Semasa hidupnya, seringkali malam hari saat ia tengah duduk di berugak bersandar di tiang, ia sering berpesan kepada cucunya, untuk menjadi anak yang penurut. Terutama sekali kepada kedua orang tua. Lalu ia akan bercerita tentang kehidupan keluarga-keluarga di Lelenggo, kebanyakan tentang keluarga yang telah mati, hanya beberapa kali saja tentang orang yang masih hidup, namun tetap ia berkata tentang mereka seolah mereka telah tiada.             

“Dulu Maq Merdip, mati ditimpa pohon gara-gara kutuk ibunya,” katanya pada suatu malam.  

Maq Merdip memang benar-benar mati ditimpa pohon. Saat ia berjalan dengan terbungkuk-bungkuk dari rumahnya, hendak pergi minum tuak. Sebelum ia sampai, mendung yang sebelumnya menggantung di langit menjelma menjadi hujan lebat. Belum sempat ia mencari tempat berteduh atau mencari daun pisang seperti yang ia pikirkan, ia telah basah kuyup. Sedikit pun ia tidak berpikir hidupnya akan berakhir ketika angin tiba-tiba berhembus kencang disertai petir; tiba-tiba  saja sebatang pohon enau yang memang sudah miring, tumbang dan menimpa dirinya. Pagi sekali, Sumir menemukan tubuhnya telah kaku, tertindih pohon yang hitam mengilap, dalam keadaan masih basah kuyup; dirayapi dua ekor ulat berwarna kuning tua.  

“Kamu kira kata-kata ibumu ndak manjur. Maq Merdip sudah buat ibunya hampir mati kelaparan. Uang yang dicari susah-payah dia bawa pergi main judi.” Naq Colaq mengelus-elus betis sambil memandang kejauhan; ke utara rumahnya. Beberapa saat sorot matanya masih menunjukkan gairah untuk memberikan petuah kepada cucunya yang datang sore tadi dari desa. Pelan-pelan, kegairahan itu surut, dan ia memandang kosong. Salah satu tangannya masih tergeletak di atas betisnya yang penuh bekas luka berwarna putih, sedang tangan lainnya tergantung di sampingnya.

Ia ingat ketika Maq Merdip setiap menjelang malam mendatangi rumahnya untuk minum tuak. Maq Merdip datang tanpa memakai sandal, tanpa baju, hanya kain yang itu-itu saja. Lusuh, penuh jahitan, dan benang di bagian bawahnya terjuntai-juntai. Sebelum mencapai jebak, ia akan berteriak memanggil Naq Colaq, menyebutnya orang selaq. Lalu keluhan-keluhan tentang hidupnya yang semakin hari semakin tidak layak dijalani berhamburan keluar dari mulutnya, sampai ia duduk lama di berugak. Keluhan itu akan diiringi sumpah serapah jika Naq Colaq telah keluar dan membawa sekopek tuak.   

Sebagaimana kepada cucunya dan kepada kebanyakan orang yang ia temui atau yang mendatangi rumahnya, Naq Colaq memberikan nasihat-nasihat. Panjang, sampai tidak jarang ia sendiri tidak tahu awal mula dan hendak kemana nasihatnya. Disinari lampu teplok yang tergantung di atasnya, ia menceritakan tentang orang-orang yang lebih menderita daripada Maq Merdip. Tentang Sumir yang ditinggalkan menikah oleh istrinya yang terlahir dalam keadaan sekujur tubuhnya penuh abong, menikah dengan laki-laki yang tidak lebih baik dari dirinya. Tentang suaminya yang suatu hari diracun orang lantaran sedikit harta benda warisan orang tuanya yang baru saja meninggal dunia. Orang-orang yang bahkan tidak pernah lahir ke dunia kemudian tercipta dari imajinasinya saat tuak mulai membuatnya lupa diri. Biasanya, tengah malam, nasihat itu akan menjelma menjadi umpatan dan sumpah serapah, dan ia akan mengungkit kesalahan orang-orang yang dahulu sekali, kesalahan orang-orang kepada orang tuanya, juga kepada mendiang suaminya.     

“Yang bunuh sapi saya dulu itu mudahan dia mati, mudahan dia mati ditimpa pohon,” katanya dengan serak suatu malam.

Maq Merdip juga tengah mabuk berat. Sudah dua kali ia berteriak ke bukit di seberang, kepada satu titik cahaya dari sebuah rumah. Ia berteriak menantang, mengajak berkelahi.  

“Mudahan dia mati ditimpa pohon,” teriak Naq Colaq lagi.

“Saya yang bunuh sapi kamu!” balas Maq Merdip. “Kamu mau apa? Mau lawan saya! Ayo!” Ia mengacungkan kedua tangannya ke udara. Bukannya bersiap berkelahi, ia justru terlihat seperti hendak menggendong bayi.

Menjelang tengah malam, perkelahian tak terelakkan. Maq Merdip terus mengungkapkan bahwa dirinya telah melakukan begitu banyak kesalahan kepada Naq Colaq. Remah-remahan gayas berhambur keluar dari mulutnya. Botol yang telah kosong dibanting ke halaman. Cobek yang tergeletak di sampingnya, yang tidak tahu apa-apa tentang persoalan dirinya, dilempar juga.  Menimpa piring besi yang biasa dipakai Naq Colaq untuk memberi makan anjingnya. Menimbulkan suara yang membuat Naq Colaq terkejut. Kesal, perempuan tua itu mengumpat sejadi-jadinya. Sumpah serapah berhamburan keluar dari mulutnya, kata-kata yang tidak mungkin mampu ia ucapkan jika ia tidak mabuk berat dan tidak terkejut sedemikian rupa. Ia mengutuk keluarga Maq Merdip dan menyebut Maq Merdip anak yang lahir ke dunia dari rahim setan. Amarahnya sedemikian hebat, sampai-sampai ia masih menyumpah serapah bahkan ketika Maq Merdip telah lama pergi. Saat ia mendengar teriakan Maq Merdip di tengah kebun kopi, ia berteriak lantang, mengutuk Maq Merdip mampus ditimpa pohon. Tapi sedikit pun ia tidak ingat bahwa dirinya pernah mengutuk Maq Merdip saat ia memberikan nasihat kepada cucunya.

“Tulang punggungnya ini,” katanya sambil meraba punggungnya, “Hancur! Remuk!”

Cucunya manggut-manggut dan tampak meringis seperti ikut merasakan sakit. Kepalanya yang gundul dan penuh boke tertunduk. Berkilau diterpa sinar lampu yang tergantung dengan dua utas kawat di atasnya, kekuningan di bagian boke-nya. Lalat yang masih mencari makan meski malam hari, satu-dua, hinggap dan berjalan bebas di kepalanya. Ia tidak menggubis lalat itu. Ia ingat sumpah ibunya saat ia pergi dari rumahnya tadi siang. Dirinya dikutuk akan mati ditimpa sebatang pohon. Ia membayangkan punggungnya akan remuk. Dan ia menyesal telah melakukan kesalahan; telah membiarkan seekor kucing memakan ikan panggang yang disimpan untuk lauk ayahnya yang pergi bekerja mengupas kelapa.

Ibunya adalah perempuan yang tidak betah diam di rumah. Ia ingin selalu terlibat dalam pembicaraan demi pembicaraan. Ia sering menertawakan sesuatu dengan berlebihan meski hal itu tidak lucu. Dan ia selalu bisa mengetahui apa pun tentang orang lain dengan lebih baik dibandingkan siapa pun, dan dapat menceritakannya dengan lebih baik lagi. Ketika muncul godaan itu, ia meninggalkan rumah dan berpesan kepada anaknya yang tengah menggaruk-garuk kepalanya di pintu, supaya tetap diam di pintu, dan mengusir kucing yang berusaha masuk dan pasti akan menghabiskan lauk yang sengaja disimpan untuk ayahnya. Ia mengangguk. Ibunya pergi dengan tergesa-gesa. Ada satu cerita di kepalanya yang ia takut akan hilang jika tidak segera disampaikan. Tentang seorang perempuan yang menyerahkan tubuhnya kepada banyak laki-laki demi menghidupi ibunya yang telah sangat tua renta.

Dari tempatnya duduk, anaknya bisa mendengar suara ibunya bercerita dengan berteriak-teriak. Penasaran, ia bangkit dan menyusul ibunya. Ibunya melihat dirinya mendekat dan tidak berkata apa-apa. Ia tetap melanjutkan ceritanya. Kedua tangannya terentang bergantian seperti menghantam udara. Beberapa kali ia meludah ketika ada sesuatu yang ia anggap sangat menjijikkan. Beberapa perempuan di dekatnya mengangguk-angguk dan beberapa ikut meludah ketika ia meludah.  

Seandainya suaminya tidak pulang dalam keadaan bermandi peluh, memikul linggis yang hitam mengilap dan wajah tampak lusuh, ia tidak akan berhenti bercerita. Dan keburukan orang-orang akan berhamburan dari mulutnya. Melihat suaminya datang, ia merendahkan suaranya dan berjalan pulang. Anaknya mengikuti sambil menggaruk-garuk kepalanya. Baru saja sampai rumah, mereka dikagetkan oleh keluarnya seekor kucing dari pintu rumah yang tidak tertutup, menggigit sepotong besar ikan panggang, dan dengan cepat kabur begitu melihat mereka. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan menampar anaknya. Ia sempat dipukul dua kali, dan mendapat satu tendangan ketika ia hendak berlari menyusuri jalan setapak yang membelah kampung. Ia berlari tanpa tujuan. Di ujung kampung ia mendengar ibunya berteriak, mengutuknya mati ditimpa sebatang pohon. Membayangkan ia akan mendapatkan pukulan yang lebih keras dari ayahnya, ia memutuskan pergi ke rumah neneknya. Air matanya telah kering ketika ia sampai. Malamnya, saat ia menangis merindukan rumah, neneknya, sebagaimana yang ia lakukan kepada kebanyakan orang, memberikan nasihat tentang orang-orang yang telah menderita karena kutukan-kutukan yang mereka terima.*

2017-2020

Catatan Kaki:

Gayas              :  Ulat yang hidup di tanah dan bisa dimakan.
Abong              :  Penyakit kulit yang ditandai dengan gejala gatal dan bersisik-sisik.
Selaq               :  Orang yang menguasai ilmu hitam.
Boke                :  Luka di kepala biasa dialami anak kecil.