrik untuk bekerja dan menerima gaji, yang mengubah cara hidup dan pandangannya atas dunia. Pabrik seolah kebalikan dari angan melestarikan pertanian.
Di bait terakhir, Kuntowijoyo tidak sedang berkhotbah di mimbar atau berorasi di jalan. Dua lrik yang penuh peringatan: Awaslah, jangan lagi engkau melahirkan/ anak-anak yang bakal jadi pembunuhmu. Kita mengira puisi itu kritik atas pembangunanisme di Indonesia. Kuntowijoyo sedang bersedih mengatahui Indonesia adalah album pabrik yang bising dan menghasilkan polusi kehidupan.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<