Kalian tahu kan rasanya bangun pagi dan merasa sepi padahal rumah penuh? Aku mengalaminya berkali-kali. Kadang terdengar suara sendok di dapur, pintu kamar mandi diketuk, atau keran air menetes tanpa henti. Tapi tak satu pun suara itu terasa ditujukan untukku. Bahkan bayanganku di cermin pun rasanya sedang menatap orang lain.

Pernah suatu pagi aku menyapa tetanggaku yang biasa mengeluh tentang harga cabai. “Pagi, Bu Tuti,” kataku. Ia menatapku datar. Lalu melangkah pelan seolah tak pernah mengenalku. Aku berdiri di situ cukup lama, bertanya-tanya apakah aku sedang hidup di dunia yang sudah mengganti penduduknya tanpa pemberitahuan.

Televisi tetap menyala setiap malam. Aku masih bisa menyentuh remote, mengganti kanal. Tapi saat wajahku terpantul di layar hitam saat TV mati, ada rasa asing yang tak bisa kupahami. Seolah aku cuma bayangan tak sengaja—sisa seseorang yang pernah penting.

Aku mencoba menelepon teman. Nada sambung berbunyi, tapi tak ada yang mengangkat. Ada satu yang mengangkat, tapi suaranya gemetar, “Maaf, ini siapa ya?” Lalu putus.

Malam itu aku menangis di pojok ranjang. Bukan karena kesepian. Tapi karena dunia terasa terus bergerak tanpa ruang untukku. Seperti aku ini salah satu folder yang terhapus diam-diam oleh komputer semesta, tanpa dikirim ke Recycle Bin.

Semenjak malam itu, aku tahu: aku sudah dilupakan.

Bukan dilupakan seperti orang-orang lupa mematikan kompor, atau lupa ulang tahun. Ini semacam dilupakan oleh dunia. Wujudku masih ada, tapi nama, kenangan, dan keberadaanku seperti dihapus pelan-pelan dari kepala orang lain. Bahkan mbak-mbak warteg langganan menatapku seperti melihat daging tanpa sejarah. Ia menyodorkan nasi tanpa sambal kesukaanku.

Ibuku, yang tiap pagi biasa menelepon cuma buat nanya, “Udah makan belum?”, kini suaranya berubah datar. Ia menyebut namaku dengan ragu, seperti sedang mengira-ngira sesuatu yang pernah penting tapi tak lagi bermakna. Kakakku menyapaku dengan nama orang lain—“Eh, kamu temennya Adit, ya?”

Aku menatap cermin, menepuk pipiku. Masih terasa. Tapi bayanganku samar, seolah cermin pun ikut ragu siapa yang sedang berdiri di hadapannya. Aku tersenyum, tapi pantulannya tidak.

Dan sejak malam itu pula, aku mulai melihat tikus-tikus itu. Banyak sekali. Mereka bukan jenis pengerat biasa. Tubuh mereka abu-abu tua, matanya hitam pekat, dan mereka selalu datang berbaris rapi, duduk melingkar di bawah tempat tidurku.

Tikus-tikus itu tidak mengeluarkan suara. Mereka hanya duduk diam, menatapku. Kadang mereka membawa potongan-potongan kertas kecil di mulutnya. Kadang, potongan-potongan itu bertuliskan bagian hidupku: hari pertama sekolah, surat cinta tak terkirim, nama panggilan dari mantan.

Suatu malam, aku nekat menyapa mereka, “Apa kalian tahu siapa aku?”

Salah satu dari mereka menyeret potongan kertas ke kakiku. Di situ tertulis: Yang selalu duduk paling belakang di kelas matematika. Aku menangis. Itu benar. Tapi itu juga hal yang bahkan aku hampir lupakan.

Sejak malam itu, tikus-tikus itu seperti jadi penjaga museum diriku sendiri. Setiap malam mereka mengembalikan sepotong kecil yang hilang. Tapi anehnya, tak satu pun dari mereka bicara. Mereka hanya bekerja diam-diam, seolah menyusun kembali puzzle tentangku.

Tapi tak semuanya menyenangkan. Suatu malam, mereka menyeret sepucuk surat berlumur darah. Di baliknya ada tulisan tanganku: Aku minta maaf, sudah menyerah. Itu surat yang dulu tidak jadi kukirim pada seseorang—atau mungkin untuk diriku sendiri.

Ada malam ketika tikus-tikus itu datang lebih banyak dari biasanya. Mereka menyerbu kamarku, membawa catatan-catatan yang lebih tua, lebih usang, lebih berdebu dari ingatanku. Salah satu kertas berisi puisi yang aku tulis saat SD, tentang bintang dan bekal kue kering. Aku tersenyum getir.

Di lain malam, mereka menggali dari bawah lemari dan menyeret sepatu bolong yang dulu kubuang karena malu. Aku menatap sepatu itu lama, lalu memakainya diam-diam. Ternyata masih pas. Mungkin kenangan juga begitu—masih pas, walau dulu terasa menyakitkan.

Lama-lama aku merasa tidurku bukan lagi tidur, tapi perjalanan kembali. Tiap malam, aku diseret turun ke lubang waktu, ditonton oleh para tikus penjaga identitas. Mereka menari di sekelilingku, menaburkan nama-nama kecil yang pernah kugunakan dalam game, email, dan akun rahasia.

Mereka tahu segalanya. Termasuk yang kupendam dan kupikir akan terkubur. Mimpi jadi penyanyi. Ketakutan kehilangan ayah. Hasrat yang kotor. Semua. Tikus-tikus itu mengumpulkannya tanpa penghakiman. Mereka mengarsip.

Aku mulai mengikuti salah satu tikus itu siang hari. Ia menyelusup ke lubang di tembok apartemen, membawa secarik kecil foto. Aku membuka lubang itu dan menemukan lorong sempit yang berakhir di sebuah ruangan luas, remang-remang, dipenuhi laci dan lemari kecil. Di dalamnya tersimpan… aku.

Potongan hidupku. Tulisan tanganku. Boneka rusak waktu kecil. Foto sobek. Nada dering lama. Bahkan bau kamar semasa remajaku. Semua tertata rapi seperti arsip negara. Dan para tikus-tikus itu mondar-mandir seperti pegawai kantor arsip yang setia.

Aku duduk di tengah ruangan itu. Ingin menangis. Ingin berteriak. Tapi tak ada suara keluar. Lalu aku melihat sebuah map besar bertuliskan “Nama yang Telah Dihapus.” Aku membukanya. Di halaman pertama, ada namaku. Dicoret. Lalu ditulis kembali. Lalu dicoret lagi.

Aku bukan siapa-siapa lagi di dunia luar, tapi di tempat ini, aku masih lengkap. Terbaca. Terdengar. Diingat.

Aku menyentuh map itu. Tikus-tikus berhenti bekerja. Mereka menatapku. Salah satunya berjalan mendekat dan meletakkan satu kata di tanganku: Pulang.

Sejak malam itu, aku tak lagi mencoba mengingat siapa yang lupa padaku. Aku duduk di kamar, membuka map demi map. Tikus-tikus datang dan pergi, tak pernah berbicara, tapi kehadiran mereka menghibur lebih dari manusia yang menyebut namaku dengan ragu.

Ternyata, yang paling menyakitkan bukan dilupakan orang. Tapi lupa pada diri sendiri. Dan di dunia yang terlalu bising ini, aku menemukan sepi yang menyimpan aku lebih baik dari siapa pun.

Aku mulai menulis ulang namaku di dinding. Di buku harian. Di napas sendiri. Di detak jantung yang kadang ingin berhenti, tapi tetap berdetak karena tikus-tikus itu bilang, “Masih ada yang harus diingat.”

Ada pagi ketika aku keluar dari kamar dan melihat dunia tetap sibuk. Orang-orang menyapa satu sama lain tanpa pernah melirikku. Tapi aku tenang. Di dalam diriku, aku utuh. Tikus-tikus itu telah menyusunnya dengan rapi.

Mungkin kelak, ketika dunia butuh mengingatku lagi, mereka bisa bertanya pada para tikus. Karena mereka satu-satunya yang tahu: siapa aku, kapan aku hilang, dan bagaimana aku tetap ada.

*) Image by istockphoto.com