KURUNGBUKA.com – Pada masa setelah malapetaka 1965, Indonesia memerlukan sastra yang bertumbuh, bukan cuma politik yang picik dan licik. Negara besar tidak boleh bopeng-bopeng akibat rebutan kekuasaan dan mengumbar keserakahan. Indonesia tidak hancur tapi dicipta menjadi “baru”, yang membawa luka-luka besar dan berkepanjangan. Mengapa “baru” tidak memberi kesembuhan tapi mencipta luka yang menganga selama puluhan tahun?

Mochtar Lubis dan kawan-kawan menerbitkan majalah bernama Horison. Selama masa Orde Baru, majalah itu bergengsi walau sering kesulitan uang. Dulu, banyak tokoh dan perusahaan yang ikut menyokong dana agar Horison terus terbit dan berkembang. Padahal, harga penjualan Horison terjangkau untuk masyarakat. Mengaoa majalah sastra sulit laku yang mengakibatkan susah dapat duit?

Konon, majalah itu mengesahkan adanya pengarang. Horison dianggap membesarkan nama beberapa pengarang, yang akhirnya menjadi “mitos”. Bertahun-tahun Horison terbit dalam kepentingan sastra, tidak lupa mengikutkan beragam kepentingan. Pada tiap babak, majalah itu terbit dengan penampilan dan jenis kertas yang berbeda. Susunan redaksi pun mengalami perubahan meski sedikit untuk menentukan selera kesusastraan.

Para pembaca dan penikmat sastra mengetahui nama-nama penting di Horison: Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Sapardi Djoko Damono, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam, Sutardji Calzzoum Bachri, dan lain-lain. Mereka memiliki peran-perang yang menentukan mutu sastra dan “kekuasaan” dalama arus kebudayaan di Indonesia.

Dulu, orang-orang yang ingin mengetahui perkembangan sastra di Indonesia seolah wajib membaca Horison. Majalah itu menjadi referensi yang akibatnya “menyingkirkan” koran, majalah, dan buletin yang dianggap kecil dan ecek-ecek. Maka, muncul gerakan meledek, menyaingi, dan melawan “kekuasaan” Horison. Usaha itu sempat mengguncang dan memberi kemungkinan berbeda dalam mengembangkan sastra di Indonesia. Siapa saja yang berani melawan Horion dan tokoh-tokohnya yang berlagak menangan di kesusastraan Indonesia?

Di majalah Matra edisi Juli 1993, terpasang pengumuman dari pihak majalah Horion. Pengumuman yang memberi “kebaruan” dan mencipta selera berbeda. Majalah tetap bernama Horison tapi slogannya berubah: “Majalah sastra dan seni.” Yang diumumkan: “wajah baru, isi baru, pengasuh baru”. Selanjutnya, masih ada kata-kata yang menggoda: “menyajikan karya-karya dan pikiran-pikiran terpilih dari Indonesia dan dunia.” Bayangkan pengumuman itu mengajak pembaca menikmati majalah Horison yang berbeda dari masa 1960-an, 1970-an, dan 1980-an. Horison tetap terbit sebagai majalah yang berumur tua dengan kehendak yang tidak lagi sama dengan masa yang lalu.

Iklan itu cuma hitam dan putih. Jadi, pembaca menebak saja kira-kira warna yang dimunculkan di sampul majalah Horison yang baru. Jenus huruf untuk penulisan nama majalah sudah berubah. Majalah yang diiklankan bisa dibeli pada 10 Juli 1993. Semula, para pengasuh baru ingin menjadikan tanggal itu sejarah yang manis. Namun, apa yang terjadi?

Horion edisi baru hanya terbit satu kali. Yang terjadi adalah konflik besar. Beberapa orang mengundurkan diri dari yayasan yang menaungi Horion. Beberaa orang tetap bertahan, mengembalikan Horison ke pola terdahulu. Babak aneh itu memunculkan dua nama yang berhadapan: Goenawan Mohamad dan Mochtar Lubis. Yang berhasil mendapat majalah Horison edisi baru paham jika itu selera yang dipengaruhi oleh Goenawan Mohamad dan komplotannya. Padahal, banyak yang berharap adanya edisi baru itu mencipta suasana yang berbeda dalam sastra Indonesia. Keinginan yang tidak terkabul.

Judul besar untuk edisi baru : Seni Kontemporer Kita. Artinya, Horison tidak melulu majalah untuk sastra. Di situ, ada seni-seni yang lain. Keinginan mengadakan Horison yang baru telah diusahakan walau mencipta pertengkaran hebat, menimbulkan dampak untuk kepentingan-kepentingan lain di luar sastra. Goenawan Mohamad tampil lagi dalam gegeran sastra setelah masa 1960-an. Ia pun bersikap dan membuat langkah lanjutan setelah edisi baru hanya sekali dan orang-orang lama berkuasa lagi di majalah Horison.

Yang bersabar dengan tahun-tahun melaju berkaitan sastra dan Goenawan Mohamad bakal menandaii titik-titik penting yang mengesankan. Pada suatu masa, orang-orang ingat ada sisipan dalam majalah Tempo dinamakan “Kalam”. Halaman-halaman yang keren mengenai sastra, sejarah, seni rupa, seni musik, filsafat, biografi, dan lain-lain. Sisipan itu memberi bukti keberpihakan Tempo untuk seni, tidak hanya sastra.

Pada masa yang berbeda, terbitlah jurnal yang dinamakan Kalam. Jurnal terbit dalam kemasan apik. Pilihan kertas pun mewah. Di situ, ada nama-nama besar yang mengasuh dan mengundang tokoh-tokoh moncer menyumbangkan tulisan atau ilustrasi. Apakah kita bakal membuat konklusi mengenai Horison (lama dan baru), Tempo, dan Kalam? Tunggu saja penjelasan dari tokoh-tokoh penting atau menanti munculnya disertasi dari sarjana asing.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<